Penjajahan selama 350 tahun yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia*)
memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan dan perkembangan
perilaku anak bangsa. Apalagi karena jauh sebelum Belanda menjajah,
yakni sekitar abad ke-14, tak lama setelah Perang Salib berakhir, kedatangan kapal-kapal VOC, sebuah perusahaan niaga di Belanda, ditunggangi sebuah Kelompok Persaudaraan Rahasia Yahudi yang menamakan diri Vrijmetselarij (Freemasonry).
Ketika
Belanda menguasai Indonesia, kelompok ini tumbuh dan berkembang pesat
dengan merekrut tak hanya para kaum terpelajar, politikus, pejabat
negara dan aktivis, namun juga kaum ningrat (lihat artikel bersambung
Mewaspadai Bahaya Freemasonry, atau klik disini.
Tujuannya, tentu saja, selain untuk memperluas jaringan, juga untuk
mendapatkan limpahan materi guna mewujudkan impian mendirikan negara
baru di tanah yang dijanjikan, Palestina, dan menciptakan Tatanan Dunia
Baru dimana Yahudi sebagai penguasa seluruh negara di dunia. Negara
impian itu, Israel, telah berdiri pada 1948, sementara cita-cita
menciptakan Tatanan Dunia Baru masih sedang berproses.
Saat Indonesia dijajah Jepang, kelompok ini sempat kocar-kacir karena
negeri Matahari Terbit termasuk negara yang memusuhinya. Namun setelah
Jepang pergi dan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno
bergulir, organisasi yang selalu melakukan gerakan secara diam-diam ini
kembali eksis. Meski akhirnya, karena Soekarno membenci Barat dan
berpihak kepada Rusia dan China (komunis), pada 1961 keberadaan
organisasi ini beserta underbouw-nya, dilarang. Soekarno sendiri kemudian digulingkan melalui sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan CIA (Central Intelligence Agency) dan antek-antek kelompok ini yang satu di antaranya merupakan seorang pendeta kelahiran Amsterdam, Belanda, bernama Pater Beek. Pendeta Katolik ini pulah lah yang mendudukkan Soeharto sebagai presiden pengganti Soekarno.
Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit,
sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola,
Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada
15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu,
cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk
beragam Islam yang sedang dikuasai negara mereka, juga
menarik minat Beek remaja untuk ‘bertualang’ di negara yang kala itu
masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala ia berusia
22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke
Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan
yang dilakukan negaranya terhadap Bumi Pertiwi. Beek bekerja dengan
sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan
masyarakat Pulau Jawa setiap hari. Menurut buku ‘Pater Beek, Freemason,
dan CIA’, dari pengamatan itu ia bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa
yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indoensia,
terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas
masyarakatnya; Islam. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan
masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini.
Contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan
yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam
harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan
lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan lebih mudah.
Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan
licik. Sesuai dengan karekternya.
Tugas Beek selesai, dan
ia kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia
sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk
juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan
mengKristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi
Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan
lagi ke Indonesia.
Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi
pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah
pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan
tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia
mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari
metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia
kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati
dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika M. Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemason.
Mungkinkah itu? Jawabannya, ya.
Pada abad ke-13, Amsterdam
hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota
itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing
peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena
kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi
kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang
dalam bendungan Amstel.
Seiring berjalannya waktu, Amsterdam
tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi
pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan
pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari
pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol-lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.
Namun, pemberontakan dapat diredam.
Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh
penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol
yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.
Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi.
Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan,
di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran
jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam-lah yang
memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.
Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC,
perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat
Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat
perdagangan di Eropa.
Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut oleh Freemason
karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari
lambang Freemason yang berbentuk bintang David. Apalagi pemilik saham
mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam.
Seperti
disinggung pada bagian pertama, Freemason berambisi mendirikan negara
di Palestina dan menciptakan Tatanan Dunia Baru dimana Yahudi sebagai
penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi
ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi
persaudaraan rahasia bangsa Yahudi ini merupakan orang-orang kaya yang
berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan,
seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain
untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan
kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi,
terutama rempah-rempah.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC
tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari
negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap
eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di
Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi
ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di
pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat
membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam
bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason
mengeruk kekayaan Indonesia.
Penjajah Belanda tentu saja tahu akan
hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan
dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu
sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda?
Seperti telah disinggung pada bagian pertama tulisan ini, selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut
anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan
perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi
‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah
itu menjadi kendor.
