"Dari 'Imran bin Muhsain, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:"Antara kejadian Adam sampai timbulnya malapetaka (saat) tidak ada proses yang lebih besar daripada Dajjal." (H. R. Muslim)
Oleh: Kyai Arkanuddin Masruri
("Bapaknya orang Yahudi adalah Setan, seorang pembohong besar " - John 8:44)
Bagian Pertama
Kata Pengantar
Istilah Dajjal mengandung arti yang
sensitif dan ternyata pada masa Orde Lama sering digunakan sebagai
lontaran kecaman. Di Eropa pun istilah ini dengan kata: antikrist banyak
digunakan antara golongan-golongan agama dan juga terhadap
ideologi-ideologi lain hingga tampak kabur pengertiannya.
Buku Dajjal ini merupakan cetak ulang
berhubung cetakan yang lalu amat sederhana dan masih berisi banyak
singkatan-singkatan hingga para pembaca merasa kesulitan mencernanya.
Terbitan kali ini memberi kesempatan untuk ditambah pemecahan-pemecahan
yang lebih luas, gambar-gambar atau ilustrasi, terutama disesuaikan
dengan alam sekarang di negara kita, Indonesia , ialah di antaranya:
1.Penghayatan dan pengamalan Pancasila;
2.Kerukunan antar umat beragama,
kerukunan antar golongan-golongan umat beragama dan kerukunan umat-umat
beragama dengan pemerintah;
3.Dialog-dialog yang tampak formal,
diperkembangkan dengan musyawarah secara kekeluargaan untuk dapat saling
mendekat dan saling mempelajari.
Untuk tiga faktor ini para pengikut
agama masing-masing dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin
memuncak, tidak cukuplah hanya dimasabodohkan begitu saja, tidak
diperkenalkan isi kitab suci masing-masing. Lalu apa gunanya pemerintah
memberi banyak fasilitas penerbitan kitab-kitab yang patut kita hargai
setinggi-tingginya. Memang untuk sementara waktu orang-orang bodoh dan
miskin mudah dininabobokan dengan bantuan-bantuan, pemberian-pemberian
hadiah, kemeriahan tata upacara yang mungkin bisa menjadi jembatan bagi
subversi asing. Tetapi pada akhirnya, ialah generasi muda yang sifatnya
serba spontan, ada yang kena frustrasi seperti hippies, porno, narkotik,
skandal dan lain-Iainnya. Ada pula yang berbentuk rasional yang sering
menimbulkan kejutan-kejutan. Untuk mengatasi krisis yang demikian rupa
itu salah satu jalan adalah para penanggungjawabnya berintrospeksi.
Betulkah beliau-beliau ini sudah memiliki kitab suci yang menjadi sumber
ideologinya, betulkah paham isinya? Betulkah penanggung jawab itu jujur
terhadap tuntutan kitab sucinya? Oleh karena mempelajari kitab suci,
ternyata tidak semudah ilmu-ilmu lain. Terbukti masih terdapat
golongan-golongan agama yang sama kitab sucinya, masih berbeda paham,
saling berlawanan, bahkan saling berperang.
Kami merasa beruntung sekali bahwa pada
akhir-akhir ini telah dirintis oleh Gereja Katholik di Vatikan lewat
ensiklik dari Konsili Vatikan II yang telah dilaksanakan oleh alm. Paus
Paulus VI sebagai penerus dari ide Paus sebelumnya, ialah Paus Johannes
XXIII. Amat progresiflah rencananya, di antaranya masalah "pembaruan"
ajaran dan langkahnya (agiornamento) dan ajakan dialog-dialog dengan
berbagai golongan agama dan ideologi dan kini telah membentuk
seksi-seksi keyahudian, seksi kekristenan lain, seksi keislaman dan
seksi agama-agama lain serta aliran-aliran ateis/komunis. Baiklah di
sini kami kutipkan pernyataan-pernyataan pihak Katholik, sementara yang
kebetulan berkaitan dengan pihak Islam, ialah:
a. Majalah Penabur tanggal 28-9-1969 dengan judul: A fortiori umat Islam:
"Kami yakin bahwa dialog umat Islam
terutama di Indonesia sangat perlu. Dalam dokumen tersebut (dokumen
Sekretariat untuk orang-orang yang tidak beriman) disebutkan bahwa
adanya ajakan supaya umat Katholik dalam dialog dengan kaum yang tak
beriman tidak hanya minta kerjasama dari pihak umat-umat Kristen lain,
tetapi juga dari umat yang beragama lain, dan disebutkan: kaum Muslimin.
Jadi umat Islam dimintai pertolongan."
b. Harian Kompas tanggal 27-6-1975 menulis:
"Karena semangat keterbukaan dan
semangat berdialog yang diprakarsai oleh alm. Paus Yohannes XXIII dan
dilanjutkan oleh Paus Paulus VI (kini alm) menuntut sikap yang
konsekuen. Sikap tertutup cenderung untuk memonopoli segala kebenaran
pada pihaknya sendiri dan mencurigai pihak lain. Sebaliknya sikap
terbuka, meskipun mengandung potensi risiko, berani mengandalkan bahwa
kebenaran ada juga pada pihak lain. Dengan perkataan lain kalau kita
berani membuka dialog, kita juga berani percaya pada kemauan baik pihak
lain."
