| Mera Naam Joker: Choeung Ek Killing Fields: Ladang Pembantaian Manusia Terbesar di Cambodia

Rabu, 24 November 2010

Choeung Ek Killing Fields: Ladang Pembantaian Manusia Terbesar di Cambodia



Selain Tuol Sleng Genocidal Museum, ada satu tempat lagi yang ingin saya kunjungi mumpung berada di Kamboja. Tempat itu bernama Cheoung Ek Genocidal Center. Sama hal nya dengan Tuol Sleng Genocidal Museum, Cheoung Ek Genocidal Center juga terkenal dengan rekaman dan bukti nyata dari tragedi kemanusiaan terkejam di benua Asia selama rejim Khmer Merah berkuasa di Kamboja. Dari cerita yang saya dengar, ada keterkaitan antara Penjara Rahasia S-21 Tuol Sleng dengan keberadaan tempat ini. Dan ditempat inilah ditemukan begitu banyak kuburan massal dari ribuan orang yang dibunuh, sehingga tempat ini lebih dikenal dengan sebutan “Killing Fields” alias ladang pembantaian.
Cheoung Ek Genocidal Center terletak di Desa Cheoung Ek, sekitar 15 kilometer dari Kota Phnom Penh. Untuk menjangkau tempat ini, supaya lebih praktis dan santai, kita bisa menyewa becak motor (tuk tuk) pergi pulang dari Kota Phnom Penh. Para supir tuk tuk disana sudah mengerti, artinya mereka akan menunggu kita di pelataran parkir depan areal tempat ini. Namun ada baiknya kita tetap meminta sang supir untuk menunggu, karena sepanjang penglihatan dan pengamatan saya untuk mencari kendaraan balik ke Kota Phnom Penh cukup sulit, jika tidak menggunakan tuk tuk yang sama. Saya sendiri tidak mendapatkan gambaran pasti berapa ongkos sewa yang harus kita keluarkan, karena kebetulan saya ke sana diantar rekan kerja dengan mengendarai sepeda motor. Perkiraannya sekitar 10 – 15 dolar.
Bagi yang naik kendaraan umum, tuk tuk, apalagi motor (seperti saya) bersiap-siaplah bermandi keringat dan menghadapi terik matahari yang menyengat. Ditambah lagi kondisi udara di sebagian besar Phnom Penh bercampur debu halus. Di sepanjang jalan kita juga akan menemui suasana yang gersang dan kering. Saya tidak tahu apakah itu terjadi sepanjang musim, atau karena kebetulan saja pas saya kesana cuaca di seputar Phnom Penh sangat panas dan kering.
Namun saya berusaha menikmati perjalanan tersebut. Saya bahkan menerawang jauh ke tanah kelahiran saya di sumatera, kondisi di sepanjang jalan tersebut saya rasakan hampir sama dengan kondisi daerah yang dilewati menuju tempat kelahiran saya. Sesekali kami beriringan dengan tuk tuk yang membawa sekelompok turis asing. Sambil mengumbar senyum atau just say hello saya yakin bahwa tujuan kami sama, yaitu Cheoung Ek Killing Field.
Setelah lebih kurang 30 menit perjalanan, kami pun tiba di pelataran parkir depan lokasi Cheoung Ek Genocidal Center. Kami parkir motor, mendapatkan karcis tanda parkir dan menuju pintu gerbang utama. Untuk memasuki areal ini kita harus membeli karcis masuk seharga 2 dolar. Namun entah kenapa, kami tidak ditagih, artinya dari pintu gerbang utama (yang juga tempat penjualan karcis tanda masuk) kami bisa melenggang kangkung masuk tanpa ditegor. Saya jadi ingat ketika berkunjung ke Tuol Sleng Genocidal Museum, kami juga mengalami hal yang sama. Menyadari hal itu, saya dan rekan sama-sama tertawa, yaa… mungkin karena wajah kami yang teridentifikasi seperti wajah orang Kamboja, karena penduduk lokal yang berkunjung ke tempat itu dibebaskan dari biaya masuk, hehe.
