Senin, 22 November 2010
Yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menimpa umatnya (1)
1. Dibukanya pintu kesenangan dunia.
إِنِّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا
“Sesungguhnya diantara perkara yang aku khawatirkan atas kalian setelahku adalah dibukakan kepadamu kesenangan dunia dan perhiasannya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Dunia telah disifati oleh Allah sebagai kesenangan yang menipu, berbangga-bangga dengan harta dan anak-anak. Allah Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaannya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Al Hadiid : 20).
Kesenangan dunia dan perhiasannya telah menjadikan banyak manusia lupa dan lalai, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengkhawatirkan umatnya dilalaikan dengan mengejar dunia dan melupakan kehidupan akhirat, karena yang demikian itu menyebabkan kaum muslimin mendapatkan hal yang tidak diinginkan yaitu:
a. Menjadi terhina di hadapan kaum kuffar.
Sebagaimana sabda Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu berjual beli dengan cara riba, mengambil ekor sapi, rela dengan tanaman dan meninggalkan jihad (membela agama), Allah akan kuasakan kehinaan kepadamu dan Dia tidak akan mencabutnya sampai kamu kembali kepada agamamu (yang benar)”. (HR Abu Dawud dan lainnya).[1]
Ini artinya kaum muslimin lebih mencintai dunia dan tidak mau membela agama Allah karena lebih disibukkan dengan mengejar dunia dan perhiasannya walaupun dengan cara yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wajalla, sehingga kewibawaan kaum musliminpun hilang dan Allah jadikan mereka terhina bagaikan buih yang bawa oleh banjir. Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir-hampir umat-umat kafir saling memanggil untuk melahap kalian sebagaimana orang-orang lapar saling memanggil untuk melahap hidangan“. Lalu seorang shahabat berkata: ”Apakah jumlah kita sedikit waktu itu ? beliau bersabda: ”Justru jumlah kalian banyak pada waktu itu, akan tetapi seperti buih yang dibawa oleh banjir, dan Allah benar-benar akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada-dada mereka, dan melemparkan kepada hati kalian al wahan“. Seorang sahabat berkata: ”Apakah al wahan itu ? beliau bersabda: ”cinta dunia dan takut mati“. (HR Abu Dawud no 4297 dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bani dalam shohih Sunan Abi Dawud).
b. Saling menumpahkan darah.
Cinta dunia menjadikan manusia gelap mata dan kikir, sehingga mereka berlomba mencarinya dengan berbagai macam cara walaupun harus dengan menumpahkan darah saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ.
“Jauhilah berbuat zalim karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, Jauhilah syuhh (sangat kikir) karena sangat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu, dan membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menganggap halal wanita-wanita mereka”. (HR Muslim).
Sifat syuhh muncul akibat cinta dunia yang amat sangat, Ath Thibi rahimahullah berkata: “Bakhil adalah kikir dan syuhh adalah bakhil yang disertai berbuat zalim, (dalam hadits ini) disebutkan syuhh setelah menyebutkan zalim untuk menunjukkan bahwa syuhh adalah macam zalim yang paling berat akibat dari cinta dunia dan kelezatannya”.[2]
Sejarahpun telah mencatat bagaimana kaum muslimin saling menumpahkan darah untuk merebut tahta, sebagaimana disebutkan bahwa ketika banu umayah telah ditumbangkan oleh banu Abasiyah, setiap harinya algojo-algojo banu Abasiyah membunuh delapan puluh orang dari banu umayah lalu mereka menggelar tikar dan makan minum di atas mayat-mayatnya. Dunia islam tak pernah sepi dari perang saudara sebagaimana yang kita baca dalam kitab-kitab sejarah akibat cinta dunia dan kelezatannya. Allahul musta’an.
c. Tidak peduli halal dan haram.
Cinta dunia menjadikan manusia membabi buta tak peduli kepada halal dan haram, tidak ada lagi rasa takut kepada siksa Allah Ta’ala, ia mencari rizki tanpa mempedulikan hukum-hukum Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Sesungguhnya akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak memperdulikan dengan apa ia mengambil harta, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram”. (HR Bukhari).
