Orang-orang kerinci yang merantau ke sumatera barat akan membuat orang minang itu terkesima karena begitu lancarnya orang kerinci mengucapkan kata per kata bahasa minang tanpa cacat sedikit pun. Bahasa Kerinci Bukan Bahasa Minang. Pertanyaan pun muncul, kenapa bisa demikian? Disaat masyarakat minang tidak mengerti satu katapun bahasa kerinci, masyarakat kerinci sudah lebih dulu menguasai bahasa minang dan nyaris tanpa beda dengan penutur aslinya sendiri.
Sebagaimana teori, terkenalnya suatu bahasa adalah hasil karya dari penggiatan bahasa yang dilakukan terus menerus oleh para pengguna bahasa yang dimaksud. Sebagai contoh, suatu kata asing yang awalnya hanya digunakan oleh kelompok tertentu, lama kelamaan karena usaha penggiat kata tersebut, maka kata baru itu tidak lagi menjadi asing ditelinga umum sehingga menjadi terkenal dan komunikatif secara umum.
Kerintji Tempo Doeloe
Jika ditilik secara historis, masyarakat minang memiliki tradisi merantau. Mereka bepergian ke segala tempat sehingga tak aneh jika sering kita temukan orang minang di pulau jawa, bali, apalagi pulau sumatera, tempat terbentangnya alam mereka.Bahasa Kerinci Bukan Bahasa Minang. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah kenyataan bahwa dimana pun mereka berada bahasa minang senantiasa mereka bawa dalam tas pikulnya. Sehingga penggunaan bahsa minang tidak stagnant hanya di wilayah sekitar minagkabau saja. Barangkali ini yang patut dicontoh masyarakat-masyarakat lain dari orang minang.
Penggiatan bahasa minang oleh orang-orang minang di daerah lain ini ternyata tak beda dengan sisi mata uang, ada dampak positifnya namun tak sedikit dampak negatifnya. Dampak positif barangkali lebih banyak dirasakan oleh masyarakat minang itu sendiri. Kewajiban mereka mempertahankan adat budaya minang telah terlaksana dengan baik walaupun baru sebatas mempertahankan bahasa.
Namun yang lebih buruk dari itu, dampak negatif dari hal ini sangat terlihat dan terasa di kabupaten kerinci khususnya di daerah sungai penuh. Satu fenomena luar biasa yang baik secara langsung dan tidak langsung mempertaruhkan eksistensi bahasa asli kerinci adalah remaja-remaja kerinci lebih suka menggunakan bahasa minang daripada bahasa milik mereka sendiri.
Hal ini menyebabkan bahasa kerinci yang sudah ada jauh sebelum bahasa minang masuk, tidak lagi menjadi tuan rumah di daerah sendiri. Kenyataan jelas terlihat di pasar-pasar, transaksi jual beli kebanyakan dilakukan dalam bahasa minang. Sebenarnya, walaupun para pedagang memang orang minang, kita sebagai masyarakat kerinci tidak lantas meniru gaya berbahasa mereka.
Bahasa Kerinci Bukan Bahasa Minang. Sudah seharusnyalah mereka mampu menggunakan bahasa kerinci. Contoh lain adalah ketika remaja-remaja khususnya disungai penuh berkumpul, mereka lebih suka menggunakan bahasa minang walaupun mereka sadar bahwa bapak ibu mereka tidak punya darah minang (asli kerinci). Banyak dari remaja tersebut mengaku bahwa mereka takut dicap wong deso bila kedengaran berbahasa kerinci.
Sementara bila berbahasa minang mereka berasumsi akan dianggap sebagai anak pasar, anak gaul, yang memiliki prestise lebih tinggi. Entah dari mana asal mula mereka dapat berkesimpulan demikian. Yang jelas, eksistensi bahasa kerinci patut dipertanyakan kepada remaja kerinci.
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat antar para peneliti bahasa kerinci. Rivai dalam Haris (2005:130) mengasumsikan bahwa bahasa kerinci adalah dialek bahasa minangkabau. Namun Voorhoove dalam Haris (2005:130) mengatakan bahwa terdapat kekeliruan dalam peta bahasa Esser yang memasukkan kerinci sebagai dialek bahasa minangkabau.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat tersebut, sudah sepatutnyalah masyarakat kerinci terus menggiatkan penggunaan bahasa kerinci, tak hanya di daerah kerinci saja namun juga mempublikasikannya ke daerah-daerah lain sehingga semakin banyak para ahli bahasa yang akan tertarik menggali potensi bahasa kerinci.