Organisasi Boedi Oetomo yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij bahkan sangat anti Islam,
sehingga dalam brosur organisasi kepemudaan yang selama ini
didengung-dengungkan pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi pencetus
nasionalisme itu, Boedi Oetomo tak segan-segan mencaci-maki Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan ajarannya. Padahal, hasil kajian Pater Beek sendiri menyebutkan bahwa Islam merupakan sumber utama perlawanan rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintah Belanda. Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.
Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason
merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek
kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di
Bumi Pertiwi. Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin
menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah negeri Zamrud
Khatulistiwa, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap
dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan
Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.
Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit
yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak
pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para
petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya.
Jesuit, CIA dan Freemasonry
Mengapa Beek direkrut CIA?
Jawabannya mudah. Amerika Serikat (AS)
adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai
sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda menjajah negara ini.
Setahun sebelum Beek kembali ke
Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang
hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya Amerika
Serikat yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga
ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil
pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno
kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang
terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Soekarno
bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis),
tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan
antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun
internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang
Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi
karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara
lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak
buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo,
dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.
Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno
bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi
ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang
sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam.
Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di
beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual
Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan
modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia
bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka
misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala
besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam.
Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat
yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk
kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengKatolikkan di
Indonesia.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’,
M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater
Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu
Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu
tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di
Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut
dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban
misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek
politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar
kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih
mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa,
sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit,
Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan
yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di
sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan
beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian
rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.
ABRI
Siapa sajakah pion-pion ini?
Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat anti-Komunis,
namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik
pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang
dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga
merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di
seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga
TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat
(sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik,
karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat
segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia
dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang,
namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2012
ini.
Kerja sama TNI AD dengan CIA dijalin
pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi Perdana Menteri. Salah satu
realisasi kerja sama ini adalah pengiriman 17 orang pilihan di
lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan Training Station
(Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak 82 kilometer
sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy dalam buku
berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training Station
merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus yang
sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke sana,
selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang berbeda-beda.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan
CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan
Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani
yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa
demikian?
Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek
secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion
yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard
Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah
bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup
menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan
orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan
meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan
magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini,
mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah
hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah
terbidik. Salah satunya Soeharto.
Mengapa? Dan siapa yang dua lagi?
Bagi Pater Beek, Soeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku 'Pater Beek, Freemason dan CIA', Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.
Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan.
Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati
Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto
justru sedang lahap menyantap soto babat.
Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto
menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda
dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).
Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI
lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas
dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro,
Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir
Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH
Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan
di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.
Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu diKatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.
Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo.
Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang
ia butuhkan. Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto
menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto
masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.
Jadi, setelah mendapatkan pion utama
untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion
utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal
mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.
Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang,
hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi
penerjemah di Markas Jenderal MacArthur dan kembali ke Indonesia ketika
perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.
Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto
yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan
menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat
mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto
yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang. Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.
Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di
dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit
dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen
di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga
sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek.
Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus
melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia
yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan
tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak
pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa
di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Pula, Orde Baru pun
sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya
terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya,
sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada
para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan
tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan
bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya
G-20S/PKI.
Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu
organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya.
Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.
Ali Murtopo lahir di
Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai
ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia
ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng
Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).
Pada 1959, ketika meletus pemberontakan
di sejumlah daerah, ia dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai
kepala staf Resimen II, dan Yoga Sugama sebagai komandan resimennya.
Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke Jawa
Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia
bertemu Soeharto.
Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia
di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan
bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten
Teritorial.
Ali Murtopo dan Soeharto berpisah
setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro
akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ Presiden Seokarno di SSKAD. Mereka
berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi
jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat
Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan
pangkat Brigadir Jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi Asisten
Kepala Staf CADUAD.
Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawen atau Islam abangan.
Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;
“Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bias menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.
Maka jelas apa yang membuat Beek merasa
cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo
merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek
untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.
Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto,
Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion
yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.
Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya adalah mahasiswa
yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling
efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.
Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam
untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentulah tidak mudah. Maka dengan
didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging
(KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di
Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas
Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948. Federasi KSV yang
didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng
Koen (PK Jong). Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947
diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.
Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).
Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Christian Releations in Indonesia’s New Orde’,
kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI. Kedua orang
ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan
membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka
kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.
Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi.
Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk
menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan
Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih
kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.
Harry
Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah
menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak
masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi
keturunan Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti
nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia
juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.
Setelah lulus SMA, Harry pindah ke
Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama
kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari
sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.
(10) Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali Moertopo, Beek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul ‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;
“Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.
Menurut M. Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan Kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh dari kebenaran.
Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tanter menjelaskannya sebagai berikut;
“(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara reguler bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial”.