Perkara-perkara ini yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas umatnya apabila kesenangan dunia dibukakan kepada mereka, oleh karena itu beliau menganggap bahwa orang yang rakus dengan dunia dan tamak kepada harta lebih berbahaya dari serigala lapar, beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan kepada seekor kambing lebih berbahaya untuk agama seseorang dari orang yang rakus terhadap harta dan kedudukan”. (HR At Tirmidzi dan lainnya).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Ini adalah permisalan yang agung yang diumpamakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagi kerusakan agama seorang muslim akibat rakus terhadap harta dan kedudukan dunia dan bahwa kerusakannya tidak lebih berat dari rusaknya kambing yang dimangsa oleh dua ekor serigala lapar..”.[3]
Merenungi hakikat kehidupan dunia.
Saudaraku seiman, sesungguhnya kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang abadi, namun ia akan hancur dan amat hina di hadapan Allah lebih hina dari bangkai, Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke pasar dari arah ‘Aliyah dan para shahabatnya berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai anak kambing yang telinganya kecil lalu beliau mengambilnya dengan memegang telinganya kemudian bersabda: “Siapakah diantara kamu yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka berkata: “Kamu tidak suka bangkai itu menjadi milik kami, apa yang bisa kami gunakan darinya”. Beliau bersabda: “Atau kamu suka bangkai ini menjadi milikmu ?” Mereka berkata: “Demi Allah, kalaupun ia masih hidup maka ia binatang yang mempunyai aib karena telinganya kecil, bagaimana jadinya kalau ia bangkai?” Beliau bersabda: “Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah dari bangkai ini untuk kalian”. (HR Muslim).
Lebih hina dari bangkai ?! ya, karena bangkai menjijikkan dan dibenci oleh manusia sehingga mereka tidak akan dilalaikan untuk berlomba mencari bangkai, sedangkan dunia menjadikan manusia lalai dan tertipu karena perhiasannya menyilaukan hati yang dipenuhi cinta dunia. Maka jadikanlah dunia ini sebagai tempat perlombaan kita mencari pahala akhirat dan keridlaan Allah ‘Azza wa Jalla, sambil mencari harta yang halal dan menggunakan harta itu untuk mendulang pahala sebesar-besarnya dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dahulu, kaum mukminin sibuk berlomba mencari pahala akhirat. Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu berkata,” Sesungguhnya beberapa orang dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,”Wahai Rosulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa pahala banyak ; mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka…”. (HR Muslim).[4]
Subhanallah ! mereka iri kepada orang kaya bukan karena mempunyai materi kekayaan yang tidak mereka miliki, namun iri karena orang kaya dapat berinfaq dan shodaqah sementara mereka tidak, sehingga mereka tidak dapat meraih pahala besar seperti yang diraih oleh orang kaya.
Memang itulah tempat perlombaan kaum mukminin, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk memikirkan masa depannya di hari akhirat, karena harta dan anak-anak pada hari itu tidak bermanfaat kecuali orang yang membawa hati yang selamat, membawa pahala besar agar dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka.
2. Hawa nafsu dan syahwat.
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَفُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْهَوَى.
“Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atasmu adalah syahwat yang menyesatkan pada perut dan kemaluanmu dan hawa nafsu yang menyesatkan”.[5]
Hawa nafsu dan syahwat adalah penyakit yang amat berbahaya yang menghinggapi hati seorang muslim, di dalam Al Qur’an Allah Ta’ala telah mencela hawa nafsu dan pelakunya dan menyebutkan bahaya-bahaya yang ditimbulkan olehnya, yaitu:
a. Pengikut hawa nafsu bagaikan anjing.
