| Mera Naam Joker: Apa Hubungan Tarekat, Theosofi Yahudi, dan NU dalam Mendukung Penjajah dan Menghadapi Islam?

Senin, 11 Juni 2012

Apa Hubungan Tarekat, Theosofi Yahudi, dan NU dalam Mendukung Penjajah dan Menghadapi Islam?


blavatsky-theosophy
nu
Akhir-akhir ini semakin berani adanya kelompok tertentu yang menyelisihi Ummat Islam pada umumnya dalam mengawali puasa Ramadhan dan Idul Fithri. Seolah bahkan unjuk gigi. Di antara yang jelas-jelas menyelisihi itu adalah kelompok Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat. Ramadhan 1432 H/ 2011, mereka mendahului keputusan pemerintah dua hari. Sehingga mereka telah memulai puasa Ramadhan hari Sabtu 30 Juli 2011, padahal keputusan pemerintah Indonesia bahkan Saudi Arabia dan lain-lain awal Ramadhan 1432 H adalah hari Senin 1 Agustus 2011.
Secara petunjuk dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengawali puasa dan berhari raya Idul Fithri itu adalah dengan melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu), atau kalau tertutup awan (tidak terlihat) maka bulannya disempurnakan 30 hari. Di samping itu, mengawali puasa Ramadhan dan berhari raya itu sesuai dengan keadaan masyarakat, awal puasa pada saat mereka mengawali puasa, dan berhari raya saat mereka berhari raya.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah (berhari raya Fithri lah) kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”( HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92).
Di samping itu ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” ( HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”  (lihat http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html, atau lihat http://nahimunkar.com/pemerintah-putuskan-awal-puasa-ramadhan-1432h-senin-1-agustus-2011/)
Berita tentang pengumuman pemerintah mengenai awal Ramadhan 1432H dan penyelisihan kelompok Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat sebagai berikut:
Pemerintah akhirnya memutuskan awal puasa Ramadhan 1432H jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Keputusan ini diambil dalam siding itsbat di Kementerian Agama, yang dipimpin Menteri Agama, Suryadharma Ali, Ahad, 31 Agustus 2011. Dari 38 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia, tiga lokasi melihat penampakan hilal yaitu di Makassar, Gresik, dan Bangkalan.
Permulaan puasa 1 Agustus juga akan berlaku di Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Di Indonesia, permulaan puasa Ramadan juga akan berlangsung 1 Agustus.
Sementara itu, sejumlah umat Islam dari pengikut Tarekat Naqsabandiyah Islam tradisional di Sumatera Barat sudah mulai puasa sejak Sabtu, 30 Juli 2011. Pimpinan jemaah Naqsabandiyah untuk Musala Baitul Makmur di Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Syafri Malin Mudo, mengatakan berdasarkan hisab ajaran Naqsabandiyah penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha selalu lebih awal 2 hari dari versi pemerintah.
“Hal itu didasarkan pada metode hisab Munjid yang digunakan Tarekat Naqsabandiyah yang berasal dari Mekkah, Arab Saudi. Berdasarkan kalender kami, 1 Ramadan 1432 Hijriah jatuh hari Sabtu 30 Juli 2011,” kata Syafri, Minggu 30 Juli 2011.
Masjid pengikut ajaran ini juga terdapat di sejumlah kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Pengikut Naqsabandiyah di Kota Padang lebih dari 3.000 orang, sedangkan di Sumatera Barat sekitar 8.000 orang.
Pantas dipertanyakan, apa latar belakang Tarekat Naqsabandiyah menyelisihi pelaksanaan awal Ramadhan, dan juga biasanya menyelisihi dalam berhari raya Idul Fithri itu? Karena sebenarnya dalam Islam sudah ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana tatacara untuk mengawali puasa Ramadhan, dan menentukan hari raya, seperti tercantum dalam hadits-hadits shahih yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut. Sedangkan Islam ini ketika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada pilihan yang lain-lain lagi. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا  [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs al-Ahzab 33:36).

Jadi sebenarnya, ada apa di balik Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat?
Mari kita lihat kaitannya dengan gerakan kebatinan Yahudi yakni Theosofi dan juga gerakan kaum Adat di Sumatera Barat.  Inilah uraiannya, sebuah tulisan dari pengamat tentang Yahudi, Artawijaya:
Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minangkabau
Datuk-Sutan-Maharadja
Datuk Sutan Maharadja, tokoh adat, penganut tarekat, penganut Theosofi Yahudi, penentang kelompok Islam
Theosofi adalah perkumpulan sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama universal dan lain-lain.
