Akhir-akhir ini semakin berani adanya
kelompok tertentu yang menyelisihi Ummat Islam pada umumnya dalam
mengawali puasa Ramadhan dan Idul Fithri. Seolah bahkan unjuk gigi. Di
antara yang jelas-jelas menyelisihi itu adalah kelompok Tarekat
Naqsabandiyah Sumatera Barat. Ramadhan 1432 H/ 2011, mereka mendahului
keputusan pemerintah dua hari. Sehingga mereka telah memulai puasa
Ramadhan hari Sabtu 30 Juli 2011, padahal keputusan pemerintah Indonesia
bahkan Saudi Arabia dan lain-lain awal Ramadhan 1432 H adalah hari
Senin 1 Agustus 2011.
Secara petunjuk dari Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengawali puasa dan berhari raya Idul
Fithri itu adalah dengan melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu),
atau kalau tertutup awan (tidak terlihat) maka bulannya disempurnakan
30 hari. Di samping itu, mengawali puasa Ramadhan dan berhari raya itu
sesuai dengan keadaan masyarakat, awal puasa pada saat mereka mengawali
puasa, dan berhari raya saat mereka berhari raya.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah (berhari raya Fithri lah) kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal-
itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”( HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua
orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal
Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan
hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92).
Di samping itu ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas
kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul adha.” ( HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits
ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan,
”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan
hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum
muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ” (lihat http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html, atau lihat http://nahimunkar.com/pemerintah-putuskan-awal-puasa-ramadhan-1432h-senin-1-agustus-2011/)
Berita tentang pengumuman pemerintah
mengenai awal Ramadhan 1432H dan penyelisihan kelompok Tarekat
Naqsabandiyah Sumatera Barat sebagai berikut:
Pemerintah akhirnya memutuskan awal
puasa Ramadhan 1432H jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Keputusan ini
diambil dalam siding itsbat di Kementerian Agama, yang dipimpin Menteri
Agama, Suryadharma Ali, Ahad, 31 Agustus 2011. Dari 38 lokasi yang
tersebar di seluruh Indonesia, tiga lokasi melihat penampakan hilal
yaitu di Makassar, Gresik, dan Bangkalan.
Permulaan puasa 1 Agustus juga akan
berlaku di Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Di Indonesia,
permulaan puasa Ramadan juga akan berlangsung 1 Agustus.
Sementara itu, sejumlah umat Islam dari
pengikut Tarekat Naqsabandiyah Islam tradisional di Sumatera Barat sudah
mulai puasa sejak Sabtu, 30 Juli 2011. Pimpinan jemaah Naqsabandiyah
untuk Musala Baitul Makmur di Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Kota Padang,
Syafri Malin Mudo, mengatakan berdasarkan hisab ajaran Naqsabandiyah
penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha selalu lebih awal 2
hari dari versi pemerintah.
“Hal itu didasarkan pada metode hisab
Munjid yang digunakan Tarekat Naqsabandiyah yang berasal dari Mekkah,
Arab Saudi. Berdasarkan kalender kami, 1 Ramadan 1432 Hijriah jatuh hari
Sabtu 30 Juli 2011,” kata Syafri, Minggu 30 Juli 2011.
Masjid pengikut ajaran ini juga terdapat
di sejumlah kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Pengikut
Naqsabandiyah di Kota Padang lebih dari 3.000 orang, sedangkan di
Sumatera Barat sekitar 8.000 orang.
TEMPO Interaktif, MINGGU, 31 JULI 2011 | 18:43 WIB (http://nahimunkar.com/pemerintah-putuskan-awal-puasa-ramadhan-1432h-senin-1-agustus-2011/)
Pantas dipertanyakan, apa latar belakang
Tarekat Naqsabandiyah menyelisihi pelaksanaan awal Ramadhan, dan juga
biasanya menyelisihi dalam berhari raya Idul Fithri itu? Karena
sebenarnya dalam Islam sudah ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bagaimana tatacara untuk mengawali puasa Ramadhan,
dan menentukan hari raya, seperti tercantum dalam hadits-hadits shahih
yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut. Sedangkan Islam ini
ketika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada
pilihan yang lain-lain lagi. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs al-Ahzab 33:36).
