Di usia senjanya, Tengku Nasaruddin Said Efendy atau Tenas Effendy telah menerbitkan 112 buku dengan topik budaya Melayu. Bukunya, ”Bujang Tan Domang”, berupa penelitian sastra lisan orang Petalangan, banyak dikupas mahasiswa, sastrawan, budayawan, peneliti di dalam dan luar negeri.
Pria kelahiran Kuala Panduk, Pelalawan, 9 November 1936 ini juga membuat 400-500 makalah untuk simposium, lokakarya, diskusi dan seminar di negeri yang berkaitan dengan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand selatan, Filipina selatan, sampai Madagaskar.
Di mata Eddy Ahmad RM, Ketua Dewan Kesenian Riau, Tenas itu sosok paling pas menggambarkan Melayu. Bahkan, tak ada tokoh lain yang berpengetahuan Melayu melebihi dia.
Budayawan Riau, Al Azhar, mengungkapkan, Tenas layaknya pembawa pesan bagi peradaban yang mengembara melintasi ruang dan waktu dalam belantara kata-kata. Ia seperti tukang cerita yang berfungsi sosial sebagai penyampai sekaligus penjaga kelestarian kebudayaan dan masyarakatnya dalam budaya tulis.
Sepintas, Tenas seperti sosok pendiam. Tetapi, ketika berbicara tentang Melayu, petatah-petitih, pantun, syair yang bernilai tinggi langsung meluncur deras dari mulutnya.
Menurut ”Bapak Budaya Melayu” ini, era reformasi justru membuat budaya Melayu mundur. Salah satu penyebabnya istilah ”putra daerah” yang dikumandangkan politisi lokal. Istilah itu melenceng jauh dari ajaran Melayu yang menjunjung tinggi profesionalisme ketimbang figur tak bermutu.
Sampai era 1990-an, di Riau nyaris tak ada gejolak antarpuak. Melayu tak membedakan pendatang dan anak asli. Paguyuban di Riau saat itu dapat dihitung dengan jari, semisal Paguyuban Masyarakat Sumatera Utara atau Ikatan Keluarga Minang Riau.
Tenas sendiri aktif berorganisasi, antara lain sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (2000-2005), Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan (2000-kini), Pembina Lembaga Adat Petalangan (1982–kini), dan Penasihat Paguyuban Masyarakat Riau (2001-kini).
Istilah putra daerah memorakporandakan Melayu. Masyarakat pendatang, mereka yang sudah ratusan tahun bermukim, beranak pinak di Riau, tak lagi dipandang bagian dari Melayu. Maka, muncul paguyuban-paguyuban kecil. Setidaknya ada 33 paguyuban suku di Riau.
”Kelompok yang dulu merasa Melayu tak lagi merasa punya ikatan. Hilang kebersamaan bersama munculnya paguyuban suku kecil-kecil. Orang Jawa, Batak, Sunda, Bugis, China merasa sebagai pendatang, tak lagi merasa bertanggung jawab atas perkembangan Melayu.”
”Padahal falsafah Melayu mengatakan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana air disauk di situ ranting dipatah. Artinya, di mana pun dia berada, harus menjunjung tinggi adat istiadat setempat dan di mana dia berusaha di tanah itu pula dia ikut membangun,” tuturnya.
Berdasarkan sejarah, setelah perang saudara, pusat Kerajaan Siak pindah ke Pekanbaru. Sultan Alamuddin Shah, Raja Siak, mengawinkan anaknya dengan bangsawan Arab. Tahun 1723-1724 Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah mengangkat bangsawan Bugis menjadi Dipertuan Muda di Riau. Pada saat penahbisan itu, ada ikatan sumpah Melayu dan Bugis menyatu ibarat mata hitam dan putih.
Ketika Melaka diserang Portugis tahun 1916, Adipati Demak membantu Sultan Siak dengan membawa pasukan dari Jawa. Ketika Sultan Mahmud Shah dipukul mundur Portugis, armada Jawa tertinggal di Semenanjung Malaysia.
Masyarakat Riau begitu majemuk, melahirkan kebudayaan majemuk. Melayu menjadi budaya terbuka, mengadopsi budaya luar dengan falsafah ”diayak dan ditapis” (yang kasar dibuang yang halus diambil).
