| Mera Naam Joker: IDUL ADHA

Kamis, 25 Oktober 2012

IDUL ADHA



MADINATULIMAN - Diantara hal yang dilakukan oleh umat Islam untuk menghidupkan malam hari raya adalah apa yang dikenal dengan istilah “takbiran”. Mengumandang takbir pada hari raya merupakan amaliyah yang disyariatkan, termasuk juga pada malam hari raya.
 
Adapun hukum takbir pada hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhaa) adalah sunnah. Menurut Imam Nawawi rahimahullah didalam Al-Majmu’, hal itu berdasarkan riwayat,
 
عن نافع عن عبد الله بن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج في العيدين مع الفضل بن عباس و عبد الله والعباس وعلي وجعفر والحسن والحسين واسامة بن زيد وزيد بن حارثة وايمن بن ام ايمن رضي الله عنهم رافعا صوته بالتهليل والتكبير فيأخذ طريق الحدادين حتى يأتي المصلى وإذا فرغ رجع على الحذائين حتى يأتي منزله
“Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berangkat pada hari raya beserta al-Fadll bin Abbas, Abdullah, Abbas, Ali, Ja’far, al-Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman Ibn Ummu Aiman –Radliyallahu ‘Anhum-, mereka meninggikan suaranya (mengeraskan suara) dengan membaca tahlil dan takbir, mengambil rute satu jalan hingga tiba di mushalla (tempat shalat), dan ketika mereka selesai shalat, mereka kembali melewati rute yang lainnya hingga tiba di kediamannya”. [HR. Al-Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro, dan Shahih Ibnu Khuzimah]
 
Imam Al-‘Imraniy didalam Al Bayan menyebutkan juga, firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa, surah Al-Baqarah ayat 185 sebagai dalil takbir hari raya :
 
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” 
 
Terkait ayat tersebut, Imam Al-Syafi’i rahimahullah (didalam Al-Umm) berkata :“Aku pernah mendengar dari ahli ilmu yang aku senangi mengatakan tentang firman Allah {wa litukmilul ‘Iddah} maksudnya adalah jumlah bilangan bulan Ramadhan, dan {wa litukabbirullah} maksudnya ketika telah sempurna bilangan Ramadhan”.
 
Al-‘Imraniy juga menuturkan sedikit perbedaan pendapat didalam Al Bayan bahwa “Daud (Ad-Dhahiriy) berkata : hokum takbir adalah wajib pada ‘Idul Fithri. Ibnu Abbas berkata : bertakbir dilakukan bersama dengan imam dan tidak dilakukan sendiri. Diceritakan dari Abu Hanifah, ia berkata : tidak ada takbir pada ‘Idul Fithri, namun bertakbir pada ‘Idul Adlha. 
 
Macam Takbir Hari Raya dan Waktu Dimulainya
 
Secara garis besar, ada 2 macam istilah takbir hari raya yaitu takbir mursal dan takbir muqayyad. Imam Al-Ghaziy didalam Fathul Qarib mengatakan :
 
“Takbir ada dua macam ; pertama takbir Mursal yaitu takbir yang tidak mengiringi shalat, dan kedua takbir muqayyad yaitu takbir yang mengiringi shalat. Mushannif memulai menjelaskan takbir yang pertama (Mursal), bertakbir merupakan kesunnahan (anjuran) bagi setiap laki-laki maupun perempuan, baik yang hadlir ataupun musafir, ditempat-tempat mana saja, di jalanan, di masjid-masjid dan dipasar-pasar, dimulai sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya ‘Idul Fithri, dan mengulang-ngulang takbir ini sampai masuknya (mulainya) imam melakukan shalat ‘Idul Fithri, namun tidak disunnahkan melakukan takbir yang mengiringi shalat pada malam ‘Idul Fithri, akan tetapi Imam Nawawi rahimahullah didalam kitab Al-Adzkar memilih pendapat yang menyatakan sunnah (melakukan takbir mengiringi shalat pada malam ‘Idul Fithri)”. 
 
“Kemudian juga disyariatkan takbir muqayyad, melakukan takbir pada ‘Idul Adlhaa mengiringi shalat-shalat fardlu, demikian juga shalat sunnah rawatib, shalat muthlaq dan shalat jenazah, dimulai sejak waktu shubuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) sampai waktu ‘Ashar pada akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah)”
 
Adapun mengenai waktu dimulainya melakukan takbir. Jika ‘Idul Fithri adalah ketika terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (memasuki malam ‘Idul Fithri yaitu ketika waktu maghrib), ini juga pendapat 7 Fuqaha’ Madinah. Dalilnya adalah,
 
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” (QS. Al Baqarah : 185)
 
Sedangkan selesainya takbir hari raya ‘Idul Fithri, terdapat beberapa pendapat. Diantaranya, adalah sampai imam keluar (berangkat) menuju shalat ‘Ied, sebab ketika telah hadir ke tempat shalat, maka yang sunnah adalah menyibukkan dengan shalat maka tidak ada pengertian untuk tarbir. Pendapat lain, adalah sampai dimulainya pelaksanaan shalat ‘Ied, karena perkataan sebelum dimulainya pelaksanaan shalat adalah mubah (boleh) saja sehingga jadilah takbir merupakan perkara yang dianjurkan. Pendapat lainnya juga, adalah sampai imam pergi, sebab imam dan para makmum, mereka masih sibuk berdzikir hingga mereka selesai shalat, maka sunnah bagi yang tidak melaksanakan shalat untuk tetap melakukan takbir (sampai imam shalat pergi, penj). Namun, pendapaat yang shahih adalah sampai imam mulai melakukan shalat ‘Idul Fithri.
 
