Dalam tulisan sederhana ini, kita akan coba jelaskan asal-usul agama Syiah Imamiyah (Rafidhah). Meskipun penjelasan seputar tema ini sudah banyak, tidak ada salahnya terus kita jelaskan. Dalam riwayat, Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam menasehatkan, “Ceritakan tentang Bani Israil sebanyak-banyaknya.” Karena di antara sekte-sekte yang lahir dalam sejarah Islam, yang paling dekat tabiatnya dengan Yahudi, adalah Syiah Imamiyah; maka tidak ada salahnya kita banyak-banyak bicara tentang agama paganisme ini.
Mari kita mulai mengkaji masalah ini, semoga Allah memberikan ilmu, hidayah, dan taufik untuk menetapi yang diridhai-Nya, amin ya Rahiim.
[1]. Kajian ini dimulai dari sebuah ayat berikut: “Qul athi’ullaha war rasula, fa in tawal-lau fainnallaha laa yuhibbul kafirin” (Katakanlah -wahai Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam-: Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika kalian berpaling (dari ketaatan itu), maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir). /Surat Ali Imran: 32. Ayat ini menjadi sebuah pedoman; bahwa sikap taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dasar keimanan. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, akan memiliki iman; sementara siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, akan perlahan-lahan terseret ke domain kekafiran.
[2]. Awal munculnya Syiah adalah kebencian kepada Syariat Islam itu sendiri. Pendiri sekte ini sejak awal memang kafir dan ingin menodai Islam dengan ajaran sesat yang dia rintis. Prinsip yang dia pegang ialah seperti analogi “bola salju”. Bola salju kalau dilemparkan dari atas dalam ukuran kecil, nanti sampai di bawah akan menjadi besar. Si perintis sekte ini sudah tahu bahwa Islam akan eksis sampai akhir zaman. Maka sejak zaman Salaf (permulaan Islam, pasca wafatnya Nabi), dia telah merintis aliran sesat yang mendompleng nama Islam. Logikanya, “Kalau sekte ini dibentuk pada hari ini (zaman Salaf), maka di akhir zaman ia akan menjadi sekte besar.” Terbukti perkiraan dia benar.
[3]. Kalau sebuah sekte dibentuk di atas simbol-simbol kejahatan, kekejian, serta amoralitas; dapat dipastikan sekte itu tak akan bertahan lama. Maka sekte itu, kalau ingin eksis yang lama, ia harus dikaitkan dengan simbol-simbol yang luhur, mulia, teladan, kharismatik, serta berwibawa. Itu simbolnya saja; sedangkan soal substansi bobrok, itu masalah lain. Pendiri sekte Syiah menjadikan Ahlul Bait Nabi sebagai simbol. Kalau mereka menjadikan dajjal, Abu Jahal, Fir’aun, atau iblis sebagai simbol; sesuai fitrah manusia, hal-hal seperti itu akan ditolak.
Dalam Surat Thaaha ayat 96, Samiri berkata kepada Musa As tentang perbuatannya, membuat patung sapi betina. “Qaala, bashartu bi maa lam yabshuru bihi, fa qabadh-tu qab-dhatan min atsarir rasul, fanabadz-tuha; wa kadzalika sawwalat li nafsi” (Samiri berkata: aku melihat apa yang tidak mereka lihat, lalu aku segenggam jejak Rasul, lalu aku lemparkan ia; demikianlah, hawa nafsuku membujukku). Perkataan Samiri ini menjadi landasan berbagai kelompok sesat. Mereka selalu bertumpu di atas simbol-simbol yang baik, untuk mempengaruhi, merayu, membujuk, serta mengendalikan orang-orang awam (lugu); lalu di atas simbol-simbol itu mereka membuat tipu-daya kesesatan.
[4]. Entah mengapa, perintis agama Syiah ini memilih Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai simbol. Padahal tokoh-tokoh lain yang luhur dan melegenda juga tidak sedikit. Tetapi intinya, si perintis itu (para ulama sering menyebutnya sebagai Abdullah bin Saba’) mulai memuja-muja Ali; dan menjadikan dirinya sebagai mata air sebuah sekte sesat. Secara politik, Khalifah Ali memang punya pendukung; tetapi hal ini dalam lingkup politik, tidak sampai masuk wilayah akidah. Pendukung Khalifah Ali sering disebut “Syi’atu ‘Ali” (pendukung Ali). Tetapi nuansa politik pada golongan itu seiring perubahan zaman, terus bergeser menjadi nuansa ideologi, dengan lahirnya kelompokkultus individu terhadap sosok Ali dan keluarganya. Hal itu semakin parah dengan terjadinya Tragedi Karbala, ketika Husein dan keluarganya Radhiyallahu ‘Anhum terbunuh di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa Karbala menjadi amunisi besar yang semakin mengokohkan dominasi kelompok kultus Ali itu.