Allah Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya bagaikan anjing yang menjulurkan lidahnya, Allah Ta’ala berfirman :
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨﮩ ﮪ ﮫﮬﮭﮮﮯ ﮰ ﮱ ﯓﯔ ﯕﯖﯗ ﯘ ﯙﯚﯛﯜﯝ ﯞﯟ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami ajarakan kepadanya ayat-ayat Kami, lalu ia lepas darinya maka setan mengikutinya dan jadilah ia orang-orang yang sesat. Kalau Kami kehendaki, Kami akan mengangkat derajatnya dengan (ayat-ayat itu), akan tetapi ia condong kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya juga..”. (Al A’raf : 175-176).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang diajarkan ilmu dan Al Kitab namun ia tidak mau mengamalkannya dan mengikuti hawa nafsunya seperti anjing yang termasuk hewan yang paling dungu dan sangat rakus yang semangatnya tidak melebihi perut (dan kemaluannya), diantara bukti kerakusannya adalah ia senantiasa berjalan dengan moncong hidungnya ke tanah, ia selalu mencium duburnya tanpa bagian tubuhnya yang lain, bangkai lebih ia sukai dari daging yang segar, tinja lebih ia gemari dari makanan yang enak, jika ia menemukan bangkai yang mencukupi seratus anjing ia tidak akan memberikan peluang anjing lain untuk makan bersamanya saking rakus dan bakhilnya.
Penyerupaan orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat padahal ia mempunyai ilmu yang banyak seperti anjing yang menjulurkan lidahnya mempunyai rahasia yang indah yaitu bahwa orang yang lepas dari ayat-ayat Allah ini dan lebih mengikuti hawa nafsunya semua itu disebabkan keserakahannya terhadap dunia dan hatinyapun terputus dari Allah dan kampung akhirat karena keserakahannya itu..”.[6]
b. Disesatkan di atas ilmu.
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ
“Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allahpun menyesatkannya di atas ilmu dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan penutup pada penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya hidayah setelah Allah? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al Jatsiyah : 23).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Artinya ia hanya mau melakukan perintah hawa nafsunya saja, apa yang ia pandang baik dilakukannya dan apa yang menurutnya buruk ditinggalkannya dan ayat ini dapat dijadikan dalil yang membantah pendapat Mu’tazilah yang berpendapat bahwa akal berdiri sendiri dalam menilai baik dan buruk.. (dan Allahpun menyesatkannya di atas ilmu) ada dua makna: yang pertama bahwa Allah menyesatkannya karena Allah mengetahui bahwa ia berhak mendapatkannya dan pendapat kedua adalah bahwa Allah menyesatkannya setelah tegak hujjah kepadanya”.[7]
c. Yang paling sesat di dunia.
ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ
“Dan siapakah yang paling sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al Qashash : 50).
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Ini adalah manusia yang paling sesat, ia ditawarkan hidayah dan jalan yang lurus yang akan menyampaikannya kepada Allah dan negeri kemuliaan, namun ia tidak mau menerima dan tidak pula menengoknya, sementara hawa nafsunya menyerunya kepada jalan yang akan menyampaikannya kepada kebinasaan dan kesengsaraan ternyata ia mengikutinya dan meninggalkan hidayah.
Adakah orang yang lebih sesat dari orang yang seperti ini sifatnya?! Akan tetapi permusuhan dan kebenciannya kepada kebenaran yang menjadikan ia terus menerus di atas kesesatan sehingga Allah tidak memberi hidayah kepadanya”.[8]
d. Tidak berhak menjadi panutan.
ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ
“Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas”. (Al Kahfi : 28).
Dalam ayat ini Allah melarang Rasul-Nya untuk mentaati orang yang mempunyai salah satu dari tiga sifat: yang pertama adalah yang lalai dari mengingat Allah sehingga iapun dilalaikan oleh Allah dari mengingat-Nya sebagai balasan dari perbuatannya. Yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya dengan mengikuti semua titah syahwatnya bahkan berusaha untuk meraihnya walaupun padanya terdapat kebinasaan dan kerugian. Dan yang ketiga adalah yang urusannya sia-sia dan meremehkan batasan-batasan Allah dan syari’at-Nya, maka orang yang seperti ini tidak berhak menjadi panutan dalam kehidupan manusia.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berhak ditaati dan menjadi imam untuk manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan mencintai Allah dan lisannya senantiasa basah dengan dzikir kepada-Nya, ia senantiasa mengikuti keridlaan Rabbnya dan lebih mengutamakannya dari hawa nafsunya, iapun selalu menjaga waktunya dan istiqamah perbuatannya serta mengajak manusia kepada (hidayah) yang Allah berikan kepadanya”.[9]
e. Sifat orang yang zalim.
ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤﮥ ﮦﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬﮭ ﮮﮯﮰ ﮱ ﯓ
“Akan tetapi orang-orang zalim itu mengikuti hawa nafsu mereka dengan tanpa ilmu, maka siapakah yang mampu memberikan hidayah kepada orang yang Allah sesatkan? dan mereka tidak memiliki penolong-penolong (selain Allah)”. (Ar Ruum : 29).
f. Menyesatkan pelakunya dari jalan Allah.
ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇﰈ
“Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah..”. (Shaad : 26).
Amat berat kerusakan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan syahwat, ia merusak dunia dan agama bahkan merusak tatanan kehidupan manusia akibat hatinya yang telah hitam kelam tidak lagi dapat mengenal yang ma’ruf tidak pula mengingkari yang mungkar sebagaimana disebutkan dalam hadits:
وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“..dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya”. (HR Muslim).[10]
Yang lebih berbahaya lagi adalah orang yang berusaha mencari dalil untuk berdalih membenarkan hawa nafsunya dan menafsirkan ayat dan hadits sesuai seleranya, maka orang seperti ini sangat sulit kembali walaupun ditegakkan kepadanya seribu dalil.
Takut kepada Allah dan siksa-Nya.
Jalan keselamatan dari bahaya hawa nafsu dan syahwat adalah dengan memperkuat rasa takut kita kepada Allah, bagaimana adzab-Nya yang amat pedih dan bahwasannya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Allah mampu mengadzabnya secara tiba-tiba dalam keadaan ia tidur di waktu malam atau bermain di waktu dluha, Allah Ta’ala berfirman:
ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ
“Apakah penduduk negeri itu merasa aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu malam dalam keadaan mereka tidur? Ataukah penduduk negeri itu merasa aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu dluha dalam keadaan mereka bermain? Apakah merasa aman dari makar Allah? Tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Al A’raaf : 97-99).
Allah mampu untuk mencabut keberkahan hidupnya, bahkan menimpakan kepadanya berbagai macam malapetaka dan kesempitan hati, sehingga ia kehilangan kebahagiaan dan ketenangan, bahkan kenikmatan yang ia rasakan hakikatnya adalah buah simalakama yang mengulurnya agar lebih bertambah kesesatannya, dan bertambah penderitaan batinnya yang berakhir dengan kebinasaan.
ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ
“Tatkala mereka meninggalkan apa yang telah diperingatkan, Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu segala kesenangan, sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, tiba-tiba Kami adzab ia dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (Al An’am:44).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Apabila engkau melihat Allah memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba apa yang ia sukai akibat maksiat-maksiatnya sesungguhnya ia adalah istidraj (penguluran waktu agar lebih sesat) kemudian beliau membacakan ayat di atas”. (HR Ahmad dan lainnya).[11]
Berjuang melawan hawa nafsu.
Maka hendaknya kita berjuang melawan hawa nafsu dan ia adalah jihad yang agung sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللهِ.
“Dan jihad yang paling utama adalah orang yang menjihadi dirinya di jalan Allah”.(HR Ibnu Nashr).[12]
ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa jihad melawan diri lebih dikedepankan dari pada jihad melawan musuh, beliau berkata: ”Tatkala jihad melawan musuh-musuh Allah adalah cabang dari jihad seorang hamba melawan dirinya di jalan Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
المُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.
“Mujahid adalah orang yang menjihadi dirinya dalam rangka menta’ati Allah, dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang “. (HR Ahmad).[13]
Maka jihad melawan diri sendiri di jalan Allah lebih didahulukan dari pada jihad melawan musuh di luar, bahkan sebagai pokok baginya. Karena orang yang tidak mampu berjihad melawan dirinya sendiri untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, tidak mungkin ia mampu berjihad melawan musuh di luar.
Bagaimana ia mampu menjihadi musuh diluar, sementara musuh yang ada pada dirinya sendiri telah menguasai dirinya, ia tidak mampu menjihadinya dan melawannya di jalan Allah ?! bahkan ia tidak mungkin keluar melawan musuh sampai ia menjihadi dirinya untuk keluar.