Choeung Ek Genocidal Center mulanya adalah merupakan areal pekuburan China. Tempat ini memiliki luas sekitar 2,5 heaktar. Oleh rejim Khmer Merah, selama mereka berkuasa yaitu dari 1976 hingga sekitar awal tahun 1979, tempat ini dijadikan tempat membunuh dan kuburan bagi ribuan korban. Sebagian besar para korban tersebut berasal dari tahanan yang diangkut dari Penjara Rahasia S-21 Tuol Sleng. Sesampainya di tempat ini, para tahanan kemudian dibunuh dan dikuburkan dalam kuburan massal.
Begitu memasuki lokasi tempat ini, kita akan menyaksikan sebuah bangunan monumen yang dikenal dengan sebutan “Memorial Stupa”. Dalam ajaran Buddha, stupa adalah merupakan tempat suci untuk menempatkan sisa-sisa jasad manusia yang harus dihormati. Pembangunan stupa ini juga dimaksudkan sebagai pengingat bagi mereka yang mati dibunuh di tempat ini. Begitu disucikannya tempat ini, untuk masuk dan melongok ke bagian dalam bangunan kita diharuskan melepas alas kaki dan tidak boleh berisik.
Saya dan beberapa turis asing mengikuti instruksi yang tertulis tersebut dan menuju ke bagian dalam bangunan stupa. Di sini saya tertegun dan mencoba mengerti apa yang sedang saya lihat. Begitu banyak tumpukan tengkorak dan tulang belulang serta pakaian kusam yang teronggok di sana. Saya terdiam dan memanjatkan doa bagi para pemilik tengkorak, tulang belulang dan pakaian kusam tersebut, berharap arwah mereka diterima dan pesakitan mereka dibalas dengan balasan setimpal.
Bangunan Memorial Stupa ini memiliki tinggi 65 meter dan terdiri dari 17 tingkat. Setiap tingkat menyimpan jenis tulang yang berbeda. Pakaian para korban yang ditemukan dari kuburan massal ditempatkan pada tingkat pertama. Pakaian berbagai ukuran dan warna, untuk pria, wanita, anak-anak dan bahkan untuk bayi terkumpul di tingkat satu ini. Pada tingkat kedua sampai dengan ke sembilan ditempatkan tengkorak para korban. Sementara pada tingkat ke sepuluh sampai dengan ke tujuh belas ditempatkan berbagai jenis tulang seperti tulang selangkangan, humerus, tulang rusuk, tulang pinggul, tailbones, thighbones, shinbones, tulang punggung, dan tulang rahang.
Pendirian monumen ini sekali lagi tidak terlepas dari sejarah kelam sebelumnya.  Kamboja terbebas dari pemerintahan rejim Khmer Merah pada 7 Januari 1979. Tidak beberapa lama setelah itu, ladang pembantaian “killing field” di Cheoung Ek ditemukan. Tidak kurang 129 kuburan massal ditemukan dan 86 kuburan massal digali. Dari penggalian tersebut sekitar 8.985 mayat tanpa diketahui lagi identitasnya berhasil diangkat.
Sebagai orang yang menganut ajaran Buddha, penduduk Kamboja percaya bahwa untuk menunjukkan rasa hormat maka sisa jasad orang yang mati harus disimpan di tempat yang baik. Kemudian, sebuah tugu (stupa) dari kayu dibangun untuk menempatkan tulang belulang dan tengkorak yang ditemukan tersebut. Dalam beberapa tahun kemudian, pemerintah memerintahkan menteri dan pejabat kota untuk membangun sebuah stupa peringatan di Cheoung Ek lokasi pembantaian tersebut yang berskala nasional untuk peringatan dan pembelajaran bagi umat manusia dan menunjukkan rasa hormat terhadap para korban. Pada awal tahun 1988, pembangunan stupa dari beton dimulai. Kemudian, pada tahun 1989, tulang belulang dan tengkorak tersebut direlokasi ke stupa peringatan baru. Supaya bisa disaksikan dan terjaga maka dibagian depan diberi kaca pembatas.
