Di mana ada peperangan, di situ
biasanya ada agenda tersembunyi yang telah diatur "pemain belakang
layar". Sementara prajurit bertempur mati-matian, mereka putar otak
menangguk uang di tengah kesusahan orang. Mencuri tambang berharga,
menyelundupkan peralatan perang, mencari posisi kunci dari pemerintahan
baru, atau bisa saja diam-diam memutar uang di industri kemiliteran
lawan.
Perang dan Bisnis
Sebenarnya semua demi uang. Buruh Yahudi
yang bisa dibayar murah tentu saja jadi alasan. Karna itu holocaust
banyak disebut sebagai persekongkolan jahat. Selain itu, mesin-mesin
perang Jerman Nazi juga banyak ditopang oleh pasokan dana yang besar
dari konglomerat Amerika Serikat.
Dalam Kedigdayaan Nazi Jerman,
diutarakan bagaimana pengusaha Amerika Serikat dan Jerman memutar uang
membangun bisnis patungan, sementara jutaan prajurit kedua negara
meregang nyawa di medan pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar
sepak terjang agen-agen khusus CIA dan SS yang di lapangan ternyata
berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar para pengusaha papan
atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini terbongkar sehingga
kontan banyak pihak dikecewakan.
Agenda tersembunyi itu terbongkar
bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti keterlibatan tak
langsung Inggris- Amerika Serikat dalam tragedi holocaust. Di permukaan
baik London maupun Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian
yang dilakukan tentara Nazi terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun,
di belakang, mereka ternyata tak pemah benar-benar berupaya membebaskan
mereka, meski upaya pelarian sudah di depan mata. Diduga, keengganan
membebaskan itu karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak
industri patungan Amerika Serikat-Jerman.
Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom,
kimia dan persenjataan utama Jerman milik IG Farben — yang disokong
penuh raja minyak Amerika Serikat, Rockefeller – selama PD II meraup
untung besar karena digerakkan oleh ribuan orang Yahudi yang tak perlu
diupah. Selain Rockefeller yang masuk dengan bendera Standard Oil, di
lingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik General Motors,
IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih banyak lagi
lainnya Jumlah awal uang yang diputar mencapai delapan miliar dollar.
John D. Rockefeller
Tak
heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit Amerika
Serikat yang bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan.
Mereka tak tahu bahwa pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat
dari uang orang-orang negaranya." Baik Standard Oil maupun IG Farben
sendiri sama-sama kartel di bidang industri strategis. IG Farben
memonopoli industri kimia, film dan farmasi di Jerman. Sementara
Standard Oil, di Amerika Serikat, merupakan penguasa ladang minyak.
Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan
amunisi Jerman selama PD II.
Rockefeller
dan pengusaha Amerika Serikat lainnya itu diam-diam sudah menanam saham
dan membangun usaha patungan di Jerman sejak 1926. Jerman sendiri bagi
Rockefeller ibarat "rumah kedua", karena kakek moyangnya, yakni Johann
Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.
Ditengarai,
CIA dan Waffen SS disewa khusus melakukan penjagaan mengingat industri
patungan tersebut kian menggurita dan melibatkan banyak orang
berpengaruh. Di antaranya adalah Averell Harriman (raja kereta Amerika
Serikat), Fritz Thyssen (industrialis, penyokong utama keuangan Nazi),
serta bankir Amerika Serikat — George Herbert Walker dan Prescott Bush.
Uniknya lagi, di dalam kompleks industri militer ini masuk pula
kepentingan Joseph Stalin, pimpinan Rusia yang juga musuh besar Nazi
Jerman. Kompleks industri ini agaknya sengaja dilokalisir di Polandia
agar terhindar dari campur-tangan Hitler dan para kroninya.
Undang-undang Trading with the Enemy Act
yang diterbitkan badan legislatif Amerika Serikat seolah tak bergigi
menghadapi praktik gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil
memberi imbalan karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang
Amerika Serikat. Kebanyakan petinggi Amerika Serikat juga segan
berurusan dengan keluarga Rockefeller karena ia menguasai banyak ladang
minyak di seantero Amerika Serikat.