Jadi sebenarnya, ada apa di balik Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat?
Mari kita lihat kaitannya dengan gerakan
kebatinan Yahudi yakni Theosofi dan juga gerakan kaum Adat di Sumatera
Barat. Inilah uraiannya, sebuah tulisan dari pengamat tentang Yahudi,
Artawijaya:
Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minangkabau
Theosofi adalah perkumpulan
sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru,
seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama
universal dan lain-lain.
Theosofi adalah organisasi kebatinan
yang didirikan oleh para Yahudi dan aktivis Freemasonry, yaitu: Helena
Petrovna Blvatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, Dr Annie
Besant, dan Charles Webster Leadbeater. Mereka adalah orang-orang yang
bergiat dalam diskusi-diskusi mengenai okultisme, ancient wisdom
(kearifan kuno), dan doktrin-doktrin kabbalah. Mereka kemudian
mendirikan the Theosophical Society (Masyarakat Theosofi) pada tahun
1875 di New York, Amerika Serikat.
Apa itu organisasi Theosofi? Dalam situs
www.theosofi-indonesia.com, dijelaskan, “Theosofi adalah sebuah badan
kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat
dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi
menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat
dimengerti, dan Theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah
yang membimbing evolusi kehidupan.”
Dari penjelasan di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa, Theosofi menganggap bahwa kebenaran adalah dasar
semua agama yang tidak bisa dimonopoli oleh agama atau kepercayaan
apapun. Dengan kata lain, tidak boleh ada satu agama manapun yang merasa
keyakinannya paling benar. Semua agama, selama membawa kebenaran dan
kebaikan, menurut Theosofi pada hakikatnya sama. Kebenaran yang dimaksud
oleh Theosofi adalah kesatuan hidup menuju pada Yang Satu, sedangkan
kebaikan adalah wujud dari pengabdian kepada kemanusiaan. Theosofi
berkeyakinan, “There is no religion higher than truth” (Tidak ada agama
yang lebih tinggi daripada kebenaran). (http://www.suara-islam.com/news/kajian-dan-dakwah/freemasonry/2335-doktrin-pluralisme-agama-jil-dan-theosofi-bag2)
***
Penganut Theosofi di Minangkabau
menolak penegakkan syariat yang dianggap ancaman terhadap adat istiadat
Minangkabau. Padahal syariat yang ingin ditegakkan ketika itu hanyalah
ingin menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan akidah Islam.
Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah
Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi ini
juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di
sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki
kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Para penganut
tarekat menganggap Theosofi sama dengan tasawuf, sebagaimana anggapan
ini juga pernah hinggap pada Haji Agoes Salim yang sempat menjadi
anggota Theosofi dan kemudian keluar dari keanggotaan setelah mengetahui
tujuan sesungguhnya dari Theosofi yang tidak sejalan dengan Islam. Haji
Agoes Salim bahkan pernah menerjemahkan buku berjudul “Kitab Theosofi”
yang ditulis oleh tokoh Theosofi dunia, Charles Webster Leadbeater.
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut
Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah
Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam,
utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur
tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang
bertentangan dengan Islam. Di Sumatera Barat, tokoh kaum adat yang
menginginkan tradisi tetap berada di atas (mengungguli?, red nm) hukum
syariat, adalah mereka yang tercatat sebagai penganut organisasi
Theosofi. Sedangkan mereka yang menginginkan tradisi Minangkabau bersih
dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berasal dari
tradisi di luar Islam, disebut sebagai kaum muda Islam. Namun, kaum adat
menyebut mereka yang ingin mengadakan pemurnian ajaran Islam ini dengan
sebutan “Kelompok Paderi” atau “penganut Wahabi”.