Sebagaimana teori, terkenalnya suatu bahasa adalah hasil karya dari penggiatan bahasa yang dilakukan terus menerus oleh para pengguna bahasa yang dimaksud. Sebagai contoh, suatu kata asing yang awalnya hanya digunakan oleh kelompok tertentu, lama kelamaan karena usaha penggiat kata tersebut, maka kata baru itu tidak lagi menjadi asing ditelinga umum sehingga menjadi terkenal dan komunikatif secara umum.
Kerintji Tempo Doeloe
Jika ditilik secara historis, masyarakat minang memiliki tradisi merantau. Mereka bepergian ke segala tempat sehingga tak aneh jika sering kita temukan orang minang di pulau jawa, bali, apalagi pulau sumatera, tempat terbentangnya alam mereka.Bahasa Kerinci Bukan Bahasa Minang. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah kenyataan bahwa dimana pun mereka berada bahasa minang senantiasa mereka bawa dalam tas pikulnya. Sehingga penggunaan bahsa minang tidak stagnant hanya di wilayah sekitar minagkabau saja. Barangkali ini yang patut dicontoh masyarakat-masyarakat lain dari orang minang.
Penggiatan bahasa minang oleh orang-orang minang di daerah lain ini ternyata tak beda dengan sisi mata uang, ada dampak positifnya namun tak sedikit dampak negatifnya. Dampak positif barangkali lebih banyak dirasakan oleh masyarakat minang itu sendiri. Kewajiban mereka mempertahankan adat budaya minang telah terlaksana dengan baik walaupun baru sebatas mempertahankan bahasa.
Namun yang lebih buruk dari itu, dampak negatif dari hal ini sangat terlihat dan terasa di kabupaten kerinci khususnya di daerah sungai penuh. Satu fenomena luar biasa yang baik secara langsung dan tidak langsung mempertaruhkan eksistensi bahasa asli kerinci adalah remaja-remaja kerinci lebih suka menggunakan bahasa minang daripada bahasa milik mereka sendiri.
Hal ini menyebabkan bahasa kerinci yang sudah ada jauh sebelum bahasa minang masuk, tidak lagi menjadi tuan rumah di daerah sendiri. Kenyataan jelas terlihat di pasar-pasar, transaksi jual beli kebanyakan dilakukan dalam bahasa minang. Sebenarnya, walaupun para pedagang memang orang minang, kita sebagai masyarakat kerinci tidak lantas meniru gaya berbahasa mereka.
Bahasa Kerinci Bukan Bahasa Minang. Sudah seharusnyalah mereka mampu menggunakan bahasa kerinci. Contoh lain adalah ketika remaja-remaja khususnya disungai penuh berkumpul, mereka lebih suka menggunakan bahasa minang walaupun mereka sadar bahwa bapak ibu mereka tidak punya darah minang (asli kerinci). Banyak dari remaja tersebut mengaku bahwa mereka takut dicap wong deso bila kedengaran berbahasa kerinci.
Sementara bila berbahasa minang mereka berasumsi akan dianggap sebagai anak pasar, anak gaul, yang memiliki prestise lebih tinggi. Entah dari mana asal mula mereka dapat berkesimpulan demikian. Yang jelas, eksistensi bahasa kerinci patut dipertanyakan kepada remaja kerinci.
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat antar para peneliti bahasa kerinci. Rivai dalam Haris (2005:130) mengasumsikan bahwa bahasa kerinci adalah dialek bahasa minangkabau. Namun Voorhoove dalam Haris (2005:130) mengatakan bahwa terdapat kekeliruan dalam peta bahasa Esser yang memasukkan kerinci sebagai dialek bahasa minangkabau.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat tersebut, sudah sepatutnyalah masyarakat kerinci terus menggiatkan penggunaan bahasa kerinci, tak hanya di daerah kerinci saja namun juga mempublikasikannya ke daerah-daerah lain sehingga semakin banyak para ahli bahasa yang akan tertarik menggali potensi bahasa kerinci.