Berada di ruangan Memorial Stupa ini setiap pengunjung akan menampilkan keterikatan emosional berbeda. Beberapa cabikan kertas berisikan tulisan atau doa para pengunjung sebelumnya dari beberapa negara terselip di sela-sela kaca. Seperti terhiptosis, kami pun yang berada di ruangan tersebut seolah sepakat untuk tidak bersuara atau membahas apa yang tersaji dihadapan kami. Kami hanya melakukan aktivitas pengambilan foto dan kembali terdiam memandangi bukti nyata hasil dari tragedi pembunuhan yang sangat kejam.
Dari bangunan Memorial Stupa kami beranjak ke bagian belakang. Sepintas bagian belakang ini terlihat sebagai areal kebun yang tidak ada apa-apa nya, hanya di kelilingi pepohonan besar. Namun di lokasi ini lah ternyata tengkorak dan tulang belulang tadi ditemukan. Kami menelusuri setiap bagian dan mulai menemukan rekaman nyata dari kondisi yang terjadi beberapa puluh tahun silam. Di areal ini masih jelas terlihat bekas galian-galian besar yang merupakan lokasi kuburan-kuburan massal. Untuk menjaga keasliannya, pengunjung dilarang berjalan atau melintas di dalam bekas galian tersebut.
Pada satu lokasi saya mendapati sebuah akuarium kaca yang didalamnya terdapat serpihan kecil tulang belulang dan gigi manusia. Di lokasi lain saya juga mendapati akuarium kaca yang berisikan pakaian para korban. Disana terdapat keterangan bahwa setelah penggalian kuburan massal dilakukan (sekitar tahun 1980), maka beberapa baju korban terus ditemukan setelah hujan. Baju-baju tersebut kemudian dikumpulkan dan dibuatkan tempat khusus, supaya jika ditemukan lagi baju yang lain langsung bisa dimasukkan di akuarium tersebut.
Pada bagian lain saya mendapati sebuah pohon besar yang di bawahnya tertulis keterangan “Killing Tree Against Which Executioners Beat Children”. Pada bagian lain dekat tulisan tersebut teronggok tulang belulang serta gigi-gigi manusia yang dibiarkan begitu saja. Lalu tepat di bawah pohon itu sendiri terdapat bekas galian yang ditutupi kanopi kayu. Galian tersebut adalah bekas kuburan massal dari bayi yang dibunuh.
Saya tertarik dengan pohon tersebut karena seperti menjawab rasa penasaran saya pada satu lukisan yang terpajang di museum genosida Tuol Sleng. Pada lukisan tersebut digambarkan bahwa para bayi dibunuh dengan cara di lempar ke udara dan disambut dengan moncong bayonet. Ada juga yang dibenturkan kepalanya ke sebuah batang pohon, sementara disisi lainnya terlukis mayat-mayat bayi yang berserakan dan berlumuran darah. Dan ternyata…. inilah pohon yang terdapat dalam lukisan tersebut.
Adalah Duch, mantan kepala Penjara Rahasia S-21, mengakui bahwa dia telah memerintahkan bawahannya untuk membunuh anak-anak dan bayi. Cara membunuh bayi tersebut sebagaimana dilukiskan di atas, para pembunuh mengangkat kaki  mereka lalu membenturkan kepala mereka ke batang pohon hingga hancur. Wuih, bulu roma saya sempat merinding membayangkan apa yang saya lihat dalam lukisan di museum genosida Tuol Sleng dengan posisi saya sekarang yang persis berada di bawah pohon dalam lukisan tersebut.