Dua musuh ini adalah sebagai ujian bagi seorang hamba, dan diantara keduanya ada musuh yang ketiga yang tidak mungkin melaksanakan jihad yang dua tadi kecuali dengan menjihadi yang ketiga ini, karena ia selalu menggembosi hamba untuk dapat menjihadi diri dan musuhnya, menakut-takuti hamba dan terus menerus mengkhayalkan kepadanya sebagai sesuatu yang amat berat, dimana ia akan meninggalkan kesenangan, kelezatan dan syahwatnya.
Tidak mungkin ia menjihadi diri dan musuhnya kecuali dengan menjihadi yang ketiga ini, ia adalah pondasi untuk kedua jihad itu, musuh yang ketiga itu adalah setan, Allah berfirman :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا.
“Sesungguhnya setan itu musuh untuk kalian, maka ambillah ia sebagai musuh “.
Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh adalah sebagai peringatan untuk mengeluarkan seluruh kemampuan kita dalam rangka memerangi dan menjihadinya, ia adalah musuh yang tak pernah lelah, dan tidak pernah berkurang untuk memerangi hamba selagi nafas masih ada “.[14]
Namun janganlah pembaca memahami bahwa perkataan di atas dianggap meniadakan jihad melawan musuh, karena ini adalah konsekwensinya. Dan jihad melawan musuh tentu telah ada aturannya dan telah dibicarakan oleh para ulama, bukan di sini pembahasannya.
3. Syirik kecil Riya.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِى النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ، اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً.
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil”. Mereka berkata: “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya, Allah ‘Azza wa Jalla akan berfirman kepada mereka pada hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan: “Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?” (HR Ahmad).[15]
Sesungguhnya riya adalah penyakit yang sangat berbahaya yang berasal dari kurangnya ketauhidan hamba kepada Allah Ta’ala, diantara bahaya riya adalah:
a. Riya membatalkan amalan seorang hamba, Allah Ta’ala berfirman:
ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ
“Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ingin dilihat oleh manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, perumpamaannya adalah seperti batu cadas yang di atasnya ada tanah lalu hujan menimpanya dan menjadikan batu tersebut licin (bersih) kembali, mereka tidak memperoleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Al baqarah : 264).
b. Riya adalah sifat orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malasnya, mereka riya kepada manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja”. (An Nisaa : 142).
c. Pelaku riya adalah yang pertama kali dilemparkan ke dalam api Neraka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ.
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadzab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid, lalu ia didatangkan dan Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengenalnya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar disebut pemberani dan telah dikatakan padamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka. Dan orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an, ia didatangkan lalu Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengetahuinya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Aku mempelajari ilmu dan membaca Al Qur’an karena Engkau”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar disebut ulama dan membaca Al Qur’an agar disebut qori dan telah dikatakan demikian kepadamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka. Dan orang yang Allah luaskan rizkinya dan diberi semua macam harta lalu ia didatangkan dan Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengenalnya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Tidak ada satupun jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan padanya kecuali aku telah menginfakkannya karena Engkau”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu berbuat itu agar disebut dermawan dan telah dikatakan demikian kepadamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka”. (HR Muslim).[16]
d. Allah berlepas diri dari pelaku riya.
Dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang mempersekutukanKu dengan yang lain, Aku akan tinggalkan ia dan kesyirikannya”. (HR Muslim).[17]
e. Lebih ditakutkan dari Al Masih Dajjal.
Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu berkata:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar kepada kami dan kami sedang memperbincangkan Al Masih Dajjal, beliau bersabda: “Maukah aku kabarkan kepadamu yang lebih aku takutkan untuk menimpamu dari Al Masih Dajjal ?” kami berkata: “Mau”. Beliau bersabda: “Syirik kecil yaitu seseorang berdiri shalat lalu ia memperbagus shalatnya karena ada orang yang memperhatikannya”. (HR Ibnu majah).[18]
Warna-warni riya.
Riya mempunyai warna warni yang berbeda karena kelincahan setan dalam menggoda manusia, terlebih orang yang diberikan kelebihan baik dalam ilmu, ibadah, kemerduan suara, dan lain sebagainya. Riya’ masuk dalam berbagai macam sisi kehidupan; dalam lapangan ilmu misalnya setan berusaha menggoda manusia agar jatuh ke dalam riya, di antara fenomena riya dalam lapangan ilmu:
a. Terlalu berani berfatwa dan tergesa-gesa untuk mengajar.
