Sampai saat ini pun masih terus ada wanita-wanita yang rela menyakiti dirinya demi tampil cantik. Naomi Wolf, penulis buku Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Wanita, menuliskan dalam bukunya itu tentang banyaknya kaum wanita di Amerika, khususnya remaja, yang menderita Bulimia dan Aneroxia sebagai korban “mitos kecantikan” yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat lewat berbagai media. Anorexia Bulimia adalah gangguan makan yang dapat berdampak besar pada tubuh. Anorexia Bulimia dapat menyebabkan cedera pada esofagus (tabung yang menghubungkan mulut dan lambung) karena siklus berulang-ulang muntah. Pemujaan terhadap berat badan ini membuat banyak wanita menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat hingga membuat mereka fobia terhadap makanan.
Demi mengejar “citra kecantikan” ini, ada sebagian wanita yang sampai merelakan tubuhnya menjadi bahan kreativitas para dokter di atas meja operasi plastik dan bedah kosmetik. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum wanita menimbulkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh wanita. Kaum wanita tidak memiliki kebebasan untuk merasa nyaman dan jujur dengan tubuhnya. Meskipun gerakan feminisme pada awal 1970 berhasil meraih hak-hak hukum dan reproduksi bagi wanita, juga untuk mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi ternyata kaum wanita masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Mitos kecantikan selama ini telah digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum wanita dengan menyebut sebagai “citra kecantikan wanita”. Setiap hari kaum wanita diyakinkan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum wanita dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Sebuah pemujaan yang pada akhirnya menyakiti fisik wanita sekaligus menyerang psikisnya.
Setelah melalui kesakitan dan penderitaan demi menjadi “cantik”, apakah masalah mereka selesai? Ternyata tidak. Pada bab terakhir bukunya, Naomi Wolf menuliskan, “Setelah melampaui mitos kecantikan, wanita tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Wanita akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Wanita “cantik” tetap tidak menang di atas mitos kecantikan”.
Yah, berbicara tentang kecantikan wanita sepertinya tidak akan pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini. Ketika membahas kecantikan wanita, satu pertanyaan yang muncul adalah, untuk siapa kecantikan wanita dan menurut siapa? Wanita selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang wanita diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan sehingga wanita hanya punya dua pilihan, memiliki pikiran atau memiliki kecantikan. Mau menjadi wanita pintar tapi tidak cantik atau wanita cantik tapi bodoh. Kondisi ini seperti membuat kotak tersendiri. Hanya beberapa wanita saja yang tetap sadar dan berupaya keluar dari kotak yang telah dibangun untuk mengurung mereka. Pada para wanita inilah makhluk di dunia berlutut dalam ketakutan dan kekaguman. Hanya cinta sejati yang dapat menyamakan kedudukan mereka dengan kesempurnaan ini.
Seperti Apakah Kecantikan Hakiki?
Melihat realita bahwa standar cantik ternyata berbeda-beda di setiap wilayah dan akan berubah-ubah seiring waktu, haruskah kita mengikuti trend cantik? Masihkah ingin mengejar “kecantikan” sedangkan sulit menentukan standar “keindahan objektif” ketika nilai-nilai keindahan terus berubah? Kalau tubuh kita sakit, kita wajib mengobati tubuh kita. Kalau tubuh kita kotor, bau, dan berkeringat, wajib dibersihkan karena kebersihan adalah ruh kecantikan. Akan tetapi, kalau kita dianggap tidak cantik, haruskah wajah dan tubuh kita dipermak? Apalagi kalau proses menjadi cantik itu kemudian malah menyiksa diri kita. Jangan sampai kita mengorbankan kesehatan demi “keindahan” yang mungkin dianggap membantu menarik hati lawan jenis.
Seberapa pentingkah kecantikan fisik ini dibandingkan dengan faktor lainnya? Jangan sampai kecantikan fisik ini membuat kita menafikkan sumber kecantikan lain yang kita miliki, yaitu kecantikan jiwa dan hati serta kecantikan akal dan pikiran.
Mengenai hal ini, Andrew Ho, juri sebuah ajang pemilihan ratu kecantikan Miss Chinese Cosmo Pageant 2005 mengatakan, “Penampilan memang penting agar seorang wanita terlihat rapi, cantik, dan menarik. Namun, ada karakteristik lain yang lebih penting, yaitu selalu berpikiran positif, memiliki cinta dan kasih sayang baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang sekitar, memiliki kedamaian spiritual untuk menemukan harapan baru, optimisme, dan kebahagiaan hakiki. Kecantikan yang berasal dari kemurnian hati dan jiwa lebih mudah menjadi pusat kekaguman banyak orang. Semakin banyak cinta yang Anda pancarkan tanpa syarat, semakin tinggi aura kecantikan yang Anda miliki.”