Theosofi adalah organisasi kebatinan yang didirikan oleh para Yahudi dan aktivis Freemasonry, yaitu: Helena Petrovna Blvatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, Dr Annie Besant, dan Charles Webster Leadbeater. Mereka adalah orang-orang yang bergiat dalam diskusi-diskusi mengenai okultisme, ancient wisdom (kearifan kuno), dan doktrin-doktrin kabbalah. Mereka kemudian mendirikan the Theosophical Society (Masyarakat Theosofi) pada tahun 1875 di New York, Amerika Serikat.
Apa itu organisasi Theosofi? Dalam situs www.theosofi-indonesia.com, dijelaskan, “Theosofi adalah sebuah badan kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan Theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan.”
Dari penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa, Theosofi menganggap bahwa kebenaran adalah dasar semua agama yang tidak bisa dimonopoli oleh agama atau kepercayaan apapun. Dengan kata lain, tidak boleh ada satu agama manapun yang merasa keyakinannya paling benar. Semua agama, selama membawa kebenaran dan kebaikan, menurut Theosofi pada hakikatnya sama. Kebenaran yang dimaksud oleh Theosofi adalah kesatuan hidup menuju pada Yang Satu, sedangkan kebaikan adalah wujud dari pengabdian kepada kemanusiaan. Theosofi berkeyakinan, “There is no religion higher than truth” (Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran). (http://www.suara-islam.com/news/kajian-dan-dakwah/freemasonry/2335-doktrin-pluralisme-agama-jil-dan-theosofi-bag2)
***
Penganut Theosofi di Minangkabau menolak penegakkan syariat yang dianggap ancaman terhadap adat istiadat Minangkabau. Padahal syariat yang ingin ditegakkan ketika itu hanyalah ingin menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan akidah Islam.
Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Para penganut tarekat menganggap Theosofi sama dengan tasawuf, sebagaimana anggapan ini juga pernah hinggap pada Haji Agoes Salim yang sempat menjadi anggota Theosofi dan kemudian keluar dari keanggotaan setelah mengetahui tujuan sesungguhnya dari Theosofi yang tidak sejalan dengan Islam. Haji Agoes Salim bahkan pernah menerjemahkan buku berjudul “Kitab Theosofi” yang ditulis oleh tokoh Theosofi dunia, Charles Webster Leadbeater.
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang bertentangan dengan Islam. Di Sumatera Barat, tokoh kaum adat yang menginginkan tradisi tetap berada di atas (mengungguli?, red nm) hukum syariat, adalah mereka yang tercatat sebagai penganut organisasi Theosofi. Sedangkan mereka yang menginginkan tradisi Minangkabau bersih dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berasal dari tradisi di luar Islam, disebut sebagai kaum muda Islam. Namun, kaum adat menyebut mereka yang ingin mengadakan pemurnian ajaran Islam ini dengan sebutan “Kelompok Paderi” atau “penganut Wahabi”.
Dalam sejarah tercatat, mereka yang dituduh sebagai pewaris gerakan Paderi dan pembawa paham Wahabi, serta penentang kelompok adat adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka), Haji Miskin, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, dan Syekh Achmad Khatib. Mereka sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Wahabi dan tak pernah juga menyatakan dirinya sebagai pewaris gerakan Paderi. Semua label itu diberikan oleh kaum adat, yang pada masa lalu khawatir bahwa adat istiadat, tradisi dan budaya Minangkabau tergerus dengan syariat Islam. Namun begitu, kelompok yang dituduh sebagai penganut Wahabi berhasil menjadikan Minangkabau sebagai wilayah yang kental dengan nuansa syariat Islam, dengan semboyannya yang terkenal hingga kini: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah!

Siapa tokoh penganut Theosofi di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang juga penganut Theosofi adalah Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi, Sutan Maharadja juga dikabarkan sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh. Datuk Sutan Maharadja yang bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS),sekolah elit yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan ayahnya dengan pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer, Sutan Maharadja dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam.