Adapun untuk ‘Idul Adlhaa. Tedapat beberapa pendapat, diantaranya ; pendapat pertama adalah dimulai setelah shalat Dhuhur pada yaumun Nahr (siang ‘Idul Adlha) dan berakhir pada waktu shubuh di akhir ayyumut tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah), ini berdasarkan firman Allah surah Al Baqarah ayat 200. 
 
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah”
 
Sebab manasik haji selesai sebelum masuk tengah hari di yaumun Nahr serta permulaan bertemunya waktu dzuhur, sedangkan batas akhirnya mengikuti pelaksanaan haji, dan akhir shalatnya adalah shalat shubuh. Pendapat kedua, adalah sejak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Adlhaa, ini berdasarkan qiyas terhadap permulaan ‘Idul Fithri, sedangkan batas akhirnya sampai shalat shubuh di hari terakhir ayyamut tasyriq. Pendapat ketiga, adalah dimulai pada waktu shalat shubuh di hari ‘Arafah, dan berakhir pada waktu ‘Ashar di hari terakhir ayyamut tasyriq. Hal ini berdasarkan riwayat Umar dan ‘Ali bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bertakbir setiap mengiri shalat setelah shalat Shubuh di hari ‘Arafah sampai shalat ‘Ashar pada hari terakhir ayyamut tasyriq. Dari pendapat tiga pendapat tersebut, yang shahih menurut Imam Nawawri adalah berakhir pada tanggal 13 Dzulhijjah waktu shalat ‘Ashar (akhir hari tasyriq)
 
Takbir mursal juga dikenal sebagai takbir muthlaq, sebab tidak terikat dengan waktu atau tidak mengiri shalat, sehingga bisa dikumandang kapanpun pada momen hari raya untuk menyemarakkan syiar tersebut, baik di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar, baik siang maupun malamnya, dan dikerumuman masyarakat, dengan menyaringkan suaranya.
 
Imam Taqiyuddin Al-Husaini Al-Hishniy mengatakan didalam Kifayatul Akhyar :“(Disunnahkan mengumandangkan takbir sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai masuknya imam untuk shalat hari raya. Adapun pada ‘Idul Adlhaa, takbir dilakukan mengirisi shalat-shalat fardlu sejak shubuh pada hari ‘Arafah sampai waktu ‘Ashar akhir hari tasyriq). Disunnahkan bertakbir sejak terbenam matahari pada malam ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adlhaa, dan tidak ada ada perbedaan dalam hal tersebut, baik di masjid-masjid, rumah-rumah, pasar-pasar, baik siang maupun malam, dan juga ketika di keramainan orang untuk menyeragamkan kumandang takbir, juga tidak ada perbedaan baik yang hadlir (tidak sedang musafir) maupun yang dalam keadaan musafir, dalilnya untuk ‘Idul Fithri adalah firman Allah {“ hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”}, sedangkan dalil untuk ‘Idul Adlhanya adalah qiyas pada hal tersebut dan juga warid dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata {“Kami (para perempuan) diperintahkan pada hari raya keluar rumah meskipun dalam keadaan haidl, supaya mengikuti mengikuti masyarakat melakukan takbir dengan takbir mereka”}. Adapun akhir selesainya takbir ; Untuk ‘Idul Fithri adalah sampai imam mulai melakukan shalat ‘Ied, inilah pendapat yang shahih. Sedangkan untuk ‘Idul Adlhaa, pendapat yang shahih menurut Imam Rafi’i adalah sampai mengiri shalat shubuh pada hari terakhir ayyamut tasyriq (13 Dzulhijjah). Sedangkan menurut Imam Nawawi, yang shahih adalah mengiringi shalat ‘Ashar pada hari terakhir ayyamut tasyriq (13 Dzulhijjah), ia berkata ; dan itu jelas menurut pada ulama ahli tahqiq berdasarkan dengan hadits Nabi”. 
 
Imam Al-‘Imrani didalam Al Bayan fil Madzhab Al-Syafi’i berkata :
 
“Disunnahkan pada ‘Idul Fithri mengumandangkan takbir muthlaq, yakni takbir yang tidak terikat dengan waktu, orang boleh bertakbir kapan pun di berbagai tempat, di pasar, di masjid dan ditempat-tempat lainnya, dimalam hari ataupun disiang hari. Namun apakah di ‘Idul Fithri disunnahkan melakukan takbir muqayyad yang mengiri shalat fardlu ataukah tidak ?. Dalam hal ini ada dua pandangan. Pertama mengatakan : tetap disunnahkan melakukan takbir muqayyad, sebab hari raya disunnahkan takbir muthlaq maka didalamnya disunnahkan pula takbir muqayyad seperti ‘Idul Adlhaa, sehingga dalam hal ini, takbir tersebut hanya dilakukan pada 3 shalat fardlu saja yakni Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh. Pendapat kedua : tidak disunnahkan melakukan takbir muqayyad pada ‘Idul Fithri, sebab tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, tidak pula dari salah seorang sahabat, berbeda halnya dengan ‘Idul Adlhaa”
 