Dalam sejarah tercatat, mereka yang
dituduh sebagai pewaris gerakan Paderi dan pembawa paham Wahabi, serta
penentang kelompok adat adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari
Buya Hamka), Haji Miskin, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, dan
Syekh Achmad Khatib. Mereka sendiri tidak pernah menyebut dirinya
sebagai kelompok Wahabi dan tak pernah juga menyatakan dirinya sebagai
pewaris gerakan Paderi. Semua label itu diberikan oleh kaum adat, yang
pada masa lalu khawatir bahwa adat istiadat, tradisi dan budaya
Minangkabau tergerus dengan syariat Islam. Namun begitu, kelompok yang
dituduh sebagai penganut Wahabi berhasil menjadikan Minangkabau sebagai
wilayah yang kental dengan nuansa syariat Islam, dengan semboyannya yang
terkenal hingga kini: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah!
Siapa tokoh penganut Theosofi di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang juga penganut Theosofi adalah Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi, Sutan Maharadja juga dikabarkan sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh. Datuk Sutan Maharadja yang bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS),sekolah elit yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan ayahnya dengan pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer, Sutan Maharadja dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam.
Siapa tokoh penganut Theosofi di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang juga penganut Theosofi adalah Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi, Sutan Maharadja juga dikabarkan sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh. Datuk Sutan Maharadja yang bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS),sekolah elit yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan ayahnya dengan pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer, Sutan Maharadja dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam.
Ayah Sutan Maharadja bernama Datuk
Bandaro. Sosok sang ayah dikenal sangat memusushi ulama dan menjunjung
tinggi adat istiadat. Datuk Bandaro mengkhawatirkan sepak terjang para
ulama yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari tradisi dan adat
istiadat di luar Islam, sebagai pewaris gerakan Paderi atau penganut
Wahabi yang ingin menghapuskan adat dan tradisi Minangkabau. Padahal,
apa yang dilakukan para ulama ketika itu, sekadar membersihkan
Minangkabau dari adat dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Para
ulama ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa Islam yang merupakan jati
diri rakyat Minangkabau harus bersih dari adat dan tradisi yang tidak
sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Datuk Sutan Maharadja terinspirasi dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement)
yang dipelopori oleh seorang Yahudi Dunamah anggota Freemason, Mustafa
Kemal At-Taturk. Karena terinspirasi dengan revolusi yang terjadi di
Turki, Sutan Maharadja kemudian mendirikan kelompok kaum adat dengan
tujuan menjaga kelestarian adat istiadat Minangkabau dan menjauhkannya
dari pengaruh Kesultanan Aceh, yang pada masa lalu sangat menjalin erat
dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Oleh para pendukungnya, Sutan
Maharadja kemudian mendapat gelar “Datuk Bangkit” karena usahanya untuk
membangkitkan kembali adat istiadat Aceh, yang menurutnya pada masa lalu
sudah tercemar oleh pengaruh kesultanan Aceh.
Datuk Sutan Maharadja selalu menyatakan
dirinya sebagai penganut Theosofi. Ia juga menegaskan pentingnya
pendidikan Barat dan perlunya menjaga keteguhan adat istiadat
Minangkabau dari pengaruh luar, khususnya Aceh yang berjuluk “Serambi
Makkah.” Untuk melawan gerakan kaum muda yang ia sebut sebagai pewaris
“Kelompok Paderi dan Wahabi” ia dan beberapa bangsawan Minangkabau
kemudian mendirikan Sarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM) pada 1916.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan
mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja
kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam
slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat
pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya
juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Sutan Maharadja menyerang kelompok kaum
muda lewat tulisan-tulisannya di surat kabar yang ia pimpin. Ia dengan
tegas menolak upaya kaum muda dengan ajaran-ajaran syariatnya yang ingin
menghapus adat dan tradisi Minangkabau. Pertentangan ini sampai membuat
Haji Abdullah Ahmad, tokoh Islam yang disebut Wahabi oleh Sutan
Maharadja, menyebut kelompok kaum adat, terutama Sutan Maharadja
sendiri, “Tak tentu agamanya dan tak tentu adatnya.”