[5]. Mayoritas akidah Syiah berdiri di atas kultus individu terhadap sosok Ali (dan keluarganya); maka Syiah tak ubahnya seperti agama Nasrani yang memuja dan menyembah Yesus; bahkan lebih parah, karena yang disembah Syiah lebih banyak. Semua cabang-cabang akidah Syiah bermula dari pemujaan terhadap sosok Ali. Bagi kaum Syiah, bicara soal hak Kekhalifahan Ali, merupakan akidah tertinggi, melebihi Tauhid kepada Allah. Orang Syiah tidak peduli dengan Tauhid; tetapi dalam soal pemujaan terhadap Ali, mereka nomer satu. Istilah khas yang mereka kerap katakan, hak wilayah Ali atau imamiyah Ali.
[6]. Demi membela hak wilayah (kepempinan) Ali, segala pranata Syariat Islam dilabrak oleh kaum Syiah. Mereka menuduh Jibril As salah memberikan Wahyu; mereka menuduh Al Qur’an kaum Muslimin sudah diubah-ubah para Shahabat; mereka meyakini bahwa Ali, Hasan, Husein, Fathimah, dan anak keturunan mereka punya sifat-sifat Rubbubiyyah; mereka membatalkan Syariat, membatalkan Sunnah, membatalkan ilmu; mereka melecehkan para isteri Nabi dan para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; mereka halalkan yang haram-haram; mereka kafirkan kaum Muslimin; dan seterusnya. Semua itu dimunculkan demi memuaskan dahaga kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib. Di titik ini, agama Syiah serupa dengan agama NAZI yang memuja Hitler (sosok manusia), atau agama Ahmadiyah yang memuja Mirza Ghulam, atau agama-agama lain yang memuja manusia.
[7]. Adalah sulit bagi Syiah Imamiyah untuk memaafkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, dan para Shahabat yang lain Radhiyallahu ‘Anhum. Sulit dan sulit sekali; atau hampir mustahil. Mengapa demikian? Sebab konsekuensi dari memuja dan menyembah Ali, mengharuskan untuk mencaci-maki, merendahkan, menghina, dan melaknati para Shahabat Nabi yang mulia itu. Kok bisa begitu? Sebab dalam hidupnya, para Shahabat Nabi Saw bersikap proporsional dan obyektif terhadap Ali dan keluarganya. Mereka menghargai, mencintai, membela, mendukung; tetapi tidak sampai memuja dan mengkultuskan. Nah, sikap para Sahabat ini dianggap perintang terberat bagi sekte kultus Ali tersebut. Akhirnya, mereka jadikan para Sahabat Nabi sebagai sasaran hujatan, permusuhan, kebencian, bahkan laknatan. Meskipun, semua bentuk kejahatan mereka itu, mau tidak mau, akan mengenai diri mereka sendiri. Tidaklah mereka menghujat hamba-hamba yang diridhai Allah, melainkan mereka akan balas dimurkai oleh Allah Ta’ala. Demikianlah adanya.
[8]. Begitulah akhirnya Syiah menjadi agama tersendiri yang didalamnya bercampur-baur antara: Syiar tauhid dan kemusyrikan, keimanan dan kekufuran, amal shalih dan kejahatan, simbol kemuliaan dan kehinaan, syiar persatuan sekaligus persengketaan, kejujuran dan kebohongan, ilmu agama dan penindasan. Sepanjang masa Syiah terus mengganggu Ahlus Sunnah; karena agama mereka tidak akan tegak, tanpa inspirasi dari Syariat Islam; di sisi lain, amal shalih yang bisa Syiah lakukan ialah membenci, memusuhi, melecehkan, menipu, dan menikam Ahlus Sunnah. Mengapa demikian? Kaum Syiah seperti manusia yang sudah kecanduan narkoba. Mereka setiap hari mencaci-maki para Shahabat Nabi yang mulia; lalu Allah Al Aziz tenggelamkan hidup dan jiwa mereka ke dalam permusuhan, permusuhan, dan permusuhan, tanpa akhir. Dalam jiwa seorang Rafidhah, dia tidak bisa tenang, jika sehari saja lupa dari membenci kaum Ahlus Sunnah. Mata air eksistensi hidup mereka ada dalam kebencian itu.
Ada penuturan ayat Al Qur’an yang sangat menarik….