“Terkait dengan takbir pada ‘Idul Adlhaa, ulama syafi’iyah kami berbeda pandangan mengenai waktunya. Kebanyakan mereka berkata, ada 3 pendapat. Pertama : dimulai shalat shalat Dhuhur pada hari ‘Idul Adlhaa (yaumun Nahr) dan berakhir setelah sholat shubuh pada akhir hari tasyriq, serta juga melakukan takbir mengiringi seluruh shalat Fardlu, itu pendapat yang shahih, dan telah diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Zaid bin tsabit, Ibnu Abbas, itu juga pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. … Pendapat kedua : takbir dimulai setelah shalat Maghrib pada malam ‘Idul Adlhaa, sebagai qiyas dengan ‘Idul Fithri, dan berakhir setelah shalat shubuh di akhir hari tasyriq, sehingga takbir yang mengiringi shalat fardlu totalnya sebanyak 18 shalat. Pendapat ketiga : bertakbir setelah shalat shubuh pada hari ‘Arafah, dan berakhir setelah shalat ‘Ashar pada akhir hari tasyriq. Riwayat yang demikian berasal dari ‘Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Sufyan At-Tsauriy, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad dan Ibnu Al Mundzir juga memilihnya”. 
 
Lafadz Takbir Yang di Kumandangkan 
 
Lafadz takbir yang dikumandang pada momen hari raya adalah “Allahu Akbar” sebanyak 3 kali, ini masyhur berasal dari nas-nas Imam Al-Syafi’i rahimahullah dan merupakan fatwa madzhab,
 
اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَر
 
Boleh juga menambahkan dengan lafadz takbir yang panjang, sebab itu juga hasan (bagus). Ini juga sering dibaca oleh umat Islam, yaitu 
 
اللّه أكْبَرُ كَبيراً، والحَمْدُ لِلَّهِ كَثيراً، وَسُبْحانَ اللَّهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَلا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُون، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللّه واللَّهُ أكْبَرُ
 
Beberapa kebiasaan sahabat Nabi Shallahu ‘alayhi wa Sallam juga menggunakan lafadz lain yang merupakan shighat yang disukai, yaitu 
 
‏‏اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، واللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ ولِلَّهِ الحَمْدُ‏
 
Imam Al-Syairaziy didalam Al-Muhaddzab bab Takbir, mengatakan : 
 
“Dan sunnah pada takbir mengucapkan {Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar} sebanyak 3 kali, berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata : {“Allahu Akbar sebanyak 3 kali”}. Dan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar bin Umar bin Hazm, ia berkata : {Aku menyaksikan para imam radliyallahu ‘anhum, mereka bertakbir pada hari-hari tasyriq setelah melakukan shalat sebanyak 3 kali}. Dan dari Al Hasan seperti itu juga. Sedangkan Imam Al-Syafi’i berkata didalam kitab Al-Umm : {Jika ingin menambahkan lafadz takbirnya, maka ucapkanlah setelah takbir 3 kali yaitu Allahu Akbar Kabiran wal Hamdulillahi Katsiran wa Subhanallahi Bukratan wa Ashilaan Laa Ilaaha Illahu wa Laa Na’budu Illaa Iyyahu Mukhlishina lahud Diin wa Lau Karihal Kafiruun… (sampai akhir..), karena Nabi Shallallau ‘Alayhi wa Sallam bersabda, demikian ketika berada di buki Ash-Shofa}. Dan disunnahkan mengangkat nada suaranya (menyaringkan suaranya) dengan bertakbir, berdasarkan riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alayhi wa Sallam keluar melaksanakan shalat dua hari raya menyarinngkan suaranya dengan bertahlil dan bertakbir, karena ketika suara dinyaringkan maka akan didengar oleh orang yang tidak bertakbir, kemudian ikut bertakbir juga”.
 
Imam Nawawi Rahimahullah didalam Raudlatuth Thalibin mengatakan ; “Sifat takbir ini adalah bertakbir sebanyak 3 kali di ulang-ulang, berdasarkan madzhab Syafi’i. Diriwayatkan qaul qadim menyatakan bertakbir sebanyak 2 kali. Imam Syafi’i berkata : apa yang ditambahkan berupa dzikir kepada Allah adalah bagus. Dipandang baik (ihtihsan) didalam kitab Al Umm yaitu tambahan : {Allahu Akbar Kabiran wal Hamdulillahi Katsiran wa Subhanallahi Bukratan wa Ashilaan Laa Ilaaha Illahu wa Laa Na’budu Illaa Iyyahu Mukhlishina lahud Diin wa Lau Karihal Kafiruun… (sampai akhir..)}. Sedangkan didalam qaul qadim, setelah takbir 3 kali adalah {“Allahu Akbar Kabiiran, wal Hamdulillahi Katsiran, Allahu Akbar ‘alaa Maa Hadzanaa, wal-Hamdu Lillahi ‘alaa Maa Ablanaa wa Awlanaa”}. Pengarang kitab Asy-Syamil berkata : apa yang biasa di ucapkan oleh kaum Muslimin juga tidak apa-apa, yaitu {Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd}. Aku (Imam Nawawi) berkata : yang di sebutkan oleh shahib Asy-Syamil, di kutip juga oleh shahib Al-Bahr dari nash Imam Syafi’i rahimahullah didalam Al-Buwaithiy, dan berkata : ia juga mengamalkannya, Wallahu A’lam”.
 
Imam Zakariyyah Al-Anshoriy didalam Fathul Wahab berkata : “Shighat takbir yang di sukai serta banyak dikenal adalah sebagaimana yang asal : {Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd}, dan yang di ihtihsan didalam Al-Umm tambahan setelah takbir 3 kali adalah {Allahu Akbar Kabiran …. (sampai akhir)}”.
 