Sangat tak mungkin jika Pemerintah
Amerika Serikat tak mengetahui atau memberi izin berkaitan dengan ekspor
barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah dipahami jika kemudian
pemboman yang dilakukan Amerika Serikat tak pernah menjamah Auschwitz.
Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp konsentrasi
yang ada di sana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah Jerman
ditengarai juga dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan
suatu fakta yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung
berkantor pusat di gedung pencakar langit milik Farben di Frankfurt.
Deretan fakta tersebut kontan menguatkan
tuduhan bahwa holocaust tak lebih dari persekongkolan jahat.
Orang-orang Yahudi itu pun kemudian berkilah. Memasuki dasawarsa
1930-an, mereka seperti diberi angin dalam membangun pabrik bir, bank,
pabrik dan pertokoan. Namun setelah itu mereka dipaksa mendukung proyek
Aryanisasi dengan menyerahkan aset-aset mereka untuk ongkos memulai
perang.
Mereka lalu dijadikan sapi perahan.
Sekitar sepuluh juta orang dieksploitir di pabrik-pabrik sebagai budak
dan buruh kerja paksa. Mereka yang sudah tak mampu lagi bekerja akan
segera digiring ke kamp-kamp eksperimen sebagai final solution. Enam
juta orang Yahudi dan warga minoritas lain dilaporkan mati dalam proyek
penyiksaan yang dipimpin Reinhard Heydrich.
Persekongkolan Pasca-Perang
Ketika perang baru saja pecah, tak
sedikit warga Yahudi sudah mengetahui prahara apa yang bakal menimpa.
Mereka kemudian berupaya menyewa kapal laut dan melarikan diri ke
Palestina. Upaya pelarian ini ironisnya digagalkan oleh tentara Inggris
dan Amerika Serikat.
William R. Perl, mantan aktivis yang
kemudian direkrut menjadi perwira intelijen AD Amerika Serikat, ingat
betul bagaimana kapal perang Inggris, HMS Lorna menembaki kapal
penumpang Tiger Hill hingga terbakar dan tenggelam begitu mendekati
tanah Palestina. Lima belas ribu imigran Yahudi yang terperangkap di
dalamnya menjadi tumbal pelarian sementara kapal-kapal lain dengan
terpaksa kembali ke Jerman. Tembakan juga dilancarkan dari intelijen
Inggris Mi-6 ke arah kapal "The Struma".
Untuk apa mereka mengusir balik para
pengungsi itu jika tak ada maksud tertentu? Pertanyaan ini sama sinisnya
dengan pernyataan yang kemudian mengemuka. Yakni, bahwa korban pertama
tentara Inggris semasa PD II sebenamya bukanlah orang Jerman, melainkan
justru para imigran Yahudi tak bersenjata.
Persekongkolan CIA dengan pasukan
rahasia Jerman yang sulit dipercaya masih dijalin hingga perang usai.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa begitu Jerman menyerah, pemerintah
Amerika Serikat dan Rusia segera mengirim tim khusus untuk memburu
ilmuwan Jerman yang terkenal pintar berikut senjata dan temuan rahasia
yang telah mereka buat. Masing-masing berusaha membawa pulang
sebanyak-banyaknya, dan masing-masing tentu saja melibatkan satuan
intelijen dan pasukan elit.
Intelijen Nazi sendiri lebih berpihak
ke Amerika Serikat ketimbang Rusia. Hal ini ditandai dengan kasak-kusuk
Jenderal Reinhard Gehlen, pimpinan intelijen Nazi. Alih-alih agar
reputasi kejahatannya selama di SS lolos dari perangkap Pengadilan
Nuremberg, ia buru-buru mengontak Direktur CIA Allen Dulles dan
mengajukan tawaran. Ia siap menyerahkan ratusan cendekiawan kunci Jerman
asalkan CIA mau menghapus track record intelijen Nazi dan mau
menerimanya sebagai bagian dari CIA. Jika tawaran ini ditolak ia sudah
siap berafiliasi dengan KGB dan menyerahkan seluruh aset berharga itu ke
tangan Rusia.