“Tidakkah kamu mengetahui, orang-orang yang diberikan sebagian Al Kitab, mereka beriman kepada Jibti dan Thaghut, dan mereka berkata kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), ‘Semua ini lebih memberi petunjuk daripada jalannya orang-orang beriman (Muslim). Itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah dan siapa yang dilaknati Allah, engkau selamanya tidak akan menjumpai penolong baginya.” [An Nisaa': 51-52].
Ayat ini berkaitan dengan Ahli Kitab yang memuji dan terpengaruh oleh ajaran-ajaran paganisme. Namun ayat ini memiliki kesamaan dengan perilaku orang-orang Syiah Rafidhah. Kesamaannya pada 3 sisi: (1). Syiah Rafidhah itu semula adalah orang-orang yang membaca Al Qur’an, atau menerima tuntunan Wahyu; (2). Syiah Rafidhah lama-lama menukar ajaran Tauhid menjadi kemusyrikan (paganisme), dengan menyembah Ali, Hasan, Husein, Fathimah, dan imam-imam Syiah. Dari risalah Tauhid berubah menjadi kemusyrikan; (3). Syiah Rafidhah menyenangi jalan paganisme itu, dan berbalik mencela jalan suci orang-orang beriman.
Dengan sikap seperti itu, maka Syiah pun menerima seperti yang diterima oleh kalangan Ahlul Kitab, yaitu: murka dan laknat Allah atas diri mereka. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.
[9]. Tetapi, ini kuncinya, bahwa kaum Syiah juga terkenal sangat pengecut. Dalam segala dendam, kebencian, dan permusuhan abadinya kepada Ahlus Sunnah (dan para Shahabat Nabi itu); tanpa kita sadari, mereka berlaku seperti orang-orang Bani Israil, yaitu sangat takut mati. Disebutkan dalam Surat Al Baqarah 96, bahwa: “Yawaddu ahaduhum lau yu’ammaru alfa sanatin, wa maa huwa bi muzahzihihi minal adzabi an yu’ammar, wallahu bashirun bi maa ya’maluun” (masing-masing mereka sangat senang andaikan bisa berumur 1000 tahun, dan tidaklah dia akan lepas dari adzab andaikan berumur panjang, dan Allah itu Maha Melihat apa yang mereka kerjakan). Kalau membaca sejarah, nyaris tidak ada satu pun tokoh pahlawan dari Syiah, sejak dulu sampai hari ini. Kalau pun mereka bisa berbuat aniaya, rata-rata karena di-back up oleh negara-negara Nasrani (dan Yahudi).
[10]. Bani Israil telah menyembah sapi betina, lalu Allah meresapkan sifat paganis itu ke dalam hati mereka. Kaum Syiah Rafidhah telah mencaci-maki para Shahabat Nabi Radhiyallahu ‘Anhum; lalu Allah resapkan ke dalam hati mereka rasa takut, rasa cemas, emosi, kedengkian, permusuhan, serta kegelisahan yang akut. Sungguh, orang-orang Syiah itu sudah sadar dan mengerti, bahwa mereka sedang berjalan menuju gerbang-gerbang kebinasaan; lalu mereka mencari teman, untuk menghibur diri menghadapi laknat, murka, dan siksa (jasmani-ruhani) dari Allah Ta’ala. Di balik statement-statement provokatif tokoh Syiah Bandung, Jalmat, sebenarnya tersembunyi ketakutan sangat hebat. Bukan kepada kita (manusia), tetapi kepada Allah yang selalu dia lecehkan agama dan Syariat-Nya.
Demikianlah sekilas tentang fondasi agama Syiah Rafidhah. Agama ini sangat complicated; segala bentuk sesat, durhaka, dan menyimpang, ada disini. Makanya kalau ada elit-elit di Indonesia yang tidak sadar akan kesesatan Syiah; bisa jadi, mereka adalah anggota Syiah; atau mereka mencari keuntungan politik dari pendukung Syiah; atau mereka mencari finansial dengan ide membela Syiah; atau memang mereka orang bodoh yang tidak tahu arah jalan.
Satu hal yang pasti: kaum Syiah menjadikan dendam dan permusuhan sebagai pokok agamanya, melebihi Tauhidullah; mereka mempertuhankan Ali, Hasan, Husein, Fathimah; mereka isi hidupnya dengan hanya dengki, dendam, permusuhan, dan kebencian; tetapi pada hakikatnya, mereka paling takut kematian; sebab dengan mati, mereka akan segera bisa mengetahui betapa beratnya murka Allah setelah kematian; karena murka yang sudah mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari pun sudah terlalu berat.
Semoga yang sederhana ini bermanfaat ya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Abah Syakir).