Hukum Takbir pada Hari Iedul Adha

Pada hari-hari raya disunnahkan bagi kaum muslimin untuk bertakbir di rumah-rumah, pasar, jalan, dan masjid-masjid mereka hanya saja bagi kaum wanita tidak dianjurkan untuk mengeraskan takbir mereka ketika ada kaum laki-laki asing atau yang bukan mahram.

Waktu-waktu Takbir

Pada hari ‘Iedul Adha waktu takbir dimulai sejak masuk tanggal 10 Zulhijjah hingga tenggelam matahari pada hari tanggal 13 Dzulhijjah.

Sifat Takbir
  • Boleh melakukan takbir genap yaitu, "Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Ilallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Al-Hamd"
  • Atau bertakbir dengan jumlah ganjil yaitu , "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Ilallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi Al-Hamd".
  • Boleh bertakbir dengan jumlah ganjil pada bagian pertama dan jumlah genap pada bagian kedua, yaitu, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi Al-Hamd."Kita boleh memilih salah satu dari tiga cara ini

    Bila Ied Bertepatan dengan Hari Jum'at


    Apabila hari Iedul Fithri atau Iedul Adhha bertepatan dengan hari Jumat, apakah kaum muslimin tetap wajib menunaikan Shalat Jumat, atau sudah cukup dengan malaksanakan shalat Ied? Para ulama dalam berbeda pendapat dalam masalah ini sebagai berikut:

    • Pertama, orang yang sudah shalat ied tidak wajib baginya menunaikan shalat jumat, dengan kata lain ada rukhshah (keringanan) untuk tidak melaksanakan shalat jumat. Sebagai gantinya ia wajib mengerjakan shalat zhuhur. Kecuali imam, ia tetap wajib shalat jumat untuk memimpin orang yang hendak shalat jumat. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan madzhab Hambali.
    Abdullah bin Ahamad bin Hambal berkata, “Saya bertanya kepada bapakku (Imam Ahmad) tentang dua ied, apakah boleh meninggalkan salahsatunya? Beliau menjawab, “Tidak mengapa, saya berharap melakukan salah satunya sudah mencukupi.” (Masail Abdullah No. 482)
    Majduddien Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila hari ied bertepatan dengan hari jumat, maka gugurlah kewajiban untuk shalat jumat bagi orang yang menghadiri shalat ied. Kecuali Imam. Namun tetap menghadirinya (shalat jumat) lebih utama. Demikian pula kewajiban shalat Ied gugur apabila shalat jumat dikerjakan lebih dahulu.” (AlMuharrar: 1/159) 
    Abu Hubairah berkata, “Para ulama berbeda pendapat apabila hari ied bertepatan dengan hari jumat; Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa menghadiri shalat ied tidak mengugurkan kewajiban menghadiri shalat jumat. Demikian sebaliknya, menghadiri shalat jumat tidak mengugurkan syariat menghadiri shalat ied. Sedangkan Ahmad mengatakan, “Melakukan kedua-duanya adalah keutamaan, namun juka sudah menghadiri shalat ied, maka gugurlah kewajiban shalat jumat.” (Al-Ifshah: 1/174) 
    Pendapat ini pula yang dipegangi oleh para ulama Hambali yang lainnya seperti Ibnu Qudamah, Ibnu Muflih Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan lainnya. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Asy-Syaukani (lihat Nailul Authar: 3/320). 
    Ibnu Taimiyah berkata, “Inilah riwayat yang masyhur dari para shahabat Rasulullah seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan lainnya, dan tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dikalangan para shahabat mengenai hal itu. (Majmu’ Fatawa: 24/210)
    Para ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata,

    شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ
    “Aku menyaksikan Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah n dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Ied kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jumat), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim)
    Juga hadits Abu Hurairah a dari Rasulullah n bahwa beliau bersabda,
    قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. قَالَ عُمَرُ عَنْ شُعْبَةَ.
    “Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jumat. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id)” Umar berkata, “Dari Syu’bah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan Al-Hakim)
    Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa ada rukhshah (keringanan) untuk tidak Shalat Jumat bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Ied pada hari tersebut tanpa kecuali.

    Dalil lainnya adalah hadits Ibnu Zubair a Atha’ ia berkata, “Ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jumat Ibnu Az-Zubair pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jumat Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Ketika itu Ibnu Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair itu kepada Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas pun mengatakan, “Apa yang dia lakukan sesuai dengan sunnah.” (HR. An-Nasai)
    Adapun pengecualian bagi imam, karena sabda Nabi n dalam hadits tersebut, “Adapun kami akan menggabungkan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir ,