Ayah Sutan Maharadja bernama Datuk Bandaro. Sosok sang ayah dikenal sangat memusushi ulama dan menjunjung tinggi adat istiadat. Datuk Bandaro mengkhawatirkan sepak terjang para ulama yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari tradisi dan adat istiadat di luar Islam, sebagai pewaris gerakan Paderi atau penganut Wahabi yang ingin menghapuskan adat dan tradisi Minangkabau. Padahal, apa yang dilakukan para ulama ketika itu, sekadar membersihkan Minangkabau dari adat dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Para ulama ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa Islam yang merupakan jati diri rakyat Minangkabau harus bersih dari adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Datuk Sutan Maharadja terinspirasi dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipelopori oleh seorang Yahudi Dunamah anggota Freemason, Mustafa Kemal At-Taturk. Karena terinspirasi dengan revolusi yang terjadi di Turki, Sutan Maharadja kemudian mendirikan kelompok kaum adat dengan tujuan menjaga kelestarian adat istiadat Minangkabau dan menjauhkannya dari pengaruh Kesultanan Aceh, yang pada masa lalu sangat menjalin erat dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Oleh para pendukungnya, Sutan Maharadja kemudian mendapat gelar “Datuk Bangkit” karena usahanya untuk membangkitkan kembali adat istiadat Aceh, yang menurutnya pada masa lalu sudah tercemar oleh pengaruh kesultanan Aceh.
Datuk Sutan Maharadja selalu menyatakan dirinya sebagai penganut Theosofi. Ia juga menegaskan pentingnya pendidikan Barat dan perlunya menjaga keteguhan adat istiadat Minangkabau dari pengaruh luar, khususnya Aceh yang berjuluk “Serambi Makkah.” Untuk melawan gerakan kaum muda yang ia sebut sebagai pewaris “Kelompok Paderi dan Wahabi” ia dan beberapa bangsawan Minangkabau kemudian mendirikan Sarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM) pada 1916.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Sutan Maharadja menyerang kelompok kaum muda lewat tulisan-tulisannya di surat kabar yang ia pimpin. Ia dengan tegas menolak upaya kaum muda dengan ajaran-ajaran syariatnya yang ingin menghapus adat dan tradisi Minangkabau. Pertentangan ini sampai membuat Haji Abdullah Ahmad, tokoh Islam yang disebut Wahabi oleh Sutan Maharadja, menyebut kelompok kaum adat, terutama Sutan Maharadja sendiri, “Tak tentu agamanya dan tak tentu adatnya.”
Selain Sutan Maharadja, tokoh kelompok Sarikat Alam Adat Minangkabau (SAAM) yang menjadi anggota Theosofi adalah Abdul Karim. Selain menolak penegakkan syariat Islam, pada masa lalu SAAM juga menolak pelajaran Islam masuk dalam sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka khawatir, pelajaran agama Islam yang masuk ke sekolah-sekolah adalah pelajaran yang mengadopsi pemahaman Wahabi yang bisa menjadi ancaman bagi adat istiadat masyarakat Minangkabau.
Untuk menolak pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat kemudian membuat artikel di Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 28 Oktober 1918. Mereka menulis,”Relakah orang-orang Theosofi seperti Engku A Karim dan lain-lain bila anak kemenakan beliau itu akan dapat pelajaran agama Islam di sekolah, yaitu kalau yang diajarkan agama Islam itu hanya fekah (fikih) atau hukum syara’ saja? Kecuali kalau yang akan diajarkan di sekolah itu ialah pelajaran yang perbaikan hati, pensucian hati, supaya berhati suci dan berhati mulia. Sedang sekolah-sekolah agama Islam yang diadakan sekarang kalau cuma namanya saja yang sekolah agama Islam, padahal yang diajarkan melainkan hukum syara’ atau fikih saja. Pendeknya, yang diajarkan adalah Arabich Cultuur (Kultur Arab).”
Selain memuat penolakan terhadap pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat yang dimotori oleh Sutan Maharadja juga membuat fitnah dengan mengatakan bahwa sekolah Adabiah yang dikelola oleh Haji Abdullah Ahmad memungut biaya yang sangat mahal kepada anak-anak didiknya. Kemudian, dengan bahasa yang sangat menjilat kaum adat meminta kepada pemerintah Belanda untuk membangun sekolah HIS (Holland Inlands School) lainnya di Minangkabau.