Selain Sutan Maharadja, tokoh kelompok
Sarikat Alam Adat Minangkabau (SAAM) yang menjadi anggota Theosofi
adalah Abdul Karim. Selain menolak penegakkan syariat Islam, pada masa
lalu SAAM juga menolak pelajaran Islam masuk dalam sekolah-sekolah di
Minangkabau. Mereka khawatir, pelajaran agama Islam yang masuk ke
sekolah-sekolah adalah pelajaran yang mengadopsi pemahaman Wahabi yang
bisa menjadi ancaman bagi adat istiadat masyarakat Minangkabau.
Untuk menolak pelajaran agama Islam di
sekolah-sekolah, kaum adat kemudian membuat artikel di Surat Kabar
Oetoesan Melayoe pada 28 Oktober 1918. Mereka menulis,”Relakah
orang-orang Theosofi seperti Engku A Karim dan lain-lain bila anak
kemenakan beliau itu akan dapat pelajaran agama Islam di sekolah, yaitu
kalau yang diajarkan agama Islam itu hanya fekah (fikih) atau hukum
syara’ saja? Kecuali kalau yang akan diajarkan di sekolah itu ialah
pelajaran yang perbaikan hati, pensucian hati, supaya berhati suci dan
berhati mulia. Sedang sekolah-sekolah agama Islam yang diadakan sekarang
kalau cuma namanya saja yang sekolah agama Islam, padahal yang
diajarkan melainkan hukum syara’ atau fikih saja. Pendeknya, yang
diajarkan adalah Arabich Cultuur (Kultur Arab).”
Selain memuat penolakan terhadap
pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat yang dimotori oleh
Sutan Maharadja juga membuat fitnah dengan mengatakan bahwa sekolah
Adabiah yang dikelola oleh Haji Abdullah Ahmad memungut biaya yang
sangat mahal kepada anak-anak didiknya. Kemudian, dengan bahasa yang
sangat menjilat kaum adat meminta kepada pemerintah Belanda untuk
membangun sekolah HIS (Holland Inlands School) lainnya di Minangkabau.
Pada masa lalu, di Minangkabau kelompok
yang disebut pewaris Kelompok Paderi dan penganut paham Wahabi memang
menolak keberadaan Theosofi dan kelompok-kelompok tarekat lainnya yang
dianggap berseberangan dengan akidah Islam. Untuk membantah kelompok
kaum muda yang disebut Wahabi, Sutan Maharadja kemudian membuat sebuah
tulisan di Oetoesan Melayoe pada 11 Juni 1917 dengan judul “Theosofie
dan SAAM (Sarikat Alam Adat Minangkabau”. Ia menulis, “…sepanjang kata
murid Haji Abdullah Ahmad itu, Theosofi dikatakan sebagai agama baru.
Dikatakan agama baru oleh murid Haji Abdullah Ahmad, karena pada gurunya
tak ada ilmu tasauf dan tidaklah ia tahu bahwa ilmu tasauf itu bukanlah
agama baru, melainkan sudah sejak dari zaman Nabi Adam. Theo itu
artinya “Allah”. Sofie itu artinya ilmu. Jadi Theosofie itu ilmu Allah,
ma’rifatullah…” demikian tulis Sutan Maharadja.
Benarkah Theosofi itu tasauf dan ilmu mengenal Allah? Dalam buku The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan, Theosofi adalah the wisdom religion
(agama kebijaksanaan) yang berusaha mempersatukan agama-agama dalam
sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang dilakukan oleh
seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak para gentiles/goyim
(non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk
mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki
kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang
pohon yang sama, yaitu the wisdom religion.