    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وَرُبَّمَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فَيَقْرَأُ بِهِمَا فِيهِمَا جَمِيعًا
    “Bahwa dahulu Rasulullah n membaca surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah dalam shalat Jumat dan shalat ‘Ied. Terkadang dua ‘Ied tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (Id dan Jum’at)” (HR. Muslim, no. 1458)
    Dan bagi mereka yang tidak menghadiri shalat Jumat, tetap wajib untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.
    • Pendapat kedua, Shalat jumat tetap wajib dilaksanakan baik bagi imam maupun kaum muslimin secara umum, kecuali orang yang memiliki udzur, hal ini berdasarkan keumuman perintah untuk melaksanakan shalat jumat. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan ulama Zhahiriyah seperti Ibnu Hazm.
    • Pendapat ketiga, yaitu pendapat jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, bahwa shalat jumat tetap wajib dikerjakan oleh kaum muslimin yang tinggal di desa atau kota, meskipun mereka sudah mengerjakan shalat ied. Adapun rukhshah (keringanan) untuk tidak shalat jumat hanya berlaku bagi penduduk yang berada di daerah pedalaman, atau yang tinggal jauh dari masjid jami’ sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mendatangi shalat Jumat.
    Pendapat jumhur ulama ini dilandasi beberapa alasan:
    1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik,
    “Ibnu Ubaid maula Bani Azhar berkata, “Saya menyaksikan Ied bersama Umar. Setelah usai shalat beliau berkhutbah, beliau berkata, “Ingatlah, dua hari adalah hari dimana kalian dilarang melaksanakan shiyam; yakni hari dimana kalian berbuka setelah kalian shiyam, sedangkan hari keduanya adalah hari dimana kalian memakan daging hewan sembelihan kalian. Aku juga ikut shalat Ied bersama Utsman bin Affan, beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu beliau berkata, “Pada hari ini telah bertemu dua Ied, siapa saja dari kaum badui yang hendak menunggu shalat jumat, silahkan ia menunggu, namun siapa saja yang mau pulang maka aku telah mengizinkannya.” (HR. Malik, no. 431)
    2. Adapun hadits Zaid bin Arqam yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah di dalamnya terdapat Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia adalah perawi yang majhul. Sebagaimana dinyatakan oleh Ali Al-Madini, Adz-Dzahabi, Ibnul Mundzir, Ibnu Al-Qatthan, dan Ibnu Hajar.

    3. Sedangkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dan lainnya, di dalam sanadnya terdapat Baqiyah bin Al-Walid, ia adalah seorang perawi yang banyak melakukan tadlis. Dan Abu Dawud pun mengisyaratkan bahwa hadits ini dalam lafal yang lain diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Syu’bah dengan ungkapan ‘an’anah dari Ibnu Abdil Barr berkata, “Sejauh yang saya ketahui, tidak seorangpun perawi tsiqat yang meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Yang meriwayatkannya dari Syu’bah hanya Baqiyyah bin Al-Walid. Sedangkan riwayat Baqiyyah dari Syu’bah tidak dianggap, riwayat Baqiyyah dari penduduk negerinya dipersoalan, dan mayoritas ulama melemahkan riwayat Baqiyyah dari penduduk Syam dan lainnya, Baqiyyah memiliki beberapa riwayat munkar, dia perawi yang dhaif, dan tidak dipakai sebagai hujjah.” (At-Tamhid: 10/239)

    4. Adapun hadits Ibnu Zubair, sebagian ulama menyatakan bahwa riwayat tersebut mudhtharib sanad maupun matannya.

    5. Seumpama hadits Muawiyah dan Abu Hurairah di atas dianggap shahih, maka dilalahnya masih bersifat muthlaq dan umum, sehingga masih mengandung ihtimalat. Sedangkan dalil yang masih bersifat muthlaq dan umum bisa saja bermakna khusus. Dan demikianlah yang difahami oleh Imam Asy-Syafi’I dan jumhur, bahwa rukhshah untuk tidak ikut shalat Jumat dalam hadits di diperuntukkan khusus para penduduk yang tinggal di pedalaman, yang mana rumah-rumah mereka jauh dari masjid jami’.

    6. Dalam hadits di atas Rasulullah bersabda, “Wa innaa mujammi’un’ adapun kami tetap akan melaksanakan dua ‘Ied. Demikian pula hadits riwayat Muslim bahwa Rasulullah dan para shahabat tetap melaksanakan shalat Jumat. Sehingga dengan demikian tepatlah jika disimpulkan bahwa rukhshah itu bersifat khusus untuk orang-orang yang tinggal jauh dari masjid jami’.

    7. Alasan ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa dahulu pada zaman Rasulullah n dan Khulafaur Rasyidun tidak ada masjid jami’ di Madinah selain masjid Nabawi, sehingga kaum muslimin yang tinggal jauh dari Madinah harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk shalat jumat. Demikian pula tidak ada tempat pelaksanaan shalat Ied kecuali disebuah mushalla (tanah lapang) di arah tenggara Masjid Nabawi. Maka ketika hari ied yang juga mengumpulkan kaum muslimin dari berbagai penjuru bertepatan dengan hari jumat, mereka diberi keringanan untuk langsung pulang ke kampung mereka masing-masing dan tidak perlu lagi kembali ke Madinah untuk shalat jumat karena hal itu akan menyulitkan mereka. Demikian penjelasan Syakh Al-Jibrin dalam risalahnya ‘Ar-Ra’yu As-Sadid fiema idza Wafaqa Yaumul Jumu’ah Al-‘Ied’ juga Syaikh Musthafa bin Al-Adawi dalam salah satu ceramahnya.