Pada masa lalu, di Minangkabau kelompok yang disebut pewaris Kelompok Paderi dan penganut paham Wahabi memang menolak keberadaan Theosofi dan kelompok-kelompok tarekat lainnya yang dianggap berseberangan dengan akidah Islam. Untuk membantah kelompok kaum muda yang disebut Wahabi, Sutan Maharadja kemudian membuat sebuah tulisan di Oetoesan Melayoe pada 11 Juni 1917 dengan judul “Theosofie dan SAAM (Sarikat Alam Adat Minangkabau”. Ia menulis, “…sepanjang kata murid Haji Abdullah Ahmad itu, Theosofi dikatakan sebagai agama baru. Dikatakan agama baru oleh murid Haji Abdullah Ahmad, karena pada gurunya tak ada ilmu tasauf dan tidaklah ia tahu bahwa ilmu tasauf itu bukanlah agama baru, melainkan sudah sejak dari zaman Nabi Adam. Theo itu artinya “Allah”. Sofie itu artinya ilmu. Jadi Theosofie itu ilmu Allah, ma’rifatullah…” demikian tulis Sutan Maharadja.
Benarkah Theosofi itu tasauf dan ilmu mengenal Allah? Dalam buku The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan, Theosofi adalah the wisdom religion (agama kebijaksanaan) yang berusaha mempersatukan agama-agama dalam sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak para gentiles/goyim (non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom religion.
Theosofi mempunyai misi menyatukan agama-agama dalam sebuah puncak persaudaraan universal, yang pada ujungnya justru menihilkan sama sekali agama-agama yang ada. Karena, masing-masing orang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar, dan masing-masing orang harus mengakui bahwa semua agama sama, menuju pada yang sama, dan mengabdi pada kemanusiaan. Theosofi adalah perkumpulan sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama universal dan lain-lain. Dan, atas nama “menjaga kearifan lokal masa lalu” kelompok Theosofi pada masa lalu juga berusaha menjadikan nilai-nilai tradisi berada di atas agama. Jadi, agama tak boleh mengalahkan tradisi. Inilah yang juga menjadi sikap Datuk Sutan Maharadja, yang berusaha mati-matian untuk menjaga agar adat istiadat dan tradisi tak terhapus oleh ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’.
Jika Sutan Maharadja memang anggota Theosofi sejati, tentu ia sangat tahu siapa saja pendiri Theosofi, apa latarbelakangnya, dan bagaimana ajaran-ajarannya. Jika ia sudah tahu tapi masih menjadi penganut Theosofi, maka bisa dipastikan ia tak lain adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial, yang pada masa lalu banyak dari elit-elitnya adalah anggota Theosofi dan Freemason. Sebagai aliran kebatinan Yahudi yang memiliki banyak pemahaman sesat seperti pluralisme agama, kesatuan wujud hamba dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti), kesatuan Tuhan bagi semua agama-agama yang ada, tentu Theosofi sangat berbahaya bagi masyarakat Minangkabau yang begitu berurat berakar dengan jatidiri keIslamannya.
Artawijaya
Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

http://suara-islam.com, Wednesday, 03 August 2011 15:11 | Written by Shodiq Ramadhan |
Mendukung Penjajah Belanda, Memusuhi Islam
Butir-butir yang penting dalam uraian tersebut di antaranya:
Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Para penganut tarekat menganggap Theosofi sama dengan tasawuf…
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang bertentangan dengan Islam.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Dalam kenyataan, faham tarekat yang terbukti dalam sejarah di antara orang-orangnya mendukung penjajah Belanda, justru faham tarekat itu diwadahi secara resmi dalam NU (Nahdlatul Ulama). Secara sejarah pula, NU tidak diragukan pula kedekatannya dengan penjajah Belanda, disamping memelihara keyakinan batil yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama dengan jin atau syetan, di antaranya ilmu kebal.
Beritanya sebagai berikut:
Astagfirullah!! Densus NU Diwajibkan Puasa 40 Hari Supaya Sakti Kebal Petasan
19 JULY 2011
Pada peringatan Harlah NU ke-85 diprolamirkan Densus 99 Banser NU untuk menangkal teror bom. Para personelnya diwajibkan puasa 30-40 hari untuk mendapatkan kesaktian ilmu kebal petasan.
Bertepatan dengan Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke-85, Gerakan Pemuda Ansor  memproklamirkan Detasemen Khusus 99 Banser Nahdlatul Ulama (Densus 99 Banser NU) untuk mengabdikan diri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam mencegah aksi terorisme.
Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid menyatakan Densus 99 terdiri dari 204 personil yang memiliki kemampuan ilmu kebal dan seni bela diri mumpuni. Selain ilmu kebal, detasemen yang dikomandani Gus Nuruzzaman ini juga dibekali keahlian menjinakkan bom.  (http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/)
Kembali kepada masalah apa hubungan tarekat dengan NU dan penjajah,  disamping memadahi tarekat, masih pula NU dalam sejarahnya ada catatan tentang dukungan NU terhadap penjajah Belanda. Inilah sorotannya.
Kongres NU 1927 Menjunjung Sepuluh Jari Pemerintah Belanda
Untuk mengetahui sebagian kiprah NU terutama yang belum tentu menguntungkan Islam bahkan kadang jauh dari Islam yang benar, dapat disimak tulisan berikut ini:
…yang menyandang sikap yang kadang tidak menguntungkan Islam, sehingga sikapnya itu gampang cocok dengan musuh Islam justru dilakukan pula oleh jum’iyyah terbesar di Indonesia yakni NU.
Makanya bagi yang faham akan watak NU (Nahdlatul Ulama), tidak begitu kaget ketika kini di Indonesia sudah disiapkan kader NU warisan Gus Dur yang  diplot  untuk membangun sebuah jejaring politik dan bisnis Yahudi di Indonesia.
Memangnya kenapa tidak begitu kaget?
Ya, coba buka sejarah atau buku-buku tentang dosa-dosa NU, atau buku Bila Kyai Dipertuhankan Membedah Sikap Beragama NU karya Hartono Ahmad Jaiz. Di sana telah tertera dalam sejarah secara jelas dan gamblang watak NU. Mari kita simak kutipan ini:
Kadang-kadang NU disifatkan orang sebagai suatu partai yang secara khas biasa mendukung setiap pemerintahan yang ada. Karena kesediaannya setiap waktu  memasuki kabinet apapun, partai ini juga sering dituduh sebagai berpaham petualang. “Para pemimpin NU adalah tipe “solidarity maker”, pembangun lambang-lambang, baik lambang tradisional maupun lambang kebangsaan”. Namun warna dan suasana NU jelas tetap bersifat konservatif sewaktu ia menjadi partai politik. Partai memberi kesan dikuasai oleh para kiai dan ulama. Menurut Herbert Feith, “Tidak seorang pun terdapat dalam kalangan kepemimpinan NU ini yang memiliki kemahiran yang diperlukan dalam negara modern.”  (BJ Boland,Pergumulan Islam di Indonesia, terjemahan,  Grafiti Pers, Jakarta, cetakan pertama 1985, halaman 55, mengutip Feith, The declien, h 234).
Catatan sejarah tentang NU bisa disimak pula, untuk menjelaskan komentar tersebut di atas, sebagai berikut:
“Arsip kolonial dengan kode 261/X/28.
Isi arsip melaporkan kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yangmenjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjungsepuluh jari. Sementara itu tokoh Islam yang menantang Belanda, menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul.”  (Majalah Tempo, Jakarta, 26 Desember 1987, seperti dikutip KH Firdaus AN,Dosa-dosa Politik, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, 1999, halaman 52, lihat buku Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU).
(Hartono Ahmad Jaiz, Keserakahan Yahudi, Nasrani, dan Gengnya, WIP Solo 2011, halaman 87-88).  (lihat  http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/).
Ini bukan berarti semua orang dari kelompok-kelompok itu seperti itu gambarannya. Hanya saja catatan telah menunjukkan demikian. Dan sampai sekarang masih terasa pula aromanya, bahkan arahnya seperti tidak jauh berbeda, walau istilah colonial atau penjajah kurang tampak, karena penjajahan kini bukan lagi penjajahan fisik namun sudah lebih berbahaya lagi karena bahkan sampai penjajahan akal, budaya, ekonomi, politik, pandangan hidup, informasi dan lainnya.
Apa yang tercatat dari kasus-kasus yang lalu ini mungkin bisa dijadikan pelajaran yang berharga bagi yang memperhatikannya dan masih sayang-sayang terhadap Islamnya.
Perlu berkaca diri pula, puasanya itu untuk Allah Ta’ala dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau demi lainnya dan mengikuti ajaran lainnya?
Kalau memang untuk Allah Ta’ala dengan mengikuti Rasul-Nya, kenapa harus mendahului sampai dua hari? Kenapa pula ada puasa sampai 40 hari?
Tuntunan siapa dan untuk siapa sebenarnya amalan mereka itu?
Comments
0 Comments