Oleh: Pizaro Novelan Tauhidi
SUATU ketika dalam diskusi di kantor Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), DR. Adian Husaini salah seorang cendekiawan muslim Indonesia menceritakan lawatannya selama 22 hari di Inggris. Ia menjelaskan bagaimana geliat perkembangan liberalisme dan keilmuan di Negeri Lady Diana tersebut. Namun yang menarik adalah ketika beliau sampai pada pengalaman bercengkarama dengan warga Yahudi dan Sinagog-sinagog yang ada disana.
DR. Adian menceritakan bagaimana orang Yahudi begitu serius mengkaji pemikiran. Mereka rela menetap puluhan jam di perpustakaan hanya untuk belajar ilmu pengetahuan. Mereka makan di perpus, minum di perpus, dan mandi pun juga disana. Begitu kenang DR. Adian.
Jika kita meneliti lebih jauh, sebenarnya kecintaan Yahudi terhadap ilmu menjadi wajar untuk mereka lakukan. Fakta bahwa Yahudi adalah bangsa minoritas - dan memiliki sejarah tertindas - membuat mereka tidak berbuat banyak selain mempertahankan diri mereka. Mulai dari memperbanyak keturunan, bergerak dalam bidang ekonomi, sampai pada satu tahapan melemahkan pemikiran kelompok-kelompok di sekitar mereka. Namun cara itu tidak akan dapat dilakukan tanpa proses internalisasi ajaran Yahudi betul-betul menyatu terhadap generasi mereka.
Proses internalisasi itu setidaknya dimulai dari bagaimana mereka mempelajari kitab-kitab Yahudi seperti taurat, talmud, mishnah, siddur, dan lain sebagainya. Tiap hari-khususnya hari sabtu- mereka disibukkan dengan mendaras teks-teks Yahudi. Pendidikan ini biasanya dipimpin oleh seorang rabbi yang sudah menguasai teologi Yahudi secara baik.
Satu hal penting untuk dikuasai Yahudi adalah bahasa. Rahel Halabe, seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi pernah menulis sebuah buku pengantar bahasa Ibrani berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Menariknya, mayor pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.
Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe beralasan, bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, tidak saja semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani adalah representasi kultur atau budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Yahudi. Halabe kemudian mendelegasikan tulisan Ibrani modern dalam metode pendidikannya. Hal ini tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur modern Ibrani, tetapi juga untuk mendukung studi mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.
“Introducing young students to modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature, but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions,” jelasnya.
Akhirnya ketika semua proses itu telah usai, pada gilirannya, Yahudi pun akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berupa generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya yang lainnya.
“In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions. A rich program offering both past and present will help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative of their heritage and culture.”
Dan ketika orang-orang Yahudi betul-betul menguasai konsep ajaran agamanya, barulah mereka akan lebih serius “menjajah” ajaran agama lain. Hal ini betul-betul terjadi tak lama setelah Yahudi berhasil melakukan invasi ke Palestina yang kemudian memunculkan Israel sebagai negara mereka.
Salah satu contoh kasus untuk mewakili kajian ini adalah dengan berdirinya Arabic and Islamic Studies di Hebrew University of Jerusalem atau bisa disingkat sebagai jurusan Studi Islam adan Arab. Dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi, Herry Nurdi mengatakan bahwa Kajian Islam di Hebrew University sendiri digagas bersamaan dengan keberhasilan zionisme merampas tanah Palestina. Mereka menilai cara menguasai Palestina sebagai representasi islam dengan mengenali agama orang Palestina itu sendiri, yakni Islam.
Bisa dikata, Kajian tentang Islam dan Arab sendiri adalah salah satu kajian tertua di Hebrew University of Jerusalem yang mulanya bernama the School of oriental studies. Namun meski didirikan hanya oleh lima orang Yahudi, jurusan ini kemudian berkembang menjadi jurusan favorit di kampus tersebut. Dan kini tercatat sudah memiliki 32 Profesor dalam bidang Sastra Arab beserta Sejarah Peradaban Islam.
Dan dari Universitas tua di Israel inilah lahir para cendekiawan-cendekiawan Yahudi yang mempromosikan ajaran liberalisme dan bertindak sebagai orientalisme yang sejalan dengan misi kolonialisme, yakni menjajah Islam.
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?(QS al-Baqarah [2]: 87).