    8. Dalil-dalil tentang wajibnya shalat jumat adalah muhkam, dan merupakan sesuatu yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Sedangkan shalat Ied adalah sunnah muakkadah, dan amalan sunnah tidak bisa menggantikan amalan wajib. (Lihat Al-Inayah Syarhul Hidayah: 2/418)

    Kesimpulan:
    Dari ketiga penjelasan di atas jelaslah bahwa para ulama sepakat tentang wajibnya shalat Jumat (yang bertepatan dengan hari ied) bagi mereka yang tidak ikut shalat ied dan imam. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai hukum shalat jumat bagi mereka yang sudah ikut shalat ied; madzhab hambali berpendapat shalat jumat tidak wajib bagi orang yang sudah ikut shalat ied, baik ia adalah penduduk desa, kota yang dekat dengan masjid jami’, maupun penduduk pedalaman yang jauh dari masjid jami’. Kewajiban mereka mereka adalah menggantinya dengan shalat Zhuhur. Zhahiriyah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang sudah shalat ied tetap wajib menunaikan shalat jumat. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa shalat jumat tetap wajib bagi penduduk desa, kota yang tidak mengalami kesulitan perjalanan menuju masjid jami’. Dan keringanan itu berlaku hanya untuk penduduk pedalaman yang tinggal jauh dari masjid jami’.
    Keluar dari perselisihan lebih utama, sebab dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat pertama tidak lepas dari perselisihan dan perbincangan para ulama tentang keabsahannya. Kedua, karena pada mulanya semua sepakat bahwa shalat jumat adalah wajib maka kembali kepada titik kesepakatan dan dalil yang muhkam lebih utama. Wallahua’lam.

    UDHHIYAH (Penyembelihan Hewan Qurban)


    Udhhiyah adalah sebutan untuk binatang ternak (unta, sapi, atau kambing) yang disembelih pada hari raya Idul Adhha, setelah shalat, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah l (Taisirul ‘Alam, Hal. 534)

    Hukum Udhhiyah

    Imam Abu Hanif, Malik, dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa udhhiyah hukumnya wajib bagi orang yang memiliki kelonggaran rezeki. Karena Allah telah memerintahkan,
     فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ 
    ”Maka shalatlah pada Rabbmu dan berkurbanlah” (Q.S Al-Kautsar: 2)

    Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa udhhiyah hukumnya sunnah muakkadah bagi kaum muslimin yang mampu. Karena keumuman ayat diatas telah diperinci oleh hadits.

    Waktu menyembelih hewan kurban: yaitu sejak selesai shalat Idul Adha sampai hari terakhir dari hari tasyriq (hari raya, dan tiga hari berikutnya). 

    Syarat-syarat Hewan Udhhiyah
    Syarat sah hewan udhhiyah ada tiga;
    1. Termasuk jenis al-an’am, (ternak) Hewan udhhiyah harus beruapa al-an’am (binatang ternak beruapa unta, sapi, kerbau, kambing, domba... (QS. Al-Hajj: 34). Untuk unta, disyaratkan sudah berumur lima tahun, atau lebih. Sedangkan untuk sapi disyaratkan sudah berumur dua tahun atau lebih, sedangkan untuk kambing disyaratkan sudah berumur satu tahun atau lebih. (Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 193)
    2. Cukup umur.
      Dalil mengenai umur hewan adalah hadits Jabir bahwa Rasulullah n bersabda,
       ”Kita tidak berudhhiyah kecuali dengan hewan yang yang musinnah, jika hal itu menyulitkan kalian, maka sembelihlah jaz’ah dari kambing.” (HR. Muslim)
      Musinnah adalah sebutan untuk unta yang berumur lima tahun, atau sapi yang berumur dua tahun. Sedangkan jaz’ah adalah sebutan untuk kambing/domba yang berumur satu tahun. Adapula yang mebedakan antara kambing biasa dengan kambing jenis domba, sehingga mereka berpendapat bahwa jaz’ah adalah sebutan untuk kambing dari domba yang sudah berusia enam bulan atau lebih. Sedangkan kambing biasa disebut jaz’ah jika sudah berusia satu tahun atau lebih. (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami)
    3. Tidak cacat.
    Patungan Hewan Udhhiyah 

    Seekor kambing, sapi atau unta sah untuk udhhiyah satu orang berserta anggota keluarganya yang masih hidup. Bisa pula menyertakan anggota keluarga yang sudah meninggal sebagai penyerta, atau keluarga yang memberikan wasiat untuk udhhiyah sebelum meninggal. Hal ini berdasarkan hadits Abu Ayyub a beliau menceritakan bahwa,

    ”Seorang laki-laki pada zaman Nabi n berudhhiyah dengan seekor kambing untuk dirinya dan anggota kelaurganya, mereka memakan dagingnya dan menyedekahkan sebagiannya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) 

    Adapun seekor unta atau sapi boleh untuk tujuh orang, berdasarkan hadits Jabir a beliau menceritakan bahwa,

    ”Kami berudhhiyah bersama Rasulullah n pada tahun Hudaibiyah berupa seekor unta untuk tujuh orang, dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim)

    Apabila hewan tersebut telah diniatkan untuk dikurbankan, maka hewan tersebut tidak boleh dijual dan tidak boleh pula menghibahkannya, kecuali jika ia menggantinya dengan yang lebih baik.

    Hewan yang tidak Sah Dijadikan Hewan Udhhiyah

    Para ulama sepakat bahwa hewan yang cacat (baik cacat bawaan maupun cacat karena kecelakaan) yang tidak sah dijadikan hewan kurban ada empat kriteria, sebagaimana hadits Al-Barra’ bin ’Azib a bahwa ia mendengar Rasulullah n bersabda,

    أَرْبَعٌ لاَ بَجْزِيْنَ فِي اْلأَضَاحِي :اَلْعَوْرَاءُ اْلبَيِّنُ عَوْرُهَا وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا, وَلَا بِالْعَجْفَاءِ الَّتِي لاَتُنْقِي.