Sedang Cosmas Batubara menjelaskan begini; “Beliau
(Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi
Komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga
diajarkan bagaimana kelompok Komunis itu beraksi, dan bagaimana
menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bias
melawan CGMI”.
Apa yang dikatakan Cosmas ini
membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun
Richard Tanter mengungkapkan begini; “Bagi (Pater) Beek, ada dua
musuh besar, baik bagi Indonesia maupun Gereja, adalah Komunisme dan
Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama
memiliki kualitas ancaman”.
Jadi, jelas, Beek memang menggunakan
‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan Komunis di Indonesia,
dan setelah itu Islam. Tantang hal ini, Tanter mengatakan begini; “Pasca
1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan
yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia
yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik,
dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.
Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’,
Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, Komunis dan Islam,
dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu Kristenisasi
berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi
presiden.
Korban G 30 S/PKI
Hingga kini bagaimana pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dapat meletus, masih dianggap misteri bagi banyak orang. Tentu saja, karena selama ini sejarawan sekalipun hanya mengaitkan peristiwa itu dengan Soekarno, Soeharto, PKI,
Angkatan Darat, dan CIA. Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’,
Sembodo meyakini bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.
Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-Kolonialisme,
sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa
tempat pembuangan. Sepak-terjangnyapun banyak yang kontroversial.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri
Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha.
Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan
Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya. Memasuki usia
50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken
disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan
Komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara
yang amat menyedihkan.
Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam
jagat perpolitikan internasional terbilang cukup menonjol. Bersama
Nehru, Castro, Tito dan yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros
baru di luar poros Amerika Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat),
serta Uni Soviet bersama konco-konconya (Blok Timur). Poros itu
kemudian dikenal dengan sebutan Non Blok. Poros baru
ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang
melihat, terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya, bahwa orientasi
politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin
dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di
Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat
yang dianggap merugikan kepentingan Barat. Apalagi karena selain
merupakan basis utama Kristenisasi, kala itu Barat, khususnya Amerika
Serikat, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang
melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa
tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin
China, Mao Zedong.
Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’, John Rossa menulis begini;
“Bagi mereka (Amerika Serikat), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955), hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.
Kondisi yang tak menguntungkan ini
membuat Amerika Serikat dan konco-konconya mencari cara untuk
menyingkirkan Soekarno, sebuah cara yang sangat halus, rapih, dan
terkoordinir dengan sangat baik agar pihak luar, bahkan bangsa Indonesia
sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak penggulingan
ini. Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan
intelijen. Maka, menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan
CIA’, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan
ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
Semula, keterlibatan Beek dalam
penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah
Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis
laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond' (Demikianlah,
Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun
langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam penggulingan itu.
Dalam laporan yang didasari hasil
penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan
terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan
dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemarda ni. Tulisan
Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil
wawancara dengan Beek.
Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia
untuk meliput gejolak politik di negara kepulauan ini. Jika ditugaskan
ke Indonesia, biasanya memakan waktu satu atau dua bulan. Dalam kurun
waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.
Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah
karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan
eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang
sebagai berikut;
“Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel
mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan
kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi
paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian
yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi
pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama
sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah
bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru
tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan
identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang
G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung
secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang
menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya
dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah
bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang
berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi
presiden kedua RI. Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam
Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;
"Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci Komunisme …”
Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China
dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum
untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap
Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut
sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili
para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik
peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
Dalam kejadian ini, enam jenderal
dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya,
Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde
Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka
mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang
kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah,
telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos
Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa
jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di
Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.
Yang lebih menarik, seperti diungkap
Richard Tanter, Beek telah menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu
meledak. Begini kata Tanter;
“Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-Komunis. (Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan lain sebagainya. Tiap jaringan anti-Komunis tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah sosial. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’,
Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk
organisasi-organisasi itu adalah para mahasiswa Katolik yang telah
dipersiapkan melalui Kasbul. Bahkan sebagai tindak
lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi
Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23 Oktober 1965 berganti
nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader Beek.
Setelah Front Pancasila terbentuk,
organisasi-organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi
yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi underbouw-nya.
Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat
menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November
1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi
tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan.
Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir
di tempat itu.
Dari semua organisasi mahasiswa
tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena organisasi yang dibentuk pada 25
Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan
sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb.
Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia (IPMI). ‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat
dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium
organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.
Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk
kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat
tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut
bahwa KAMI-lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk
menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan Komunis.
Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater
Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya
menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di
Universitas Admajaya. Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa
karena menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar
yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno,
terutama tentara, bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul
balik reaksi itu.
Peranan Beek dalam pengorganisasian
mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil
investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang
PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;
“Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.
