| Mera Naam Joker: Revolusi Mesir Berbelok Arah?

Sabtu, 08 Desember 2012

Revolusi Mesir Berbelok Arah?



 
Revolusi Mesir menghadapi kendala rezim lama

oleh: Musthafa Luthfi

SEJAK 
hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) putaran pertama (23-24 Mei2012),  diumumkan yang memunculkan kejutan dengan tampilnya loyalis rezim lama, Jenderal Ahmed Shafiq sebagai pemenang kedua dengan perbedaan suara tipis dari pemenang pertama, Dr. Mohammed Mursi, Capres dari al-Ikhwan al-Muslimun (IM), banyak pihak di dunia Arab pada umumnya, lebih-lebih lagi kubu revolusi di negeri itu merasa bahwa revolusi Mesir akan berbelok arah.

Calon dari IM lewat Partai Kebebasan dan Keadilan, Mohammed Mursi unggul sedikit dibandingkan Ahmed Shafiq, mantan PM Mesir menjelang kejatuhan Presiden Hosni Mubarak dengan perolehan suara masing-masing 25,3% dan 24,9%. Sukses Shafiq menuju ke putaran kedua di luar dugaan alias mengejutkan banyak pihak meskipun kedua calon tersebut menunjukkan dua kekuatan (pemerintah/militer-IM) yang selalu bersaing dalam puluhan tahun terakhir.

Putaran kedua pemilihan bebas pertama Mesir itu yang dijadwalkan berlangsung pada 16 dan 17 Juni ini diperkirakan akan diwarnai persaingan sangat ketat antara dua Capres tersebut dan kemungkinan banyak pula yang memilih golput terutama dari kalangan pendukung kubu revolusi sayap liberal. Kembali kepada, hasil putaran pertama yang memunculkan Shafiq, loyalis rezim lama, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Pasalnya ada yang tidak beres di kalangan tokoh-tokoh revolusi terutama terkait persaingan bahkan perpecahan sehingga mereka gagal mengusung Capres yang dapat diterima semua pihak. Akibatnya, suara pemilih pendukung kubu revolusi terpecah-pecah, sementara kubu rezim lama yang ditengarai memiliki dana berlimpah sepakat pada satu tokoh saja yakni Shafiq dengan mengenyampingkan mantan Menlu, Amr Moussa.

Dengan terjadinya perpecahan dalam kubu revolusi yang mana setiap faksi merasa lebih berhak menjadi orang nomor wahid di negeri Piramaida itu dari yang lainnya, sudah dapat diduga sebelumnya bahwa Capres dari IM lebih berpeluang dari kubu revolusi. Sedangkan dari tokoh loyalis rezim lama disebut-sebut Amr Moussa dikarenakan mantan Sekjen Liga Arab ini, meskipun dinilai sebagai bagian dari  rezim lama, namun menunjukkan sikap mendukung terhadap revolusi pelengseran rezim Mubarak.

Lain halnya dengan Shafiq yang dinilai bersebrangan dengan revolusi sebagaimana dinyatakan Dr. Laila Bayyumi dalam artikelnya di Arabonline edisi Selasa (12/06/2012) yang menyebutnya anti revolusi dan pada masa jabatan singkatnya sebagai PM terjadi konspirasi yang dikenal dengan "pertempuran onta" di lapangan Tahrir mengakibatkan puluhan orang korban. Karenanya, kejutan yang sesungguhnya adalah terlemparnya Moussa dari bursa Capres untuk putaran kedua.

Terkait kemenangan Shafiq, tidak bisa dipungkiri juga peran minoritas Kristen Koptik (sekitar 8 % dari total penduduk Mesir), yang merupakan salah satu penentu kemenangannya. Koptik kelihatannya masih merasa terjamin hak-hak mereka bila berada dibawah naungan kekuasaan militer dibandingkan dibawah kekuasaan kelompok Islamis, meskipun kubu Islamis sejak jauh hari telah menegaskan prinsip menghormati hak-hak Koptik sebagai saudara sebangsa.