Sifat ini adalah akibat cinta ketenaran dan ingin disebut sebagai ‘alim ulama, sehingga ia amat berani berfatwa karena takut dikatakan ‘tidak tahu’. Padahal para ulama terdahulu, rasa takut mereka kepada Allah mengalahkan rasa takutnya untuk dikatakan ‘tidak tahu’.
Abu Dawud berkata: “Tak terhitung jumlahnya aku mendengar imam Ahmad ditanya tentang permasalahan yang masih diperselisihkan, beliau berkata: “Aku tidak tahu”. Imam Ahmad berkata: “Aku tidak pernah melihat fatwa yang lebih bagus dari fatwa Sufyan bin ‘Uyainah, ia amat ringan untuk berkata: “Tidak tahu”.
Ibnu Qayyim berkata: “Para ulama salaf dari kalangan shahabat dan Tabi’in tidak suka tergesa-gesa dalam berfatwa, dan setiap mereka berharap agar saudaranyalah yang menjawabnya, dan bila ia melihat sudah menjadi keharusan baginya, maka ia mengeluarkan semua kesungguhannya untuk mengetahui hukumnya dari Al Qur’an dan sunnah atau pendapat Khulafa Ar Rasyidin, kemudian ia berfatwa”.[19]
Doktor Nashir al ‘aql berkata :” diantara kesalahan yang harus di peringatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu, dan ini lebih banyak ditemukan pada pemuda, mereka berkata ,” berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu “. Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar, hendaklah ia menuntut ilmu dan bertafaqquh dalam agama, menghasilkan ilmu-ilmu syari’at kemudian baru ia berdakwah…”. (Al Fiqhu fiddiin hal 58).
b. Sibuk dengan ilmu yang bersifat fardlu kifayah dan meninggalkan yang fardlu ‘ain.
Ia sibuk memperdalam ilmu-ilmu qira’at dan makhrajnya, namun meninggalkan yang lebih utama darinya, yaitu mentadabburi makna-maknanya. Ia memperdalam permasalahan-permasalahan fiqih yang amat pelik namun meninggalkan ilmu tauhid dan ikhlas. Namun bukan berarti kita berburuk sangka kepada mereka, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk langkah-langkah setan dalam menggoda manusia.
c. Suka berdialog dan bertengkar dalam agama.
Sifat ini digemari oleh orang-orang yang terfitnah oleh popularitas, dan ingin mengalahkan saingannya dengan memperlihatkan kehebatannya, dan ini adalah tanda yang tidak baik, imam Al Auza’I berkata: “Apabila Allah menginginkan keburukan kepada suatu kaum, Allah bukakan kepada mereka pintu jidal, dan menutup untuknya pintu amal”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقاّ..
“Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga, untuk orang yang meninggalkan mira’ (debat kusir), walaupun ia di pihak yang benar..”. (HR Abu Dawud).[20]
Para ulama salaf terdahulu berdialog bila dalam keadaan terpaksa saja, dan adanya orang-orang yang tergelincir dalam masalah ini adalah karena niat yang tidak baik, padahal para ulama salaf lebih memperhatikan amal dari berbicara, adapun sekarang, banyak dari kita yang lebih banyak memperhatikan berbicara karena ingin dianggap unggul. Allahul musta’an.
d. Marah bila dikritik dan bersikap dingin kepada orang yang menyelisihinya serta berbangga dengan banyaknya pengikut.
Ini akibat tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu dan berdakwah, imam Adz Dzahabi berkata: “Tanda orang yang ikhlas, yang terkadang tak terasa masih menyukai ketenaran, adalah bila ia diingatkan tentang hal itu, hatinya tidak merasa panas, dan tidak membebaskan diri darinya, namun ia mengakuinya dan berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang mengingatkan aibku”. Ia tidak berbangga dengan dirinya, dan penyakit yang berat adalah bila ia tidak merasakan aibnya tersebut”.[21]
Betapa indahnya perkataan beliau ini, amat layak untuk ditulis dengan tinta emas, dan menjadi renungan kita bersama.
