Barat menganggap dirinya super, yang lain pelengkap
Oleh: Nasrullah Idris
KETIKA berlangsung seminar
Masalah-masalah Global dalam Perspektif Perkembangan Islam yang
diselenggarakan ICMI-Orsat Berlin, belasan tahun yang lalu, terdapat
seorang pembicaranya yang bernama: Hamadi El-Aouni, dosen Ilmu Politik
dan Ekonomi di Universitas Berlin: Freie Universiteit dan Fachhochschule
fur Wirtschaft.
Di antaranya ia membicarakan manipulasi
makna yang sering dilakukan Barat hanya untuk memperkokoh dirinya
sebagai penguasa dunia. Karena ia merasa sebagai supremasi global,
segala bentuk kelebihan Timur, seperti dikecilkan sampai dihilangkan.
Sayangnya, kata ilmuwan asal Tunisia
itu, Timur sering terjebak oleh produk manipulasi itu, sehingga menjadi
korban apresiasinya. Sekaligus menciptakan sikap minder dalam menghadapi
masa depan.
Ia mengharapkan kita untuk waspada dalam
menggunakan istilah Barat. Soalnya sebuah istilah bisa berarti sangat
luas: politis, ideologis, etis, dan moralis. Istilah ini tidak terjadi
dengan sendirinya, tetapi direkayasa oleh sejumlah badan tertentu yang
memang untuk menciptakan istilah.
Perang Dingin, 1945-1989, sering
dipandang Timur sebagai masa damai. Ini keliru. Karena selama itu sudah
ratusan kali perang telah terjadi di Selatan. Karenanya, ia menganggap
istilah itu hanya berlaku untuk Utara.
Tetapi Hamadi heran, mengapa banyak
tokoh negara di Selatan yang mengakuinya. Malah para ilmuwan di Selatan
pun bersikap serupa, meskipun mereka mengetahui, korban perang 1945-1989
melebihi korban Perang Dunia.
Tentang Perang Dunia pun dikritik
Hamadi. Apakah benar seluruh dunia ketika itu terlibat perang? Tidak!
Hanya terjadi antar negara kolonial di Eropa, plus Amerika Serikat dan
Rusia. Sedangkan Asia, Amerika Latin, dan Afrika umumnya terseret karena
setiap negara kolonial menyebarkan perang di teritorial negara yang
dikuasainya.
Karenanya, istilah yang sudah melegenda
secara global itu bisa berarti implisit: Eropa dan Amerika Serikat
menobatkan dirinya, “Kami ialah dunia!” Di luar itu hanya pelengkap.
Hamadi pun heran, mengapa harus
Utara-Selatan, bukan sebaliknya. Ia mencurigai, apakah itu merupakan
indikasi adanya persepsi bahwa Utara menguasai dunia dibandingkan
Selatan? Atau masing-masing sebagai pihak aktif dan pasif dalam
mengelola sumber daya alam.
Misalkan pada sektor teknologi. Di Utara melaju dengan pesat. Untuk merangsang kreativitas, disediakan anggaran milyaran US dollar. Sementara di Selatan, imitatif dengan mengimpor tehnokrat bersama laboratorium. Selain itu untuk sektor ekonomi. Di Utara integrasi semakin nyata dalam konsep ekonomi, sementara di Selatan kondisi seperti itu belum dijalankan secara optimal.
Misalkan pada sektor teknologi. Di Utara melaju dengan pesat. Untuk merangsang kreativitas, disediakan anggaran milyaran US dollar. Sementara di Selatan, imitatif dengan mengimpor tehnokrat bersama laboratorium. Selain itu untuk sektor ekonomi. Di Utara integrasi semakin nyata dalam konsep ekonomi, sementara di Selatan kondisi seperti itu belum dijalankan secara optimal.
Masyarakat industri berkaitan dengan
peradaban. Ia merupakan homogenitas perilaku manusia dalam masyarakat
untuk bidang proses nilai tambah dalam mengelola bahan baku. Tetapi
negeri berkembang bisa menyangkut wilayah mana saja tanpa kecuali,
karena prosesnya pasti demikian, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.
Padahal setiap komunitas cenderung untuk
membentuk masyarakat industri. Tetapi mengapa penerapannya tidak untuk
setiap komunitas? Taruhlah untuk memudahkan komunikasi, tetapi mengapa
tidak sebaliknya? Di sini terdapat pengkultusan terselubung atas
kelebihan Barat dibandingkan Timur.
Masalah ini pun termasuk pembahasan Hamadi dalam seminar tersebut.
Dulu banyak yang mengartikan Dunia
Ketiga dari aspek power fisik. Dua kelas di atasnya dipegang oleh Uni
Soviet dan Amerika Serikat. Namun menurut Hamadi, dunia kelas tiga. Dua
kelas diatasnya masing-masing mencakup negara yang tergabung dalam NATO
dan Pakta Warsawa.
Tampak sekali, bagaimana Barat
merendahkan Timur, dalam mencirikan Dunia Ketiga. Hanya Barat belum
berani mengatakan dengan intepretasi yang gamblang itu.
Untuk Tatanan Dunia Baru, Hamadi
mengintepretasikannya sebagai bentuk metode Barat untuk menundukkan,
mengontrol, dan mengatur Dunia Ketiga, agar ketergantungan bisa tetap
dijaga.
Dengan demikian, dari aspek politis,
misalnya, hanya Barat yang berhak mengatur segala masalah yang terjadi
di dunia, baik maupun jahat. Sayangnya sering tidak universal.
Pemakaiannya ditentukan oleh situasi, waktu, dan kondisi, agar tidak
menjadi bumerang terhadap kepentingannya.
Demikianlah hebatnya manipulasi makna
buatan Barat untuk menutupi persepsi yang kira-kira menyudutkannya.
Sebagai professor linguistik di MIT, Cambridge, Massachusetts, Noam
Chomsky menyadari, media massa mempunyai kemampuan untuk membentuk
opini, sekaligus mengarahkan publik dunia, hanya melalui manipulasi
makna.
*Nasrullah Idris. Penulis tinggal di Bandung Sumber: Hidayatullah.com