Menjelang Pilpres putaran pertama dulu, bahkan muncul pelesetan dari seorang penulis Arab yang memastikan bahwa Presiden Mesir pasca Mubarak adalah Messi  ( nama belakang pemaian bola terbaik dunia asal Argentina, yang merumput di Barcelona).
"Messi akan menjadi kunci pembuka untuk mengetahui Presiden Mesir mendatang," tulis Makmun Fandi dalam artikelnya di harian terkemuka Arab, al-Sharq al-Awsath (21/05/2012).

Kata kunci yang dimaksud pakar politik asal Mesir itu adalah dalam bahasa Arab, kata Messi bila ditambah dengan huruf “wau” setelah furuf pertama dengan bunyi (ou) maka kata Messi akan berubah menjadi Moussa dan bila ditambah dengan huruf “ra`” (r) akan berbunyi Mursi. Maksudnya, Presiden Mesir pasca Mubarak akan berkisar pada dua nama Capres yakni Amr Moussa, bekas salah satu pilar rezim lama tapi mendukung revolusi dan Mohammed Mursi Capres dari IM.

Tapi kenyataan di lapangan pada putaran pertama tersebut, kata kunci Messi akhirnya tidak terbukti setelah Shafiq secara mengejutkan mampu meraih suara terbanyak kedua dengan perbedaan tipis dari Mursi. Dengan demikian, sangat sulit diduga siapa Presiden Mesir pertama pasca lengsernya rezim lama yang oleh pengamat dan publik Arab menyebut Mesir pasca Mubarak sebagai Republik Kedua pada Pilpres putaran kedua yang berlangsung pada 16-17 Juni ini.

Sebenarnya yang lebih penting dari hasil putaran kedua tersebut adalah tujuan revolusi yakni mencari alternatif pemimpin yang mampu mengadakan perubahan lebih baik terutama di bidang politik, ekonomi dan sosial tidak melenceng. Sebab banyak pihak juga yang khawatir hasil putaran kedua tersebut terlepas siapa pun pemenangnya akan menimbulkan krisis politik baru atau dilema politis akibat proses transisi yang bernuansa polarisasi (pengutuban-pengutuban) yang sangat tajam.

Berlanjut

Kembali kepada kekhawatiran banyak pihak tentang kemungkinan revolusi negeri Lembah Nil itu bakal berbelok arah yang tidak sesuai dengan tujuan semula merujuk pada hasil Pilpres putaran pertama. Jawaban pasti dari kekhawatiran tersebut belum akan terjawab dalam waktu dekat siapa pun nantinya pemenang Pilpres tahap akhir mendatang.

Indikasi yang semakin jelas adalah masa transisi yang sedianya sudah berakahir begitu Pilpres tahap kedua selesai nampaknya akan berlanjut untuk masa empat tahun mendatang terlebih lagi bila pemenangnya adalah Shafiq. Artinya, rakyat negeri terbesar di Arab itu, harus bersabar dengan berbagai persoalan dan konspirasi yang akan terjadi dalam masa transisi sebelum revolusi itu akhirnya rampung.

Pasalnya, masa transisi empat tahun ke depan, bila pemenang Pilpres Shafiq diperkirakan akan diwarnai kerusuhan dan upaya-upaya untuk memunculkan kembali muka-muka rezim lama. Dengan kekuatan uang dan dukungan asing (baca: Barat), tokoh-tokoh lama loyalis Mubarak dipastikan akan menyusun kekuatan untuk kembali berkuasa.

``Tokoh-tokoh lama diperkirakan akan menyusun kembali kekuatan dibawah naungan Shafiq untuk menyambar revolusi dan kubu revolusi dengan dalih kemenangan yang diperoleh mereka adalah lewat Pilpres demokratis,`` papar sejumlah analis. Tokoh-tokoh itu dipastikan akan melakukan rehabilitasi (pemulihan nama baik) Mubarak dan kroni-kroninya terutama lewat kampanye media massa intensif.

