“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka”
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang
berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat
harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia
berkata:”Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang
mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?” “Ya, benar,
anak muda” kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan: “Kalau begitu
saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan
sorga.”
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua
hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya
saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata
pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat.
Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa
dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta
dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang
mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan
berteriak:”Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . .”
Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan
kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: “Tadi sewaktu aku
sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya
berkata: “Pergilah kepada Ainul Mardiyah.” Ia juga mengajakku memasuki
taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan
dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan
perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka
bergembira seraya berkata: “Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada
mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?” Mereka
menjawab salamku dan berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya.
Teruskanlah langkahmu” Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang
lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama,
mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat
dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari
yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan
memanggil-manggil yang ada di dalam: “Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu
datang . …”
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari
yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan
yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: “Bersabarlah, kamu belum
diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada
dalam dirimu.” Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: “Lalu aku
terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu
lama”.
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba
sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda
itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba
meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran
darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga
ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. (Irsyadul Ibad
).