”Dari akulturasi budaya itu menghasilkan falsafah Melayu yang mengajarkan hidup serumah beramah tamah, hidup sedusun tuntun-menuntun, hidup sekampung tolong-menolong, hidup sebangsa bertimbang rasa, hidup senegeri beri memberi,” ungkapnya.
Dulu, adat Melayu dipengaruhi oleh paham lama. Setelah masuknya Islam, budaya Melayu dikembangkan hingga muncul falsafah Melayu, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Falsafah itu dikenal di Indonesia, Malaysia, sampai Madagaskar.
Nilai-nilai Melayu makin berkembang secara universal, seperti persamaan derajat, kegotongroyongan, keadilan, kebersamaan, tenggang rasa, dan etos kerja. Nilai-nilai yang masih relevan dalam kehidupan modern.
Tenas percaya nilai-nilai universal tunjuk ajar Melayu relevan sepanjang masa. Lihat saja untaian ungkapan, syair, dan pantun Melayu tentang sifat mandiri dan percaya diri: Apa tanda orang yang bijak, di kaki sendiri ianya tegak. Apa tanda Melayu bertuah, pantang baginya menyerah kalah. Apa tanda Melayu terpandang, tegaknya tidak menyusahkan orang.
Tentang kepemimpinan: Adat hidup dalam keluarga, yang dituakan sama dibela, adat hidup berkaum bangsa, kepada pemimpin bertenggang rasa, sakit dan senang sama dirasa, silang selisih sama diperiksa, adat hidup bermasyarakat, kepada pemimpin hormat dan taat.
Tenas pernah mengecap pendidikan di Sekolah Agama Hasyimiah 6 tahun, (tamat 1950), Sekolah Rakyat 6 tahun di Pelalawan (1950), Sekolah Guru B3 di Bengkalis (1953), dan Sekolah Guru A3 di Padang (1957).
Buku-buku Tenas menjadi rujukan nilai-nilai Melayu, diterbitkan sebagai bahan ajaran di beberapa sekolah di Riau. Namun empat tahun belakangan ini, dia lebih sering berada di Malaysia. Orang menduga, dia kecewa di negeri sendiri.
”Bukan karena saya kecewa. Malaysia memberi ruang lebih luas buat berkiprah. Banyak buku saya yang terbit di Riau, penyebarannya terbatas. Di Malaysia, banyak pula buku saya terbit dan disebarluaskan di seluruh negeri. Malaysia punya interaksi lebih luas dengan berbagai negeri Melayu di dunia, sementara di Riau terbatas,” ujarnya.
Selain mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, Tenas kerap bepergian ke seluruh wilayah Malaysia untuk seminar, diskusi, atau kegiatan lain terkait Melayu. Universitas Kebangsaan Malaysia memberi dia gelar doktor (HC). Tutur bahasa yang lembut dan teratur membuat Tenas mudah berteman.
”Ayah saya menekankan, modal hidup ini ada dua, pertama nilai agama dan kedua perbanyak sahabat. Insya Allah dengan banyak sahabat, saya tak pernah kesulitan,” katanya.
Pemahamannya tentang keragaman dan asal-usul penduduk Malaysia membuat dia tak terusik dengan berita Malaysia mematenkan wayang, reog, atau rendang. Menurut Tenas, setidaknya ada 40 persen warga Indonesia dari berbagai suku yang beratus tahun tinggal di sana. Meski menjadi Melayu, adat istiadat nenek moyang tak dilupakan.
”Mereka memberi penghormatan kepada budaya nenek moyangnya, mengapa kita harus marah?” katanya.
Tenas berharap Pemerintah Provinsi Riau mau mengembangkan muatan lokal Melayu untuk diajarkan di sekolah. Tenaga, ilmu, dan pikirannya siap disumbangkan. ”Hanya dengan pendidikan, budaya Melayu akan mendapat tempat,” tandasnya.
Budaya Melayu tak akan berkembang hanya dengan kegiatan seremonial, festival, atau kewajiban berbaju Melayu. Nenek moyang Melayu telah bersabda: Tuah sakti hamba negeri. Esa hilang dua terbilang. Patah tumbuh hilang berganti… Takkan Melayu hilang di bumi.
Sumber: Kompas