    “Ada empat macam yang tidak memenuhi syarat dijadikan hewan udhhiyah, yaitu yang buta yang nyata kebutaannya, yang sakit yang nyata sakitnya, yang pincang yang nyata pincangnya, dan yang kurus yang tidak ada tulang sum-sumnya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasai) 

    An-Nawawi berkata, “Para ulama sepakat bahwa empat macam cacat (hewan) yang disebutkan dalam hadits Al-Barra’ ini menyebabkan hewan tersebut tidak sah dijadikan hewan udhhiyah. Demikian pula dengan cacat yang semisal dengan empat hal itu, atau yang lebih parah dari yang empat tersebut, seperti hewan yang buta, buntung kakinya...” (Tuhfatul Ahwadzi: 4/150) atau tanduknya patah, daging paha atau punuknya terpotong, atau sebagian besar telinganya terpotong. 

    Apabila cacat diketahui setelah hewan tersebut sudah ditetapkan sebagai hewan udhhiyah, namun belum disembelih, maka pemiliknya harus menggantinya dengan hewan yang sehat/tidak cacat. Demikian pula apabila seorang menyembelih hewan udhhiyah sementara ia baru mengetahui bahwa hewan tersebut sakit setelah disembelih, maka hal itu belum memadai untuk menggugurkan kewajibannya, karena tujuan berkurban belum terpenuhi.

    Adapun cacat ringan semisal, teling sedikit sobek atau bolong, tetap boleh untuk dijadikan hewan udhhiyah, meskipun mencari yang betul-betul sehat dan sempurna lebih utama. 

    Adab dan Tatacara Menyembelih

    Syariat udhhiyah adalah perintah Allah, maka sudah seharusnya setiap muslim menunaikannya dengan cara sebaik mungkin. Berkaitan dengan adab menyembelih Rasulullah n menasihatkan dalam sabdanya, 

    ”Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan dalam setiap perkara, maka jika kamu membunuh bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Dan hendakseseorang manajamkan pisaunya, dan menenangkan hewan yang akan disembelihnya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

    Betapa indah agama ini, sehingga membunuh musuhpun diperintahkan dengan cara yang baik, tidak menyiksa, atau melakukan mutilasi. Demikian pula dengan menyembelih hewan, hendaknya hewan yang akan disembelihditenangkan, tidak menyiksa, atau memperlakukannya secara kasar, tidak membuatnya setress,menjatuhkan dengan cara yang praktis dan tidak menyebabkan hewan tersiksa.  Beberapa contoh hal yang tidak berlaku baik terhadap sembelihan antara lain:
    • Menyembelih hewan di tempat yang terlihat oleh hewan yang masih hidup
    • Menakut-nakuti hewan dengan golok yang akan dipergunakan menyembelih, 
    • Memotong-motong daging di dekat hewan udhhiyah yang masih hidup, 
    • Menjatuhkan hewan dengan cara yang terkesan asal dan menyiksa, 
    • Menyeret tubuh hewan yang telah dijatuhkan ke tempat penyembelihan, semua itu akan menyebabkan hewan setress sebelum disembelih. 
     Karenanya, selayaknya kita berlaku baik terhadap hewan sembelihan, antara lain dengan cara
    • Menyembelih sapi dan kambing di bagian atas leher, 
    • Membaringkan hewan di atas lambung kirinya, lalu 
    • Meletakkan kaki kanan di atas leher hewan tersebut, kemudian memegang kepalanya dan menyembelihnya dengan membaca,
    بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
    “Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar.”
    Atau membaca, 
    بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ. اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي. اَللّهُمَّ هذَا عَنِّي وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِي
    “Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar. Ya Allah, terimalah dariku. Ya Allah, (kurban) ini dariku dan semua anggota keluargaku.”
    Anas bin Malik a berkata,

    ضَحَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ. ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
    “Nabi berkorban dua ekor kibas yang bagus lagi bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Beliau membaca basmalah dan takbir, dan meletakkan kakinya di atas leher kibas itu.” (Muttafaqun 'alaih)
    Berdasarkan hadits ini pula, seseorang disunnahkan untuk menyembelih sendiri hewan udhhiyahnya. Jika ia tidak bisa menyembelih, hendaklah ia menyaksikan (penyembelihannya). Hendaknya menyebutkan dari siapa hewan kurban itu saat akan menyembelih. Sembelihan dihukumi halal apabila pisau sudah memutuskan hulqum, tenggorokan, dan dua urat leher atau salah satu dari keduanya, serta mengalirkan darah. 

    Peruntukan Daging Hewan Udhhiyah 

    Berkurban mempunyai keutamaan yang luar biasa, karena merupakan bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada orang-orang fakir, dan menyambung tali silaturrahim serta hubungan antar tetangga. 

    Peruntukan daging hewan udhhiyah disunnahkan membagi daging hewan kurban menjadi tiga bagian, sebagian untuk dimakan, untuk dihadiahkan dan sebagaian lagi untuk disedekahkan kepada orang-orang fakir. Pembagian tidak harus sama antara satu dengan yang lain, yang terpenting adalah tercapainya maslahat bagi umat dan tidak menimbulkan fitnah. 