Hal ini selaras dengan pernyataan Ibnu Abbas, “Sesungguhnya amal kebaikan itu akan memancarkan cahaya di dalam hati, membersitkan sinar pada wajah, kekuatan pada tubuh, kelimpahan dalam rezeki, dan menumbuhkan rasa cinta di hati manusia kepadanya. Sesungguhnya, amal kejahatan itu akan menggelapkan hati, menyuramkan wajah, melemahkan badan, mengurangi rezeki, dan menimbulkan rasa benci di hati manusia kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Rasulullah Saw. pun pernah menyebutkan pentingnya kecantikan hati dalam sabdanya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik kalian dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati kalian.” (HR Muslim)
Olek karena itulah, Islam memandang puncak kecantikan wanita berbanding lurus dengan tingkat ketundukan dan kepasrahannya kepada Allah Swt. karena kecantikan hakiki dan ideal adalah kecantikan yang bersumber pada dimensi ilahiah (hati). Bahkan, hati inilah yang akan menjadi penentu keselamatan seorang hamba ketika menghadap Allah kelak, seperti firman Allah Swt. berikut ini.
“(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-syuaraa, 26:88-89)
Semua ini menunjukkan keunggulan kecantikan jiwa dan hati dibanding kecantikan lain. Mengapa demikian? Karena inilah kecantikan yang hakiki. Kecantikan jiwa dan hati akan abadi dan tidak akan lapuk dimakan usia. Kecantikan jiwa tidak hanya dapat dilihat dengan mata kepala kita melalui pancaran keikhlasan jiwa pemiliknya, tetapi juga dapat dirasakan dengan mata hati kita.
Sedangkan kecantikan akal dan pikiran akan membuat pemiliknya cerdas, kreatif, inovatif, mampu mengaplikasikan pemikiran dengan benar, bijak dalam mengambil keputusan, dan tepat dalam bertindak.
Idealnya, kita bisa memiliki ketiga kecantikan, baik kecantikan jiwa, akal, dan fisik. Namun, kalau toh tidak bisa memiliki ketiganya, setidaknya kita bisa mengusahakan untuk memiliki dua kecantikan, yaitu kecantikan jiwa dan akal. Seandainya kedua kecantikan ini pun masih sulit kita miliki, berusahalah menjadi wanita yang dipenuhi dengan kecantikan hati dan jiwa.
Namun, realita yang kita hadapi sekarang terlanjur menuntut wanita untuk cantik sepenuhnya secara fisik. Propaganda media telah menempatkan kata “cantik” pada tempat yang salah sehingga banyak yang melalaikan hakikat cantik yang sesungguhnya. Akibatnya, kaum wanita kini disibukkan dengan memoles kulit luar tanpa peduli pada hati mereka yang kian gersang.
Seperti yang terjadi dengan pasangan Faris dan Farah. Bisa jadi mereka adalah korban propaganda citra kecantikan yang banyak didengungkan oleh berbagai media bahwa cantik berarti bertubuh langsing dan seksi. Faris pun merasa malu ketika memiliki istri yang bertubuh subur, apalagi kalau harus mengajak istrinya pergi bersama ke acara-acara yang melibatkan rekan-rekan kantornya. Farah kemudian menjadi korban yang menderita baik lahir maupun batin. Secara fisik dia terus melakukan upaya diet demi mencapai standar langsing dan seksi dambaan suaminya, satu hal yang tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan tersendiri dengan merasakan sakit akibat proses diet ini. Di sisi lain dia menderita pula secara batin dengan dipolygami oleh suaminya.
Istri memang memiliki kewajiban untuk tampil cantik hanya di hadapan suami, bukan di hadapan pria lain. Dia harus bisa mematut diri agar tampil segar dan bersih di depan suami sehingga suami merasa senang dan tidak kehilangan gairahnya terhadap istri. Meski demikian, bukan berarti seorang istri harus habis-habisan mengubah penampilan dengan menyiksa diri, apalagi kalau sampai mengubah ciptaan Allah yang jelas-jelas dilarang oleh Allah.
Di sinilah pentingnya memahami hakikat kecantikan. Kesadaran untuk memahami “hakikat kecantikan” yang sesungguhnya bukan hanya harus dimiliki oleh seorang wanita, tetapi juga harus datang dari kaum pria. Kalau wanita ingin menampilkan kecantikan hati dan jiwanya sehingga sibuk menebar kebaikan dan cinta di sekitarnya-yang mungkin kadang melalaikannya untuk mempercantik diri secara fisik-tetapi dari pihak lawan jenis tetap menuntut wanita tampil cantik secara fisik, tentu tidak akan ada titik temu.
Memenuhi dua standar kecantikan sekaligus tidak mudah, meski bukan berarti harus menafikkan salah satunya. Akan tetapi, seharusnya kaum pria pun menyadari untuk melihat wanita bukan hanya sebatas fisik, sehingga kaum wanita dapat berkembang optimal potensi dirinya tanpa dibayang-bayangi dengan tuntutan fisik yang berlebihan.
Biarkan kaum wanita merdeka atas diri dan tubuhnya, bebas menjadi dirinya bukan hanya sebatas fisik. Apalagi banyak tanggung jawab yang diemban kaum wanita selain hanya mempercantik diri secara fisik. Kaum wanita bisa meraih karier terbaik sesuai potensi dirinya, bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, bisa menjadi istri yang setia dan taat kepada suaminya, bahkan menjadi single fighter sekalipun ketika harus menjadi janda, dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan baik untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Wallahua’lam.
*) Tulisan ini saya peroleh dari teman yang dikirim lewat pesan facebook