KEBENCIAN kaum Yahudi terhadap umat Islam selalu menjadi sebuah perbincangan serius di dalam Al Qur’an. Allah berkali-kali menjelaskan sifat kaum ini yang sungguh tidak rela ketika Islam tumbuh menjadi agama yang benar. Salah satu misi tersebut kini banyak diemban oleh para orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah Abraham Geiger (1810-1874).
Bisa dikata Geiger adalah orang yang pertama kali mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu apa judul essainya hingga kemudian memenangkan kompetisi masuk Universitas Bonn tahun 1832? Sangat provokatif, yakni “Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini langsung diseleksi Professor Georg B. F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”. Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang identik dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut. Geiger juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi lainnya bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk menyatakan peran Bahasa Yahudi dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran(1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld (2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan menuding bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi. Pandangan ini banyak ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang Yahudi Jerrnan kelahiran Prussia, juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung, Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Sulit dipercaya, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia di atas 50 tahun. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyaknya nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill (The disfigurement of many Biblical narnes and words mentioned in the Qur’an is due to misreadings in his own notes rnade with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan Hirschfeld sudah jauh-jauh hari dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman, “Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena ia adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal muasal kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta merta bahwa Al Qur’an berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing tersebut sudah terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam konsep pra-Islam, berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan, mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah, menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencoba diselarsakan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam Yahudi menjadi gugur dengan sendirinya.
SEORANG psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang memiliki anak berusia tiga tahun.
Rupanya anak ini memiliki kebiasaan tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan, juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya. Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal. “Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog muslim kepada sang ibu.
Mendengar cerita ini, si psikolog tadi tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.
Sigmund Freud (1856-1938) adalah psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya makbul.
Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.
Kata akademisi yang bulan lalu mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak” sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR. Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.
Rupanya inflitrasi teori dari seorang pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.
Menurut Freud, anak perempuan pada usia tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria. Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi, anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.
Tidak hanya itu, Freud juga menguliti kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan Kompleks Oedipus.
Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide sinting Freud.
Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya.
Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya. Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami problem-problem psikologis.
Inilah gambaran orang yang tidak memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya. Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)”
Saya bertemu dengan salah seorang kandidat Doktor Filsafat di Belgorad State University. Beliau menjelaskan pengalaman-pengalaman uniknnya selama tinggal di Rusia. Khususnya pandangannya terhadap seks bebas di Negeri Beruang Merah tersebut.
Pria 40 tahunan itu mengatakan pada saya bahwa Rusia untuk urusan seks tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karena sepanjang hubungan itu dilakukan suka sama suka, maka tidak akan menuai masalah. Problem baru terjadi ketika cinta dilakukan dengan adanya unsur pemaksaan. “Seperti pemerkosaan,” katanya.
Makanya tidak heran meski ada lembaga pernikahan, tapi gelombang perzinahan betul-betul massif di Rusia. Rusia bukan negeri tanpa agama, tapi mereka bukanlah negara yang menjadikan agama sebagai sumber undang-undang. Kristen sendiri di Rusia bisa jadi mati layaknya di negara Eropa pada umumnya.
Mendengar pernyataan dari Kandidat Doktor Filsafat di Rusia itu, kita tentu ingat nama seorang Tokoh Yahudi bernama Lawrence Kohlberg (1927-1987). Bagi anda yang aktif dalam bidang pendidikan maupun psikologi tentu tidak asing mendengar nama professor di Amerika Serikat tersebut. Ia adalah tokoh kunci di balik maraknya program pendidikan Karaktker.
Perspektif Karakter dalam terminologi Kohlberg memang sangat bermasalah. Bagi pendidikan karakter, anak yang melakukan hubungan seks tidak tergolong dosa sepanjang itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Artinya, jika seorang perempuan hamil karena hubungan haram tersebut, maka sang pacar siap untuk menjadi ayahnya. Jadi Kohlberg mau mengatakan bahwa yang jadi masalah bukan hubungan zina-nya, tapi bentuk tanggung jawabnya. Dalam pemahaman Islam, tentu ini bermasalah.
Islam mengajarkan siapapun yang melakukan perzinahan tanpa didahului hubungan pernikahan, maka dia tergolong dosa besar. Terlepas ia mau bertanggungjawab atau tidak. Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân (belum menikah), maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. [An-Nûr/24:2].
Sedangkan pelaku perzinahan yang sudah menikah akan dikenakan hukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”.
