| Mera Naam Joker: Sejak Perang Dunia Hingga Tatanan Dunia Baru

Senin, 11 Juni 2012

Sejak Perang Dunia Hingga Tatanan Dunia Baru



istilah
Barat menganggap dirinya super, yang lain pelengkap

Oleh: Nasrullah Idris
KETIKA berlangsung seminar Masalah-masalah Global dalam Perspektif Perkembangan Islam yang diselenggarakan ICMI-Orsat Berlin, belasan tahun yang lalu, terdapat seorang pembicaranya yang bernama: Hamadi El-Aouni, dosen Ilmu Politik dan Ekonomi di Universitas Berlin: Freie Universiteit dan Fachhochschule fur Wirtschaft.
Di antaranya ia membicarakan manipulasi makna yang sering dilakukan Barat hanya untuk memperkokoh dirinya sebagai penguasa dunia. Karena ia merasa sebagai supremasi global, segala bentuk kelebihan Timur, seperti dikecilkan sampai dihilangkan.
Sayangnya, kata ilmuwan asal Tunisia itu, Timur sering terjebak oleh produk manipulasi itu, sehingga menjadi korban apresiasinya. Sekaligus menciptakan sikap minder dalam menghadapi masa depan.
Ia mengharapkan kita untuk waspada dalam menggunakan istilah Barat. Soalnya sebuah istilah bisa berarti sangat luas: politis, ideologis, etis, dan moralis. Istilah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi direkayasa oleh sejumlah badan tertentu yang memang untuk menciptakan istilah.
Perang Dingin, 1945-1989, sering dipandang Timur sebagai masa damai. Ini keliru. Karena selama itu sudah ratusan kali perang telah terjadi di Selatan. Karenanya, ia menganggap istilah itu hanya berlaku untuk Utara.
Tetapi Hamadi heran, mengapa banyak tokoh negara di Selatan yang mengakuinya. Malah para ilmuwan di Selatan pun bersikap serupa, meskipun mereka mengetahui, korban perang 1945-1989 melebihi korban Perang Dunia.
Tentang Perang Dunia pun dikritik Hamadi. Apakah benar seluruh dunia ketika itu terlibat perang? Tidak! Hanya terjadi antar negara kolonial di Eropa, plus Amerika Serikat dan Rusia. Sedangkan Asia, Amerika Latin, dan Afrika umumnya terseret karena setiap negara kolonial menyebarkan perang di teritorial negara yang dikuasainya.
Karenanya, istilah yang sudah melegenda secara global itu bisa berarti implisit: Eropa dan Amerika Serikat menobatkan dirinya, “Kami ialah dunia!”  Di luar itu hanya pelengkap.
Hamadi pun heran, mengapa harus Utara-Selatan, bukan sebaliknya. Ia mencurigai, apakah itu merupakan indikasi adanya persepsi bahwa Utara menguasai dunia dibandingkan Selatan? Atau masing-masing sebagai pihak aktif dan pasif dalam mengelola sumber daya alam.

Misalkan pada sektor teknologi. Di Utara melaju dengan pesat. Untuk merangsang kreativitas, disediakan anggaran milyaran US dollar. Sementara di Selatan, imitatif dengan mengimpor tehnokrat bersama laboratorium. Selain itu untuk sektor ekonomi. Di Utara integrasi semakin nyata dalam konsep ekonomi, sementara di Selatan kondisi seperti itu belum dijalankan secara optimal.
Masyarakat industri berkaitan dengan peradaban. Ia merupakan homogenitas perilaku manusia dalam masyarakat untuk bidang proses nilai tambah dalam mengelola bahan baku. Tetapi negeri berkembang bisa menyangkut wilayah mana saja tanpa kecuali, karena prosesnya pasti demikian, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.
Padahal setiap komunitas cenderung untuk membentuk masyarakat industri. Tetapi mengapa penerapannya tidak untuk setiap komunitas? Taruhlah untuk memudahkan komunikasi, tetapi mengapa tidak sebaliknya?  Di sini terdapat pengkultusan terselubung atas kelebihan Barat dibandingkan Timur.
Masalah ini pun termasuk pembahasan Hamadi dalam seminar tersebut.
Dulu banyak yang mengartikan Dunia Ketiga dari aspek power fisik. Dua kelas di atasnya dipegang oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun menurut Hamadi, dunia kelas tiga. Dua kelas diatasnya masing-masing mencakup negara yang tergabung dalam NATO dan Pakta Warsawa.
Tampak sekali, bagaimana Barat merendahkan Timur, dalam mencirikan Dunia Ketiga. Hanya Barat belum berani mengatakan dengan intepretasi yang gamblang itu.
Untuk Tatanan Dunia Baru, Hamadi mengintepretasikannya sebagai bentuk metode Barat untuk menundukkan, mengontrol, dan mengatur Dunia Ketiga, agar ketergantungan bisa tetap dijaga.
Dengan demikian, dari aspek politis, misalnya, hanya Barat yang berhak mengatur segala masalah yang terjadi di dunia, baik maupun jahat. Sayangnya sering tidak universal. Pemakaiannya ditentukan oleh situasi, waktu, dan kondisi, agar tidak menjadi bumerang terhadap kepentingannya.
Demikianlah hebatnya manipulasi makna buatan Barat untuk menutupi persepsi yang kira-kira menyudutkannya. Sebagai professor linguistik di MIT, Cambridge, Massachusetts, Noam Chomsky menyadari, media massa mempunyai kemampuan untuk membentuk opini, sekaligus mengarahkan publik dunia, hanya melalui manipulasi makna.
*Nasrullah Idris. Penulis tinggal di Bandung
Sumber: Hidayatullah.com
Comments
0 Comments