Menghadapi tawaran tersebut, Dulles tak
berkutik. Ia pun "menyerah" dan mau menutup seluruh kisah kejahatan
intelijen Nazi, bahkan kalau perlu CIA akan menulis ulang sejarah masa
lalu unit ini. Dulles menjamin seluruh rahasia unit ini aman ditangannya
dan unit Gehlen bisa langsung menginduk di bawah naungan CIA. Sikap
terbuka ini kontan "dibayar" dengan 760 cendekiawan Jerman Nazi yang
langsung dikirim bertahap ke Amerika Serikat hingga 1955 memperkuat
komunitas ilmuwan di negeri tersebut.
Presiden Harry S. Truman sadar betul,
paket cendekiawan ini dapat menjadi sasaran celaan kaum oposan karena
melapangkan hak keimigrasian bagi tokoh Nazi amat dilarang UU. Untuk itu
ia memberanikan diri memberi hak khusus kepada CIA untuk mengeksekusi
proyek ini dalam operasi khusus berkode Paperclip. Dalam operasi ini,
mereka masuk ke Amerika Serikat melalui gerbang khusus yang diawasi Agen
Obyek Intelijen Gabungan Departemen Peperangan.
Diantara yang lolos seleksi ada
nama-nama seperti Arthur Rudolph dan Wernher von Braun. Rudolph tak lain
adalah direktur operasi pabrik Mittlewerk di kompleks kamp konsentrasi
Dora-Nordhausen. Ia dianggap bertanggung-jawab terhadap penyiksaan
20.000 pekerja paksa. Catatan awal menunjukkan, Rudolph 100 persen Nazi,
berbahaya dan mengancam. Namun, catatan terbaru CIA menyatakan: tak ada
satu pun dalam jejak kehidupannya tersangkut kriminal atau kegiatan
Nazi. Di Amerika Serikat, Rudolph dan Braun mengembangkan roket Saturn 5
yang berhasil mengantar modul Apollo ke bulan.
Selain mereka juga ada Kurt Blome,
pembuat vaksin; Walter Schreiber, dokter psikopat di kamp konsentrasi;
Klaus Barbie, SS penjagal ribuan warga Prancis; Heinrich Rupp, agen SS
yang kemudian menjadi tokoh belakang layar kasus Iran-Kontra; Licio
Gelli, agen rahasia Italia pendukung fanatik Nazi yang kemudian atas
persetujuan Amerika Serikat jadi penyuplai rudal Exocet ke Argentina.
Di antara sekian banyak tokoh. Gelli
dinilai sebagai tokoh paling berharga bagi CIA karena punya pengaruh
lugs. Selain punya hubungan dekat dengan George H. Bush, Paus Paulus VI
dan Juan Peron (Argentina), ia juga menjalin kedekatan dengan pimpinan
Libya Muammar Khadafy dan menjadi agen ganda CIA-KGB. Gelli juga ikut
mendirikan Brigade Merah di Italia. (US National Archieve, http://www.nara.gov)
Operasi Paperclip akhirnya dihentikan
pada 1957 menyusul protes keras yang dilancarkan pemerintah Jerman
Barat. Pemerintah Jerman Barat jengah terhadap ekploitasi yang
dikerjakan CIA terhadap orang-orang Jerman. Terlebih karena sebagai
pendiri kantor intelijen Bundesnarichtensdient (BND), Gehlen menjadi
sulit memihak kepada negaranya. Namun, di luar proyek ini, orang-orang
ini toh tak pernah bisa seratus persen melepas kebiasaan buruknya.
Mereka masih suka bermain di belakang layar dan tetap saja suka menyiksa
orang.