Dari lokasi pohon ini kami beranjak ke sebuah rawa lebar yang masih berisikan air. Disini tidak ada keterangan apa pun, namun dari auranya kami meyakini bahwa di lokasi ini pun ditemukan mayat-mayat korban pembunuhan. Cerita dari rekan, akan sangat berbeda jika kita berkunjung ke sini setelah hujan. Nuansa lembab dan bau tanah yang tercium dari bekas galian kuburan massal akan membuat suasana lain. Apakah benar begitu, saya sendiri tidak bisa mengatakan seratus persen benar, karena saya tidak datang dalam suasana seperti itu.
Dari lokasi rawa tersebut, kami beranjak menuju bangunan di bagian kanan depan. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian ruangan. Pada bagian depan dipajang beberapa tulisan atau keterangan mengenai sistem penjara dan ladang pembantaian yang diterapkan oleh Khmer Merah dan juga sejarah pembangunan memorial stupa. Bagian kedua (bagian tengah) merupakan ruangan yang disulap sebagai bisokop mini tempat pemutaran video cuplikan tragedi yang terjadi di Cheoung Ek dan beberapa keterangan saksi yang melihat atau mendengarkan apa yang terjadi disini. Sementara di bagian terakhir (ruangan belakang), kita bisa menyaksikan keterangan mengenai silsilah organisasi Khmer Merah, paparan pengakuan dari Duch, mantan kepala Penjara Rahasia S-21 tentang cara pembunuhan bayi dan anak-anak yang diperintahkan pada bawahannya, dan beberapa benda yang ditemukan dalam kuburan massal serta benda atau alat yang dijadikan sarana untuk membunuh para korban. Beberapa benda dan alat yang ditemukan tersebut diantaranya adalah:

1. Kain (Pakaian) bayi, benda ini ditemukan dalam kuburan massal di mana lebih dari 100 anak-anak dan perempuan dikuburkan.
2. Anting-anting anak-anak terbuat dari emas, benda ini juga ditemukan dalam kuburan massal di mana lebih dari 100 anak-anak dan perempuan dikuburkan.
3. Tali, para petani di Kamboja biasanya menggunakan tali ini untuk menggeret leher sapi. Oleh tentara Khmer Merah tali ini digunakan sebagai alat untuk mengikat tangan para tahanan. Tali ini juga ditemukan di dalam kuburan massal.
4. Tali ayunan (hammock string), Selama Pemerintahan Demokratik Kampuchea, ayunan banyak digunakan sebagai tempat tidur di lapangan. Oleh tentara Khmer Merah, benda ini digunakan sebagai alat untuk mengikat tangan korban. Ini juga ditemukan di dalam kuburan massal.
5. Syal penutup mata, syal tradisional yang lebih dikenal dengan sebutan “Krama”. Biasanya, orang-orang Kamboja khususnya petani dan buruh, menggunakan syal ini untuk bermacam fungsi seperti untuk topi, ikat pinggang, tempat tidur gantung, kain renang, dll. Oleh tentara Khmer Merah syal atau krama ini  digunakan sebagai alat untuk mengikat tangan korban (di belakang). Ini juga ditemukan di dalam kuburan massal.
6. Sandal, Khmer Merah membuat sandal dari ban bekas, Dalam keseharian, sandal ban bekas ini digunakan oleh pasukan Khmer Merah termasuk para pemimpin Demokratik Kampuchea dan kemudian diadaptasi oleh penduduk di seluruh negeri. Mereka harus memakai sandal ini sebagai pakaian tradisional revolusioner.
7. Batang bambu, oleh petani Kamboja batang bambu biasanya digunakan untuk konstruksi rumah atau dijadikan furniture. Namun oleh tentara Khmer Merah batang bambu ini digunakan sebagai senjata untuk membunuh para korban.