Sementara para pengusaha yang dibesarkan rezim Mubarak yang diperkirakan menguasai separo kekayaan negeri itu, akan mendapatkan peluang kembali untuk melanjutkan praktik-praktik illegal tanpa khawatir terhadap tindakan hukum. Sebagaimana diketahui, prosentase rakyat negeri ini yang hidup dalam kondisi kemiskinan masih 40 % dengan pendapatan kurang dari 10 pound Mesir (sekitar 1,6 dolar) sehari.

Kemudian yang terkait kebijakan luar negeri, bila Shafiq menang, menurut sejumlah pengamat, antara lain negeri ini akan tetap memelihara kesetiaan kepada AS sehingga sulit untuk mengembalikan perannya sebagai negara besar di tingkat regional. Selain itu, sebagai konsekwensi dari ketergantungan atas peralatan militer AS, Mesir tidak mungkin untuk mengejar ketinggalan guna mencapai perimbangan strategis dengan Israel.

Dampak lainnya di tingkat dunia Arab, seperti diprediksi, Mohammed Seif Daulah, seorang analis Arab, Ahad (10/6), akan mendorong rezim-rezim Arab lainnya untuk menguburkan "musim semi Arab". "Bila yang demikian terjadi, maka akan muncul kekacauan yang mereka organisir, bukan lagi buah revolusi yang kita organisir," paparnya.

Berbagai prediksi yang dikemukakan sejumlah analis diatas terkait berbagai konsekwensi atas kemenangan Shafiq bisa saja terjadi. Namun menurut hemat penulis, rakyat Mesir hampir dapat dipastikan tidak akan menerima bila pejabat negara, siapa pun dan dengan dukungan pihak mana pun mencoba mengembalikan arah jarum jam ke belakang atau ke masa keterpurukan negerinya dibawah rezim lama.

Bila ada oknum manapun yang mencoba memutar balik arah jarum jam tersebut hampir dapat dipastikan bahwa rakyat terutama dari kaum muda tidak akan segan-segan turun ke jalan untuk melakukanmuzhaharaat milyuniyah (unjuk rasa jutaan orang) terutama di lapangan Tahrir, Kairo. Unjukrasa milyuniyahitu misalnya telah terbuktikan ketika rakyat tidak puas atas keputusan hakim mengenai sanksi hukum terhadap Mubarak dan kroni-kroninya baru-baru ini.

Adapun kekhawatiran bila Capres lain (Mohammed Mursi) yang menang intinya adalah ketakutan kalangan liberal dan sekuler atas kemungkinan Mesir menjadi negara agama seperti Iran dibawah kendali IM. Namun kekhawatiran tersebut sebenarnya terlalu mengada-ada, sebab IM sendiri menolak sistem pemerintahan ala Iran tersebut dan kemungkinan besar justeru pemerintahan ala Turki pimpinan partai Islamis, Partai Keadilan dan Pembangunan yang menjadi rujukan.

Intinya, konsekwensi-konsekwensi yang akan dihadapi rakyat Mesir untuk merampungkan revolusi 25 Januari itu kemungkinan lebih berat bila pemenangnya adalah loyalis rezim lama. Adapun kekhawatiran IM akan menguasai semua lembaga negara bila Mursi yang menang setidaknya dapat dikomunikasi dengan kubu revolusi, apalagi Capres Mursi telah menegaskan agar pemerintahannya mendatang bila ia terpilih, akan berasal dari semua unsur dan tidak akan menjadikan tokoh-tokoh partainya sebagai mayoritas anggota kabinet.

Adapun penilaian bahwa revolusi di negeri Lembah Nil itu telah berbelok arah merupakan penilaian yang terlalu dini sebab rakyat negeri Arab terbesar ini tidak akan sudi dibawa kembali ke masa lalu yang kelam. Minimal rakyat akan tetap bersabar hingga rampungnya revolusi tersebut selama empat tahun ke depan bila Capres yang terpilih nanti, ternyata tokoh yang bukan pendukung revolusi mereka.*/Sana`a, 24 Rajab 1433 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman
Comments
0 Comments