Tokoh di belakang layar kadangkala tampil juga ke hadapan publik. Bukan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai mastermind dari suatu kejadian, melainkan untuk memantau, mengendalikan, dan memastikan bahwa apa yang telah didesainnya berjalan sesuai track yang benar.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan Soekarno, Pater Beek muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta. Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;
“Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.
Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan
publik dengan cara menyamar, sehingga orang-orang tak dapat mengenali
kalau dia sesungguhnya bukan pribumi. Luar biasa!
Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi
secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai
presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI
dibubarkan.
Saat KAMI terpojok beginilah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’,
Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru
memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II
Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor. Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.
Dalam bukunya, Harold Crouch menulis,
Ali Murtopo tidak sendiri dalam mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi
dibantu oleh Kemal Idris dan Sarwo Edhi. Bahkan agar terkesan gerakan
KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta
demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan
jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa
dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut,
jaket itu berasal dari CIA.
Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:
“Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.
Ketika akhirnya Soekarno benar-benar
membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk
melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan
Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa
Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat
yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi
pertanda awal kejatuhan sang the founding father.
Monumen Lubang Buaya
Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G-30 S/PKI, merupakan awal karir Soeharto yang paling cemerlang. Tentu saja, karena dialah pion yang telah disiapkan Beek untuk menggantikan Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan Darat
mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di sekitar
Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi
‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemar
yang menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto
yang kala itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat
Letnan Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta
institusi kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar
Soeharto untuk membubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di Parlemen.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari
dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar
30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh. Namun
yang hingga kini juga masih 'menakjubkan', meski anggota PKI hanya
sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.
Dalam buku berjudul ‘The Indonesian
Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali’, Robert Cribb
menyebutkan data yang bervariasi tentang jumlah orang yang dibunuh kala
itu. Misalnya, Donald Kirk menyebut yang dibunuh 150,000 orang, Ben
Anderson dan Ruth McVey menyebut 200.000 orang, Sudomo menyebut antara
450.000 hingga 500.000 orang, Adam Malik menyebut 150.000 orang, dan L.N. Palar menyebut 100.000 orang.
Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?
Dalam buku ‘Pater
Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto
itu tak lepas dari campur tangan Beek. Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA.
Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada
Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu,
dihabisi. Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy
Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mantan
pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, misalnya, mengakui
kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya,
juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.
Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu
daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto?
Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain
anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA. Jadi, sebelum daftar itu
digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.
Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater
Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada
Soeharto, daftar itu oleh CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik. Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam Malik merupakan seorang agen CIA. Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas Intelijen Amerika.
Soekarno digulingkan melalui cara yang sangat terencana dan sistematis yang melibatkan MPRS.
Melalui Sidang Umum yang digelar pada
1966, Lembaga Tertinggi Negara itu mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu
TAP MPRS No. IX/1966 yang mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto
sebagai pemegang Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila
Soekarno berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno
mempertanggungjawabkan sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban, namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’
itu dianggap tidak lengkap. Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali
membacakan pertanggungjawabannya yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari 1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.
Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada
20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan
Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari
karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966,
secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.
Naiknya Soeharto menjadi presiden
disahkan melalui Sidang Istimewa MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan
Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan
dalam sidang itu, MPRS mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang
disandang sang the founding father.
Jejak Beek dalam kudeta
ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada
Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan
Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya
dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan dengan rekan-rekan
sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan
Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika masih menjadi
Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski Soeharto
‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke Markas Besar
Angkatan Darat.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni
1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk
memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44
Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa
Timur.
Meski kemudian Soeharto menetapkan
Negara dalam keadaan berkabung selama sepekan, apa yang dilakukan
Soeharto terhadap Soekarno jelas terlalu berlebihan mengingat Soekarno
tidak memiliki kesalahan fatal terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut
diduga mewakili kepentingan yang lain, yakni kepentingan orang yang
menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena Beek benci Komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.
Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya.
Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya, yakni menghancurkan Islam. Maka tak heran jika selama 32 tahun Orde Baru berkibar, banyak terjadi peristiwa yang menyakiti umat Islam.
Dalam buku ‘Pater
Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau untuk mencapai
misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara. Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya begini;
“Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.
Dari visi ini, tegas Sembodo,
jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’
kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang
tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’. Dengan kata lain, Beek
menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde
Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka
dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya
yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘Negara Organik’.
Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas,
yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang
‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa.
Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme,
karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi
pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas
yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.
Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru
dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri
yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme.
Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang
paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya.
Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga
dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap
permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila
ditilik lebih mendalam tidak jauh berbeda dengan sistem Gereja Katolik
yang berpusat di Vatikan, karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto
sama seperti Paus yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.
Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam
buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, karena gereja tidak boleh politis,
maka Pater Beek membutuhkan ‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk
ikut cawe-cawe dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif
dan berpengaruh, serta mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Maka
dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies).
Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara
politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat. Lembaga inilah yang
kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde Baru menerapkan sistem
negara organik versi Gereja pra Vatikan II.
Selain lewat CSIS, Beek juga menempatkan
bidak-bidaknya di birokrasi dan militer. Di birokrasi misalnya, ada
nama Cosmas Batubara dan Daoed Joeseof yang menempati
jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di militer ada Ali Murtopo,
Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki kedudukan strategis. Ali
Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik anti-Islam. Bahkan
Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri (Asisten Presiden)
bersama Mayjen Soedjono Humardani.
Kini jelas lah kalau Orde Baru memang
era yang pendiriannya ‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya
menghancurkan Islam dan menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal
ini, Richard Tanter berkata begini;
“Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil (tentara)”.
Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya adalah bahwa organisasi ini hanya organisasi
para ‘orang pintar’ yang peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia
dan berusaha memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini
sebagian kecil tidak salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele
karena kala itu saya memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya
organisasi ini.
Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;
“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed Joesoep, meskipun ia seorang Muslim asal Sumatera Timur, juga ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil, CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.
CSIS yang didirikan pada 1971 memang organisasi yang terdiri dari orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik anti-Islam.
Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’,
mantan Pengkopkamtib inipun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia
menyatakan, ia menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi
bentukan Ali Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS
dibentuk Ali Moertopo bersama Soedjono Humardani,
sebagian golongan Katolik, dan sekelompok orang Tionghoa yang umumnya
berafiliasi dengan Pater Beek. Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud
Soemitro adalah CSIS.
Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali
Moertopo dan Soedjono Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar
yang sejarah pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah
Orde Baru.
Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-Komunis yang
bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung
dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri,
perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman. Sebagaimana diuraikan
Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut
dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan
Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik
Orde Baru.
Selama era Orde Baru, Golkar merupakan partai
yang tak terkalahkan karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai
negeri, dipaksa memilih partai berlambang pohon beringin. Atau
hak-haknya sebagai rakyat dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak
hal, termasuk KTP. Tak heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.
Dalam buku berjudul “Pater Beek,
Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip penuturan Romo Dick Hartoko yang
tertulis di Tempo, yang isinya begini; “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama
sekali tidak salah karena Ali Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk
menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang efektif,
sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan partai Islam dan partai
nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan kemenangan Golkar, Ali
Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu) yang sebagian besar
orang-orangnya beragama Katolik.
Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini; “Mengabaikan organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.
Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.
Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver
untuk membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika
diwawancarai Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak
yang mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan
itu dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai. Satu
partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali Moertopo-lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan mengebiri
partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut, kedua
partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan Indonesia
agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.
Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat atau kenaikan pangkatnya ditunda.
Mengenai hal ini, Harold Crouch menjelaskan begini; “Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri (Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa Departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.
Pengebirian terhadap partai berideologi
Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama,
melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika
partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin
pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya
dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan
PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang
sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari
kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan,
partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar.
Alasan lain mengapa Soeharto melarang Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan sebagai berikut; “Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.
Sebagai musuh nomor satu Pater Beek setelah Komunis dihancurkan, Islam memang
mengalami tekanan yang amat hebat. Celakanya, umat Islam sendiri kurang
cerdas dalam menyikapi keadaan, sehingga baru merasakan akibatnya di
belakang hari.
Ketika masih berkuasa, Soekarno berkali-kali membuat kebijakan kontroversial. Di antaranya mendukung PKI, dan melarang Masyumi. Kebijakan Soekarno ini membuat tokoh-tokoh partai Islam itu bekerja sama dengan Soeharto untuk
ikut menghabisi kekuatan Komunis dan menggulingkan Soekarno, tanpa
mengetahui ada siapa di belakang Soeharto. Begitu Komunis tumbang dan
Soekarno terguling, Soeharto menyingkirkan partai ini dengan
menjadikannya sebagai partai terlarang juga.
Namun, seperti diungkap Sembodo dalam
buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, para pendiri Masyumi tidak
kekurangan akal. Agar tetap dapat berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru yang dinamakan Parmusi
(Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja tak tinggal diam. Dia
menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya, untuk memecah-belah partai
itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua kubu. Dengan dalih untuk
meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun tangan, maka jatuhlah
Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian dipimpin MS Mintaredja
yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”.
Tentang hal ini, Harold Crouch menyatakan begini; “Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.