8. Pisau, oleh tentara Khmer Merah benda ini juga dijadikan salah satu senjata untuk membunuh para korban.
9. Pisau Kelapa (Palm Knife), ini adalah pisau khusus yang digunakan oleh petani Kamboja untuk memotong bunga pohon kelapa untuk dijadikan jus. Lalu jus ini diolah menjadi gula aren. Oleh Tentara Khmer Merah pisau ini kemudian digunakan sebagai salah satu senjata untuk membunuh para korban. Para korban dipukuli dengan gandar atau cangkul dan sebelum dimasukkan ke dalam lubang digorok lehernya dengan pisau ini. Glek!!!
10. Poros, benda ini adalah bagian dari gerobak sapi atau kerbau yang oleh petani di Kamboja biasanya digunakan sebagai sarana transportasi. Oleh tentara Khmer Merah benda ini digunakan sebagai senjata untuk membunuh para korban. Caranya, korban dipukuli sampai mati.
11. Cangkul, selain berfungsi untuk alat pertanian, oleh tentara Khmer Merah cangkul ini juga digunakan sebagai sebagai senjata untuk membunuh para korban.
12. Belenggu (Cincin kaki), oleh tentara Khmer Merah benda yang terbuat dari besi ini digunakan untuk membelenggu kaki para tahanan secara berkelompok.
Melihat alat dan cara pembunuhan yang dilakukan kepada para tahanan (korban) saya kemudian bertanya, apakah teriakan rasa kesakitan mereka tidak didengar oleh penduduk sekitar. Penjelasan tulisan pada sebuah pohon menjawab pertanyaan saya. Para penjaga menempatkan alat pengeras suara dan digantung pada pohon tersebut dan dibunyikan keras-keras sehingga lolongan korban yang tengah dieksekusi tidak terdengar oleh masyarakat sekitar.
Beruntung, waktu saya disana berkesempatan menyaksikan pemutaran video cuplikan peristiwa dan kesaksian beberapa orang, sehingga sedikit memberikan gambaran tentang apa yang sudah saya saksikan selama menjelajah lokasi ladang pembantaian ini.
Selama perang sipil, Khmer Merah mendirikan dan membentuk sebuah sistem penjara dan dilakukan secara berkala sebagai tempat “pembersihan” para musuh dan pengkhianat. Praktek ini semakin diperluas selama pemerintahan Demokratik Kampuchea, dibawah komando Khmer Merah (Pol Pot). Setelah berkuasa, Khmer Merah kemudian menangkapi dan mengeksekusi puluhan ribu mantan pejabat pemerintah, polisi, pegawai negeri sipil, tentara, dan mantan musuh yang dicurigai. Gelombang pertama pembunuhan dimulai pada awal hingga pertengahan tahun 1976 ketika kepemimpinan Khmer Merah merasa terancam oleh perselisihan dan pemberontakan dalam barisan sendiri. Mereka mencurigai ada musuh dalam selimut.
Pada saat itu, Khmer Merah telah membentuk sistem penjara yang rumit. Di seluruh negeri, orang-orang yang dianggap mencurigakan akan ditangkap. Kadang-kadang mereka langsung dibunuh. Dalam kasus lain, mereka dipenjarakan di penjara-penjara, diinterogasi, lalu dibunuh. Ratusan ribu orang tewas dalam tragedi kematian yang merembet juga kepada masyarakat umum dan juga dalam jajaran internal Khmer Merah sendiri. Banyak dari kader yang datang dicurigai, terutama yang memiliki pangkat tinggi. Mereka akhirnya dikirim ke Penjara Rahasia S-21 Tuol Sleng yang berlokasi di Phnom Penh, yang menjadi penjara pusat dan terbesar. Beberapa, termasuk anak-anak mereka, dieksekusi dengan cukup cepat. Sementara lainnya diinterogasi dan disiksa dalam proses supaya membuat pengakuan.
Menurut Pusat Dokumenter Kamboja, ada sekitar 189 penjara, 380 ladang pembantaian dan 19.403 kuburan massal. Di Kamboja, keluarga tidak bisa melarikan diri dari kebijakan genosida pemerintahan Democratic Kamphucea. Hmmmm……

Comments
0 Comments