Kohlberg sendiri memilki rekam jejak dalam nuansa zionis yang kuat. Ketika perang dunia kedua berakhir tahun 1945, Kohlberg melakukan perjalanan ke Eropa untuk menuntaskan misi pembentukan Negara Israel raya. Dia kemudian mengajukan diri untuk membantu menyelundupkan pengungsi Yahudi keluar dari Eropa dengan melalui blokade Inggris ke Palestina. Atas keberaniannya itu, Kohlberg sempat ditangkap dan ditahan di Siprus. Sebab pengiriman bangsa Yahudi ke Palestina termasuk kejahatan Internasional kala itu. Namun barisan militer Yahudi, Haganah, berhasil menyelamatkan Tokoh Pendidikan Karakter ini. Kohlberg pun berhasil bebas dan kembali ke Amerika pada tahun 1948.
Kohlberg sendiri menemukan ‘ilham’ dalam merancang pendidikan karakter dari Sistem Kibbutz di Israel. Sistem Kibbutz adalah sistem yang lebih mirip sistem dalam konsep komunisme. Mengenai hal ini, Karl Marx pernah berkata bahwa “ideologi dari para pendiri Kibbutz sangat dipengaruhi oleh sosialisme dan zionisme. Dasar pendiriannya dipengaruhi oleh dua dasar ideologi ini: pengalaman pahit dengan antisemitisme yag terjadi di diaspora. Mereka juga dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan patriakhalis yang diwarisi dari Eropa Timur. Dari dasar inilah para pendiri Kibbutz mempraktikkan di dalam pemukiman-pemukiman mereka. Mereka menganut sistem tidak ada kelas dalam masyarakatnya. Masing-masing dari anggotanya ‘memberikan apa bisa dia perbuat’ dan ‘akan mendapatkan akan apa yang dia perlukan” (Wikipedia)
Memang pada intinya sistem Kibbutz ini sangat kental mewarnai konsep pendidikan Karakter bahwa baik-buruk suatu nilai ditentukan dalam sebuah konsep yang disepakati manusia secara bersama-sama. Jadi Hukum Tuhan tidak berlaku. Persis seperti negara komunis.
Oleh karena itu, sangat wajar sekali jika Profesor Dadang Hawari, dalam dialog dengan saya beberapa waktu lalu, mengatakan betapa hancurnya Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Karena perzinahan, homoseks, lesbianisme menjamur dimana-mana atas nama kebebasan melaksanakan Hak Asasi Manusia. Ya hak asasi untuk bebas dari aturan Tuhan.
“Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang “The Feminine Mystique“. Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Di situ, Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan ia digadang-gadang sebagai pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik,
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry Makow dalam tulisannya Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.
Walhasil, Feminisme adalah penipuan besar-besaran yang dilakukan terhadap masyarakat oleh elit pemerintahnya. Hal itu dirancang untuk memperlemah struktur sosial dan budaya Amerika dalam rangka mengenalkan New World Order sebagai sebuah fasisme yang ramah. Para pendukungnya adalah orang-orang berlagak suci yang menjadi kaya dan berpengaruh darinya. Mereka meliputi golongan pendusta dan timpang moral yang bekerja untuk elit dalam beragam kapasitas: pemerintahan, pendidikan, dan media. Para penyamar ini harus dibongkar dan dicemooh.
Besar, berbadan kokoh, dengan rerimbunan pohon mengelilinginya. Itulah gambaran Universitas tertua di Israel: Hebrew University. Ia didirikan di tanah haram. Tanah sah milik bangsa Palestina yang terang-terangan dicuri demi Israel Raya. Tak heran dari kampus tua ini lahir bejibun aktor pendukung Zionisme Israel. Kurikulum pun dirancang sedemikian rupa demi menelurkan sederetan orientalis yang angkuh. Ada yang merusak, ada pula yang merombak. Sasarannya adalah tatanan dunia Islam; dari ilmu hingga budaya.
Salah satu nama yang jarang dikenal atas keberhasilan Hebrew dalam merusak studi Islam adalah Joseph Horovits. Judah Magnes, Orientalis Yahudi keturunan Jerman yang merintis lahirnya Islamic Studies di Hebrew ini melihat bakat intelektualitas Horovits yang mampu menggabungkan Studi Islam dan Yahudi secara teologis. Atas pengaruh Judah Magnes pula, Horovits terpilh menjadi dewan pimpinan di universitas yang berdiri tahun 1918 tersebut.