Theosofi mempunyai misi menyatukan
agama-agama dalam sebuah puncak persaudaraan universal, yang pada
ujungnya justru menihilkan sama sekali agama-agama yang ada. Karena,
masing-masing orang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar, dan
masing-masing orang harus mengakui bahwa semua agama sama, menuju pada
yang sama, dan mengabdi pada kemanusiaan. Theosofi adalah perkumpulan
sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru,
seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama
universal dan lain-lain. Dan, atas nama “menjaga kearifan lokal masa
lalu” kelompok Theosofi pada masa lalu juga berusaha menjadikan
nilai-nilai tradisi berada di atas agama. Jadi, agama tak boleh
mengalahkan tradisi. Inilah yang juga menjadi sikap Datuk Sutan
Maharadja, yang berusaha mati-matian untuk menjaga agar adat istiadat
dan tradisi tak terhapus oleh ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’.
Jika Sutan Maharadja memang anggota
Theosofi sejati, tentu ia sangat tahu siapa saja pendiri Theosofi, apa
latarbelakangnya, dan bagaimana ajaran-ajarannya. Jika ia sudah tahu
tapi masih menjadi penganut Theosofi, maka bisa dipastikan ia tak lain
adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial, yang pada masa lalu
banyak dari elit-elitnya adalah anggota Theosofi dan Freemason. Sebagai
aliran kebatinan Yahudi yang memiliki banyak pemahaman sesat seperti
pluralisme agama, kesatuan wujud hamba dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti),
kesatuan Tuhan bagi semua agama-agama yang ada, tentu Theosofi sangat
berbahaya bagi masyarakat Minangkabau yang begitu berurat berakar dengan
jatidiri keIslamannya.
Artawijaya
Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
http://suara-islam.com, Wednesday, 03 August 2011 15:11 | Written by Shodiq Ramadhan |
Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
http://suara-islam.com, Wednesday, 03 August 2011 15:11 | Written by Shodiq Ramadhan |
Mendukung Penjajah Belanda, Memusuhi Islam
Butir-butir yang penting dalam uraian tersebut di antaranya:
Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah
Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi ini
juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di
sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki
kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Para penganut
tarekat menganggap Theosofi sama dengan tasawuf…
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut
Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah
Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam,
utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur
tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang
bertentangan dengan Islam.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan
mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja
kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam
slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat
pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya
juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Dalam kenyataan, faham tarekat yang
terbukti dalam sejarah di antara orang-orangnya mendukung penjajah
Belanda, justru faham tarekat itu diwadahi secara resmi dalam NU
(Nahdlatul Ulama). Secara sejarah pula, NU tidak diragukan pula
kedekatannya dengan penjajah Belanda, disamping memelihara keyakinan
batil yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai hal-hal
yang berkaitan dengan kerjasama dengan jin atau syetan, di antaranya
ilmu kebal.
Beritanya sebagai berikut:
Astagfirullah!! Densus NU Diwajibkan Puasa 40 Hari Supaya Sakti Kebal Petasan
19 JULY 2011
Pada peringatan Harlah NU ke-85
diprolamirkan Densus 99 Banser NU untuk menangkal teror bom. Para
personelnya diwajibkan puasa 30-40 hari untuk mendapatkan kesaktian ilmu
kebal petasan.
Bertepatan dengan Harlah Nahdlatul Ulama
(NU) ke-85, Gerakan Pemuda Ansor memproklamirkan Detasemen Khusus 99
Banser Nahdlatul Ulama (Densus 99 Banser NU) untuk mengabdikan diri
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam mencegah aksi
terorisme.
Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid
menyatakan Densus 99 terdiri dari 204 personil yang memiliki kemampuan
ilmu kebal dan seni bela diri mumpuni. Selain ilmu kebal, detasemen yang
dikomandani Gus Nuruzzaman ini juga dibekali keahlian menjinakkan bom.
(http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/)
Kembali kepada masalah apa hubungan
tarekat dengan NU dan penjajah, disamping memadahi tarekat, masih pula
NU dalam sejarahnya ada catatan tentang dukungan NU terhadap penjajah
Belanda. Inilah sorotannya.