Tampaknya tulisan Kompas ini membawakan
berita dari Vatikan yang baru saja sebelumnya kami kirimi surat ajakan
berdialog segi tiga: Yahudi, Kristen dan Islam, di mana kami bersedia
membuat prasarannya yang dapat disaksikan oleh golongan-golongan
ideologi lain tertanggal 27-5-1975 hingga dapat merupakan rintisan ke
arah integrasi bersama. Terutama melihat isi surat balasan simpatik dari
Vatikan tertanggal 5-8-1975 lewat Apostolic Nunciature Jakarta yang
sangat kami hargai.
c. Dialog Kristen-Islam di Tripoli
(Libya) yang telah menelorkan 24 pasal, yang di antaranya pasal 13
tegas-tegas menghendaki agar pihak Islam sanggup memberi bantuan
penertiban tafsir yang sesungguhnya tidak cukup dilayani dengan kondisi
ilmu keagamaan secara konvensional, demikian permohonannya dalam pasal
13:
"Delegasi Kristen memohon agar pihak
Islam menunjang kelangsungan penelitian historis dan pendalaman tafsir
dari kitab suci agar lebih teranglah nilai-nilai yang sebenarnya dan
yang ilmiah dari kitab-kitab suci itu."
Rumusan seluruhnya tampak menghendaki
usaha menemukan pengertian bersama tentang bagaimana hakikat eksistensi
agama Tuhan yang Mahakuasa di dunia yang sebenarnya.
Oleh karena dialog Tripoli itu terjadi
sesudah Vatikan menerima surat kami yang mengandung aspirasi dialog yang
nadanya serupa dengan maksud rumusan-rumusannya itu, kami lalu
menyurati lagi ke Vatikan dengan harapan agar kami diundang bila
diadakan dialog sebagai follow up dari dialog Tripoli tersebut. Syukur bila kami diberi kesempatan membuat prasaran-prasarannya.
Kami khawatir apabila saran-saran kami
digunakan oleh orang-orang tertentu untuk dikonfrontasikan terhadap tim
pihak Islam sebagai fait a compli karena mungkin dikiranya
kurang mampu dalam menanggapi syarat-syarat teologis objektif yang
terutama tentang kemampuan memanfaatkan adanya hubungan harmonis antara
kitab-kitab suci serumpun: Taurat, Injil dan al-Qur'an serta sejarah
dunia purbakala.
Baik sekali kami tambahkan berita
pembunuhan massal di Amerika terhadap seorang Pendeta dan seluruh
pengikutnya yang 80% terdiri dari orang kulit hitam di San Francisco.
Kami berkeyakinan bahwa biang keladinya kemungkinan besar adalah salah
tafsir dan kitab Injil yang perlu diadakan pemecahan bersama dan masalah
arti wangsit. Seperti kasus Sawito yang merasa mendapatkan wangsit,
lalu berani menyatakan sebagai ratu adil. Semacam ini juga seorang
Australia yang merasa menjadi rasul, lalu membakar Mesjidil Aqsa di
Yerusalem karena salah tafsir mengenai Kitab Zakaria dari Kitab
Perjanjian Lama.
Walhasil bisa dinyatakan mutlak perlunya
saling mempelajari secara kekeluargaan antara golongan-golongan
ideologi, apalagi sudah terdapatnya uluran tangan dari pihak Katholik di
Vatikan tersebut di atas, yang tidak perlu kita sia-siakan.
Kami kira ada baiknya ditambah kesan dari hadis Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang kegawatan hadirnya Dajal karena umat Islam di Indonesia merupakan jumlah umat yang terbesar, ialah:
"Dari 'Imran bin Muhsain, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Antara kejadian Adam sampai timbulnya malapetaka (saat) tidak ada
proses yang lebih besar daripada Dajjal." (H. R. Muslim)
Hampir segenap umat Islam pada akhir
shalatnya selalu memohon agar tidak tergoda oleh Dajjal, padahal Qur'an
tidak menyebutnya, sedang hadis-hadis pun banyak yang menampilkan
kata-kata yang serba berselubung. Tulisan ini menjelaskan pengertiannya
dan ditambah dengan cara-cara saling pendekatan antara golongan-golongan
yang mempunyai kitab-kitab yang bersangkutan dan mengenal siapa-siapa
ahlinya.
Semoga mendapatkan perhatian sepenuhnya.
Ada suatu pepatah yang berbunyi: "Barang benar (haq) yang tak teratur akan dikalahkan oleh barang batal yang teratur."
Pada alam Pancasila ini kita tidak perlu
memandang kata-kata kalah menang apalagi mengingat niat Vatikan yang
begitu toleran. Kita perlu bersama-sama menggali ajaran yang haq yang
usahanya lewat penelitian-penelitian tafsir, sebagaimana pernyataan
hasil Tripoli tersebut. Di Amerika mungkin masih banyak petualangan
penafsiran kitab suci hingga banyak timbul kehebohan-kehebohan, tetapi
di Indonesia perlu mulai kita rintis penelitian isi ajarannya dan proses
sejarahnya yang sebenarnya hingga hasilnya tidak hanya membawakan alam
persatuan dan kesatuan saja, tetapi terutama juga bagi generasi muda
yang nanti akan mewarisinya.