    Dilarang memberikan upah kepada tukang jagal menggunakan bagian dari hewan udhhiyah, baik kepala, kulit ataupun dagingnya. Hendaknya upah diambilkan dari pemilik hewan udhhiyah, sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib  

    أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
    “Rasulullah menyuruhku untuk mengurusi unta (udhhiyah)nya. Beliau juga menyuruhku agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan tulangnya. Dan Rasulullah melarangku memberikan bagian dari hewan udhhiyah itu kepada tukang jagal. Akan tetapi kami memberinya upah dari harta kami.” (Muttafaq alaih)
    Para ulama berbeda pendapat memahami hadits ini; sebagian ulama menyimpulkan bahwa berdasarkan hadits ini, tukang jagal sama sekali tidak boleh diberi daging hewan udhhiyah, baik sebagai upah maupun sebagai sedekah. Karena larangan dalam hadits ini bersifat mutlaq. Demikian pendapat Al-Qurthubi. Hadits ini juga dijadikan sebagai dalil larangan menjual bagian dari hewan udhhiyah. (Fathul Bari: 5/404)

    Adapula ulama yang merinci; Imam An-Nawawi berkata, “Tidak diperbolehkan memberikan bagian dari tubuh hewan udhhiyah kepada jagal sebagai upah karena jasanya sebagai jagal. Sebab mengupah tukang jagal dengan bagian dari hewan udhhiyah atas pekerjaannya sama dengan jual-beli, padahal menjual bagian dari hewan udhhiyah adalah dilarang. Inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyah), dan demikianlah pendapat Atha’, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim: 4/453) 

    Menjelaskan hadits di atas Al-Baghawi berkata, “Yang dilarang adalah mengupah tukang jagal menggunakan bagian dari hewan udhhiyah, adapun jika jagal sudah diberi upah (dari sumber yang lain), kemudian dia juga diberi bagian daging sebagai sedekah, maka diperbolehkan. (Fathul Bari: 5/404)

    Menjual Kulit 

    Menjual kulit hewan udhhiyah termasuk dilarang oleh As-Sunnah. Sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib beliau menceritakan bahwa,

    بَعَثَنِى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فَقُمْتُ عَلَى الْبُدْنِ ، فَأَمَرَنِى فَقَسَمْتُ لُحُومَهَا ، ثُمَّ أَمَرَنِى فَقَسَمْتُ جِلاَلَهَا وَجُلُودَهَا

    ”Aku diutus untuk mengurus unta udhhiyah milik Rasulullah n. Dan beliau memerintahkan kepadaku untuk membagi dagingnya, kemudian beliau menyuruhku lagi untuk membagikan jeroan dan kulitnya.” (Muttafaq alaih)
    Lebih jelas lagi dalam hadits Qatadah bin Nu’man bahwa Rasulullah n bersabda, 


    لَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْأَضَاحِيِّ وَالْهَدْيِ وَتَصَدَّقُوا وَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوا وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُومِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
    “Janganlah kalian menjual daging hewan udhhiyah, dan hadyu. Tapi sedekahkanlah, makanlah, dan manfaatkanlah kulitnya dan janganlah kalian menjualnya. Dan jika kalian diberi makan dagingnya, maka makanlah jika kalian mau.” (HR. Ahmad)
    Memang ada riwayat dari Ibnu Mudzir dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq yang menyebutkan bahwa mereka berpendapat, tidak mengapa menjual kulitnya lalu menyedekahkan uang hasil penjualannya.
    Sedangkan Abu Tsaur memberi rukhshah untuk menjual kulitnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berpendapat, tidak mengapa menjual kulit hewan udhhiyah lalu hasilnya dipergunakan untuk membeli ember, parang atau kampak dan timbangan dan semacamnya untuk perlengkapan umum. Namun pendapat ini menyelisihi As-Sunnah” (Syarh Shahih Muslim: 4/453)

    Panitia Udhhiyah

    Diperbolehkan mewakilkan penyembelihan dan pengerjaan hewan udhhiyah kepada orang lain/panitia, sebagaimana hadits Ali di atas. Pertanyaannya, bolehkan panitia yang mengurusi hewan udhhiyah mendapatkan bagian lebih banyak daripada penerima pada umumnya karena mereka bertindak sebagai panitia? 

    Jawab, panitia hanya berposisi sebagai wakil yang membantu pemilik hewan udhhiyah, sehingga hak pantia sebatas sebagai ’pembantu’ bukan pemilik. Maka pantia tidak diperbolehkan mengambil imbalan dari berupa daging hewan udhhiyah karena jasanya tersebut. Jika panitia merasa berhak mendapatkan bagian lebih, atau mereka diberi bagian lebih disebabkan karena mereka berstatus sebagai panitia, maka kelebihan bagiannya dihukumi sebagai ujrah, alias upah atas jasanya mengurusi hewan udhhiyah tersebut, dan hal itu dilarang oleh syariat, sebagaimana dilarangnya mengupah tukang jagal dengan bagian dari hewan udhhiyah.

    Larangan bagi Orang yang Akan Berudhhiyah

    Bagi orang ingin berkurban, diharamkan memotong rambut, kulit, atau kukunya sejak sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Jika ia melanggar salahsatu dari hal itu, maka ia berkewajiban meminta ampun kepada Allah l, dan tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
    Dari Ummu Salamah r.a bahwa Nabi n bersabda,
    اِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.
    “Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama Bulan Dzulhijjah), dan seseorang darimu ingin berkurban, maka janganlah ia memotong sedikitpun dari rambut maupun kulitnya.” (HR. Muslim)

berbagai sumber
Comments
0 Comments