Cara kedua Pater Beek cs mengebiri
politik umat Islam adalah dengan merangkul, namun sekaligus
mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ali Moertopo dengan
cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul Islam). Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI.
Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan dengan Mohammad Hasan,
salah seorang komandan DI di Jawa Barat. Orang-orang DI pertama kali
dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar orang-orang Komunis, dan ini
dibenarkan Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai berikut;
“Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII guna menghadapi bahaya laten Komunis dari Utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah oleh Danu Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak Kartosuwiryo) dan H. Isma’il Pranoto (Hispran)”.
Pada saat Ali Moertopo melakukan infiltrasi ke DI inilah, menurut Sembodo, Komando Jihad
didirikan, dan langsung ‘dimainkan’ Ali Moertopo untuk kepentingan
politik pemerintahan Soeharto. Di antaranya, untuk mendapatkan tambahan
suara dalam jumlah signifikan bagi Golkar. Tentang hal ini Ken Comboy mengatakan begini;
“ … Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok kanan berlatar belakang agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang mencari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar, mesin politik Orde Baru, dalam Pemilu 1971. Dengan harapan para pemimpin Komando Jihad ini akan mampu mengerahkan simpatisan mereka …”
Sembodo menambahkan, setelah Komandio
Jihad terbentuk, Ali Moertopo menyusupkan Pitut Soeharto, orangnya,
untuk berhubungan dengan para pimpinan Komando Jihad. Cara Pitut untuk
melaksanakan tugasnya adalah dengan melakukan ‘barter’ minyak. Tentang hal ini diutarakan Ken Comboy sebagai berikut;
“Guna melancarkan usahanya, ia (Pitut) mengunakan pendekatan unik. Atas persetujuan Pertamina, suatu perusahaan Negara di bidang minyak dan gas, Pitut mendapatkan hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa. Kemudian minyak tersebut ditawarkan kepada para pemimpin Darul Islam yang kemudian memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka. Balasannya; mereka harus memberikan suaranya kepada Golkar”.
Cara yang ditempuh Pitut berhasil, sehingga pada Pemilu 1971 Golkar menang mutlak. Namun menjelang Pemilu 1977, para pimpinan Komando Jihad membuat Ali Moertopo berang karena Danu sebagai salah seorang pimpinan Komando Jihad, mengatakan kalau organisasinya akan memberikan suaranya kepada PPP, bukan kepada Golkar. Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu
digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang
berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang
hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya
yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman
Orde Baru”;
“Pada Pemilu 1977, Laksamana Soedomo (seorang militer beragama Katolik), panglima Kopkamtib, mengumumkan adanya komplotan anti-pemerintah bernama “Komando Jihad”. Pemilihan waktu pengumuman itu dipercaya berkaitan dengan otak segala skenario, yakni asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo, menimbulkan kepercayaan bahwa “Komando Jihad” adalah upaya yang didukung pemerintah untuk mendiskreditkan politik Islam sebelum pemilu berlangsung”.
Sedang mengenai proses penangkapan, Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” menguraikan begini;
“Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jaktim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai pengadilan. H. Isma’il Pranoto (Hispran) divonis seumur hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah struktur II Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah ‘disimpan’ dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara. H. Isma’il Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 Tahun 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa maker dari kalangan Islam”.
----
“Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh Opsus, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses hingga ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979”.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad, menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam. Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya. Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr. Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat selesai dan istirahat”.
Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image
bahwa umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan
karena takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun
berbondong-bondong memilih Golkar.
Kenneth E. Ward mengakui, rezim Orde Baru sedari awal memang sudah menempatkan umat Islam melulu identik dengan Darul Islam, sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Pendapat Kenneth ini dibenarkan William Widdle dengan pernyataannya yang sebagai berikut;
“Saya selalu berpendapat bahwa sejak awal orang CSIS (organisasi think thank Orde Baru yang didirikan Ali Moertopo) memang terlalu berprasangka terhadap politik Islam di Indonesia. Banyak kebijakan mereka, termasuk Golkar, diciptakan untuk melawan politik Islam yang sebetulnya, menurut pendapat saya, tidak perlu dilawan”.
Heru Cahyono dalam buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1970-1980, dari Pemilu Sampai Malari”, memberikan
uraian yang hampir serupa. Ia menguraikan bahwa kebijakan politik
Soeharto terhadap Islam amat merugikan umat Islam, karena kelompok Ali
Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat
Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami. Inilah strategi
kelompok Ali Murtopo untuk mengebiri politik umat Islam dan menjadikan
Islam sebagai kambing hitam demi kepentingan politik Pater Beek,
Soeharto, dan dirinya sendiri.
Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat Islam
dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa. Tokoh-tokoh
yang terlibatpun semakin banyak, yang semuanya merupakan orang-orang
Orde Baru yang mungkin saja termasuk 'orang-orang binaan' Pater Beek.
Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.
Tentang tokoh yang satu ini, George J.
Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan
L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;
“Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.
Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan
LB Moerdani membuat karir Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani
kemudian muncul juga ke permukaan.
Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari
pada 1974. Apalagi karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri
(Asisten Presiden), lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo.
Tentang hal ini George J. Aditjondro mengungkapkan begini;
“Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak inilah bintang Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.
L.B. Moerdani beragama Katolik dan
sangat membenci Islam. Inilah yang membuat dia mudah diterima CSIS.
Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini;
“Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.
Dalam memilih kader, cara Moerdani dan
Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan
menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti
efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia
benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan
terpojokan.
Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’
yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA
206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya.
Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang
menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga
menguntungkan Moerdani.
Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;
“Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….””
Pembajakan itu dilakukan oleh lima
laki-laki. Pemerintahan Orde Baru menyebut, para pembajak ini merupakan
bagian dari Jamaah Imran, sebuah jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh Imran.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan
CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang
dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo.
Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk,
seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang
menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi
agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan
Soeharto secara terbuka. Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata
jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan
meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang
ia perlihatkan. Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu
apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh
sebagai berikut;
“Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organik ABRI, seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar sikap kritisnya”.
Setelah menunjukkan senjata-senjata yang
layak dipakai Jamaah Imran, Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu
agar segera melakukan gerakan terbuka melawan
pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang disarankan adalah menyerang
kantor polisi-kantor polisi dan merebut senjatanya agar dengan demikian
jamaah itu memiliki senjata sendiri sebagai bekal melawan pemerintah.
Bodohnya lagi, provokasi itu termakan pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.
Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah. Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut. Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.
Penyerangan Polsek Cicendo menggegerkan Nusantara. Karena kasus ini merupakan hasil ‘olahan’ intelijen, dengan mudahnya 13 dari sekitar 30 anggota Jamaah Imran
dapat dibekuk dalam waktu teramat singkat. Yang berhasil meloloskan
diri, di antaranya Imran Ahmad Yani Wahid (sang pemimpin jamaah),
Zulfikar, Mahrizal, Abu Sofian, Wendy dan HM Yusuf Djanan, kabur ke
Surabaya dan Malang.
Selama di pelarian, entah apakah Najamuddin
tetap berhubungan dengan Imran cs untuk dapat terus memprovokasinya
ataukah tidak, namun Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”
menjelaskan, selama dalam pelarian ini lah Imran cs memiliki niat untuk membajak pesawat, dan kemudian berangkat ke Palembang untuk melaksanakan aksinya.
Soal keberangkatan Imran cs ke Palembang ini dijelaskan Umar Abduh sebagai berikut; “Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.
Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju
Bandara Talangbetutu, Palembang. Untuk mengelabui petugas, Imran
memerintahkan Ma’ruf yang berseragam Pramuka membawa senjata api
dan bahan peledak. Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara,
maka Ma’ruf yang sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong
berteriak sambil berlari; “ … Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel
ketinggalan …!”
Aksi Ma’ruf ini berhasil mengecoh
petugas pemeriksaan, sementara ransel berhasil diterima dengan selamat
oleh Imran cs tanpa diperiksa lagi. Drama pembajakan Garuda pun
berlangsung.
LB Moerdani
diuntungkan oleh kasus ini, karena dia lah yang memimpin langsung
operasi pembebasan para sandera, dan melumpuhkan para pembajak. Namanya
pun kian bersinar, dan menjadi salah satu sosok yang disegani, juga
ditakuti di negeri ini.
Roda selalu berputar dan sinar bintang tak selalu benderang. Begitupula dengan karir seseorang, termasuk karir LB Moerdani. Pada 1988, Soeharto mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima ABRI, dan sejak itu karirnya meredup.
Setahun setelah pencopotan dilakukan,
atau sekitar pertengahan 1989, dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke
Beograd, Yugoslavia, Soeharto mengatakan begini; “Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inskonstitusional akan saya gebuk”.
Pernyataan Soeharto ini kontan membuat orang percaya bahwa yang dimaksud ‘Bapak Orde Baru’
itu adalah LB Moerdani. Apalagi karena sebelum pemecatan terjadi,
Moerdani sempat menyarankan agar Soeharto jangan maju lagi sebagai
presiden pada pemilu 1993, sehingga hubungan antara keduanya menjadi
tegang.
Salah seorang yang percaya bahwa Moerdani akan melakukan kudeta adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terkait hal ini, majalah Tempo edisi 10 Februari 2008 memberitakan begini; “Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.
Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek,
Freemason, dan CIA’, pasca pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua
orang kepercayaannya, yakni Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI. Berkat manuver politik
Harsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ Habibie yang sempat
digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto, tersingkir, dan Try
Sutrisno naik menjadi wakil presiden. ’Permainan’ Moerdani berhasil,
karena selama Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto, sepak terjang
Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit. Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada
12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi
Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat
Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara
bebas. Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul "Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru", kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen.
Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985,
Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai "asbak". Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.
"Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tannjung Priok memang sengaja dijadikan semacam 'asbak', tempat penyaluran emosi".
Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah satu basis Kristenisasi.
Tak heran jika dalam waktu singkat di situ didirikan sejumlah gereja
yang pembangunannya pun tidak dirundingkan dulu dengan warga.
Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab
yang dipasang di Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota
Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala
memasuki mushala. Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal
di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh
militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas
hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang
hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi
setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata
mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan
orang. Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian
berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian
dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi Wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru.
LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus
2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi
paru-paru dan dimakamkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta
Selatan, dengan diiringi upacara militer.
Pater Beek telah meninggalkan jejak yang luar biasa buruk bagi bangsa Indonesia, meski tak semua buku-buku yang membahas tentang dirinya, seperti misalnya buku berjudul “Pater Beek SJ: Larut Tetapi Tidak Hanyut”, tidak mengungkap secara utuh sepak terjang pastur bernama lengkap Josephus Gerardus Beek
itu selama berkiprah di Nusantara. Maklum, buku ini merupakan sebuah
autobiografi. Penulisnya J.B Soedarmanta dan diterbitkan Penerbit Obor
pada September 2008. Buku ini bahkan menyebut Beek sebagai sosok yang
memiliki kepribadian unik, menarik : tegas, disiplin, logis, realistik,
sportif, konsekuen dan saleh.
Namun demikian, buku ini juga menyebut peranan besar Beek dalam pengembangan agama Katolik di Indonesia, dan juga merupakan pendiri CSIS serta Kasebul.
Bahkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (Kabakin) Letjen
Soetopo Yuwono pernah meminta Vatikan agar menarik orang ini, dan
dikabulkan. Namun Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974.
Selain itu, sepak terjang Beek juga
sempat membuat pastur-pastur yang lain gerah, sehingga mereka mengajukan
protes, dan salah seorang koleganya mengatakan begini;
“Secara teoretis, idenya sebetulnya positif, tetapi pada prakteknya menjadi kisruh.”
Beek meninggal pada 17 September 1983 di
RS Saint Carolus, Jakarta, dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Giri
Sonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan ordo Serikat Yesus di
Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Sebelum meninggal, seperti ditulis Benny
G. Setiono dalam buku berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”,
kepada Oei Tjoe Tat, seorang politikus, Pater Beek mengaku terus terang bahwa ia
sangat menyesal dan kecewa ikut mendongkel Presiden Soekarno karena
pemerintahan penggantinya yang dipimpin Soeharto ternyata jauh lebih
jelek dari perkiraannya. Bahkan lebih jelek dari pemerintahan Sukarno. Itu sebabnya ia empat kali ziarah ke makam Bung Karno untuk mohon ampun atas segala dosa-dosanya.
Mungkin, dari apa yang telah diungkap ulang pada blog ini, sejarah bangsa Indonesia harus ditulis ulang agar para siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sejarah negerinya sendiri, sehingga mereka dapat belajar dari masa lalu,
dan memberikan yang terbaik untuk masa kini. Sebab, apa yang terjadi di
masa kini juga merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu.
Membiarkan saja sejarah yang ditulis di
atas kebohongan akan membuat Indonesia makin terjerumus dalam beragam
kesulitan yang sulit diakhiri, karena sama saja artinya membiarkan
negara ini tetap dalam genggaman para pembohong pencipta kebohongan
sejarah itu. Waktu telah membuktikan, rezim pembohong takkan dapat
memakmurkan rakyat. Kasus penguasaan lahan tambang di Papua oleh
Freeport adalah salah satu contohnyanya (lebih detil disini -16),
karena demi kepentingan pribadi, lahan yang seharusnya dapat
memakmurkan masyarakat sekitar, justru hanya membuat masyarakat kian
merana, terjerembab dalam kemiskinan yang kian dalam.
Kita butuh pionir untuk dapat meluruskan
sejarah, pionir yang kredibel, akuntabel, dan memiliki mental negarawan
sejati, bukan negarawan yang mengaku peduli pada kepentingan bangsa dan
negara, namun ternyata antek negara lain yang memiliki peran besar
dalam merusak negeri ini.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar permohonan kita. Aamiin