Al Fudlail bin ‘Iyadl berkata (Kepada dirinya): “Wahai, kasihannya engkau.. engkau berbuat buruk tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu tetapi merasa selevel dengan ulama, engkau kikir tetapi merasa dermawan, engkau pandir tetapi merasa pintar dan berakal, ajalmu pendek namun angan-anganmu panjang”.[22]
Saudaraku, terkadang banyaknya pengikut membuat kita tertipu dan menjadikan seorang da’I berbangga. Bila yang hadir di majlis taklimnya banyak, ia senang, namun bila yang hadir sedikit, ia bersedih dan ciut hatinya, tanda apakah ini ya akhi..?!
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Aku mempunyai majlis (ta’lim) di Masjid Jami’ setiap hari jum’at, apabila yang hadir banyak, aku merasa senang. Dan apabila yang hadir sedikit, aku merasa sedih. Lalu aku tanyakan kepada Bisyir bin Manshur, ia menjawab: “Itu majlis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya”. Akupun tidak lagi kembali kepadanya.[23]
Subhanallah!! Betapa ikhlasnya mereka, betapa jauhnya dari cinta popularitas, sedangkan kita ?!! entah, wallahu a’lam.
[1] Abu Dawud no 3462 dari jalan Haywah bin Syuraih dari Ishaq Abu Abdirrahman Al Khurrasani dari ‘Atha Al Khurrasani dari Nafi’ dari ibnu Umar. Qultu: “Sanad hadits ini lemah karena Ishaq bin Asid Abu Abdirrahman adalah perawi yang lemah demikian pula ‘Atha Al Khurrasani. Namun imam Ahmad no 4593 meriwayatkan dari jalan Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Atha’ bin Abi Rabah dari ibnu Umar. Qultu: “Sanad ini shahih”. Dan hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam silsilah hadits shahih no 11. [2] Faidlul qadiir 1/175.
[3] Syarah hadits maa dzi’baani hal 21.
[4] Muslim 2/697 no 1006.
[5] Lihat shahih targhib dan tarhib no 52 dan 2143.
[6] I’lamul muwaqqi’in hal 114-115 tahqiq Raid bin Shabri bin Abi ‘Alafah.
[7] Tafsir ibnu Katsir 7/205-206 tahqiq Hani Al Haj.
[8] Taisir Al Karimirrahman hal 567 cet. Muassasah Risalah.
[9] Taisir Al Karimirrahman hal 425 cet. Muassasah Risalah.
[10] Muslim 1/128 no 144.
[11] Ahmad dalam musnadnya 17349 dari jalan Risydin bin Sa’ad Abul Hajjaj Al Mahri dari Harmalah bin Imran At Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Qultu: “Sanad ini dla’if karena Risydin adalah perawi yang dla’if sedangkan perawi lainnya tsiqah, namun ia dimutaba’ah oleh Abdullah bin Shalih Al Mishri sebagaimana dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam mu’jam kabiir no 913, dan Abdullah ini adalah katib Laits dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Fiihi liin (terdapat kelembekan)”. Sehingga hadits ini naik menjadi hasan ligharihi, dan juga dimutaba’ah oleh Hajjaj bin Sulaiman Ar Ra’ini dikeluarkan oleh Ad Dulaabi dalam Al Kuna no 605 tahqiq Abu Qutaibah Al Faryani dan Hajjaj ini dikatakan oleh Abu Zur’ah munkarul hadits dan ibnu Hibban berkata: “Haditsnya mu’tabar bila ia meriwayatkan dari tsiqah”. Maka hadits ini menjadi semakin kuat dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 413.
[12] Lihat silsilah shahihah no 1491.
[13] Al Musnad no 24004, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 549.
[14] Zadul Ma’ad 3/6 Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[15] Dalam musnadnya no 23680 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Targhib no 32.
[16] Muslim 3/1513 no 1905.
[17] Muslim no 2985.
[18] Ibnu Majah no 4204 dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Targhib wattarhib no 30.
[19] I’laamul muwaqqi’iin 1/33-34.
[20] Sunan Abu Dawud no 4800, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Abi Dawud no 4015.
[21] Siyar a’lamin Nubalaa 7/393.
[22] Siyar A’lamin Nubalaa 8/440.
[23] Hilyatul auliya 9/12.
0 Comments