Herry Nurdi dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi menjelaskan bahwa Horovits sejatinya adalah seorang Yahudi ortodoks dari seorang rabbi di Frankurt. Karirnya dalam dunia orientalisme sebenarnya dimulai sepanjang tahun 1907 hingga 1914. Kala itu ia menjadi direktur dalam proyek Islamic Inscription Departement di bawah pemerintahan India. Kemampuannya menjadi orientalis terus terasah hingga dalam perjalanannya ke Frankfurt ia mengirim memorandum kepada Judah Magnes agar segera membentuk Institute of Arabic and Islamic Studies; ya insitut yang kelak akan menjadi Universitas yang disegani di dunia Arab; Hebrew.
Horovits juga menyarankan agar pimpinan insitut sebaiknya dimpimpin oleh Sarjana Yahudi dari Amerika atau Eropa dan berharap beberapa pelajaran yang dikaji diantaranya tafsir, hadits, fiqih, dan sejarah Islam. Horovits kemudian menyertakan delapan daftar nama Yahudi orientalis yang ia sarankan untuk memimpin proyek ini, termasuk dirinya sendiri.
Pada tahun 1926, Judah Magnes akhirnya menyetujui Horovits sebagai Direktur yang dapat mengendalikan operasi institut kajian Islam ini dari jauh, di Eropa tepatnya. Dan pada 22 April 1926, berlangsung pertemuan pertama guru-guru Yahudi membahas rencana besar ini di Jerusalem. Mereka di antaranya adalah Horovits, Magnes, Billig, Mayer, Baneth, dan Ginsberg. Di Jerusalem itulah mereka mulai menyusun dan merancang rencana kerja penelitian. Billig ditugaskan untuk mengkoordinasi rencana-rencana penelitian dibantu dua orang asistennya. Dan Horovits ditugaskan untuk melakukan kajian sastra klasik Arab.
Salah satu proyek ambisius Horovits adalah menerbitkan Ansab Al-Ashraf of Baladhuri, sebuah proyek yang disebut Horovits sebagai sebuah metode memahami Al Qur’an. Tapi hingga kini, proyek prestisius ini tak kunjung usai. Dari 10 jilid yang direncanakan, baru rampung dua jilid saja.
Salah satu murid Horovits yang kemudian “menjadi” atas tempaannya adalah SD. Goiten. Ia langsung datang ke Israel dari Berlin pada tahun 1928. Di Israel, Goiten mengajar ilmu-ilmu Bible dan kelak menjadi salah satu orientalis Yahudi yang sangat proaktif mengeluarkan karya-karyanya yang cukup sengit menyerang Islam.
Sejak awal Hebrew University memang mencoba untuk membahas Islam dalam dua tema besar. Pertama, kekayaan peradaban Islam; terutama pada zaman pertengahan dan kedua menyelami bahasa-bahasa Arab klasik yang nantinya akan digunakan sebagai senjata untuk menyerang sumber-sumber Islam seperti Al Qur’an dan ajaran di dalamnya. Semua ini harus mereka pelajari dengan tujuan menaklukan dunia Islam demi kejayaan Israel Raya.
Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat, juga menyiratkan hal senada. Ia mengemukakan ada dua motivasi para orientalisme yang sangat terkait erat pada misi politis terhadap umat Islam.
Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam.Kedua, memperkuat semangat Perang Salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah dan kemanusiaan. Ya nyanyian lazim para pelantun Zionisme dengan cita-cita membangun dunia tanpa agama dan hanya menyisakan Yahudi sebagai nilai yang pantas dianut. Sebagaimana termaktub dalam protocol of Zion pasal 14.
“Diupayakan di dunia ini hanya satu agama, yaitu agama Yahudi (inti ajaran agama Yahudi adalah pemujaan materi atau paham materialisme, pen). Oleh karena itu segala keyakinan lainnya harus dikikis habis. Kalau dilihat di masa kini, banyak orang yang menyimpang dari agama. Pada hakekatnya kondisi seperti itulah yang menguntungkan Yahudi. Di masa akan datang masyarakat dunia akan berduyun-duyun memasuki agama Musa yang menundukkan mereka berada di bawah telapak kaki Yahudi. Pada saat itu, suara kritikan hanya tertuju kepada agama selain Yahudi. Orang tak akan berani menelanjangi agama kita. Karena rahasia yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi sangat dalam, dan ajarannya selalu diperjuangkan oleh pendeta-pendeta kita. Segala karya tulis yang mengkritik agama kita tidak diperkenankan terbit dan tersebar di masyarakat. Kita terus berjuang menyebar-luaskan tulisan sastra picisan di masyarakat negara adidaya.” (Pizar0/Habis)
Sumber: islampos.com