Kongres NU 1927 Menjunjung Sepuluh Jari Pemerintah Belanda
Untuk mengetahui sebagian kiprah NU
terutama yang belum tentu menguntungkan Islam bahkan kadang jauh dari
Islam yang benar, dapat disimak tulisan berikut ini:
…yang menyandang sikap yang kadang tidak
menguntungkan Islam, sehingga sikapnya itu gampang cocok dengan musuh
Islam justru dilakukan pula oleh jum’iyyah terbesar di Indonesia yakni
NU.
Makanya bagi yang faham akan watak NU
(Nahdlatul Ulama), tidak begitu kaget ketika kini di Indonesia sudah
disiapkan kader NU warisan Gus Dur yang diplot untuk membangun sebuah
jejaring politik dan bisnis Yahudi di Indonesia.
Memangnya kenapa tidak begitu kaget?
Ya, coba buka sejarah atau buku-buku tentang dosa-dosa NU, atau buku Bila Kyai Dipertuhankan Membedah Sikap Beragama NU karya Hartono Ahmad Jaiz. Di sana telah tertera dalam sejarah secara jelas dan gamblang watak NU. Mari kita simak kutipan ini:
Kadang-kadang NU disifatkan orang
sebagai suatu partai yang secara khas biasa mendukung setiap
pemerintahan yang ada. Karena kesediaannya setiap waktu memasuki
kabinet apapun, partai ini juga sering dituduh sebagai berpaham
petualang. “Para pemimpin NU adalah tipe “solidarity maker”, pembangun
lambang-lambang, baik lambang tradisional maupun lambang kebangsaan”.
Namun warna dan suasana NU jelas tetap bersifat konservatif sewaktu ia
menjadi partai politik. Partai memberi kesan dikuasai oleh para kiai dan
ulama. Menurut Herbert Feith, “Tidak seorang pun terdapat dalam
kalangan kepemimpinan NU ini yang memiliki kemahiran yang diperlukan
dalam negara modern.” (BJ Boland,Pergumulan Islam di Indonesia, terjemahan, Grafiti Pers, Jakarta, cetakan pertama 1985, halaman 55, mengutip Feith, The declien, h 234).
Catatan sejarah tentang NU bisa disimak pula, untuk menjelaskan komentar tersebut di atas, sebagai berikut:
“Arsip kolonial dengan kode 261/X/28.
Isi arsip melaporkan kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yangmenjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjungsepuluh
jari. Sementara itu tokoh Islam yang menantang Belanda, menurut laporan
itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul.” (Majalah Tempo, Jakarta, 26 Desember 1987, seperti dikutip KH Firdaus AN,Dosa-dosa Politik, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, 1999, halaman 52, lihat buku Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU).
(Hartono Ahmad Jaiz, Keserakahan Yahudi, Nasrani, dan Gengnya, WIP Solo 2011, halaman 87-88). (lihat http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/).
Ini bukan berarti semua orang dari
kelompok-kelompok itu seperti itu gambarannya. Hanya saja catatan telah
menunjukkan demikian. Dan sampai sekarang masih terasa pula aromanya,
bahkan arahnya seperti tidak jauh berbeda, walau istilah colonial atau
penjajah kurang tampak, karena penjajahan kini bukan lagi penjajahan
fisik namun sudah lebih berbahaya lagi karena bahkan sampai penjajahan
akal, budaya, ekonomi, politik, pandangan hidup, informasi dan lainnya.
Apa yang tercatat dari kasus-kasus yang
lalu ini mungkin bisa dijadikan pelajaran yang berharga bagi yang
memperhatikannya dan masih sayang-sayang terhadap Islamnya.
Perlu berkaca diri pula, puasanya itu
untuk Allah Ta’ala dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam atau demi lainnya dan mengikuti ajaran lainnya?
Kalau memang untuk Allah Ta’ala dengan
mengikuti Rasul-Nya, kenapa harus mendahului sampai dua hari? Kenapa
pula ada puasa sampai 40 hari?
Tuntunan siapa dan untuk siapa sebenarnya amalan mereka itu?