Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَنحَجَّ هَذَا الْبَيْتَ ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya” (HR Bukhari 1819)
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan Alloh, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Alloh. Alloh memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu jika mereka meminta kepada Alloh pasti akan Alloh beri” (HR Ibnu Majah no 2893, Al Bushairi mengatakan, ‘Sanadnya hasan’ dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah ketika menjelaskan hadits no 1820).
أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.
“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Alloh catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Alloh turun ke langit dunia lalu Alloh bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Alloh bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR Tabrani dalam Mu’jam Kabir no 13390, dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih al Jami’ no 1360 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 1112).
Demikianlah di antara keutamaan orang yang meraih predikat haji mabrur, suatu yang pasti diinginkan oleh setiap orang mengerjakan ibadah haji. Namun apakah yang dimaksud dengan haji mabrur?
Dalam Tahrir Alfazh at Tanbih hal 152 karya an Nawawi disebutkan, “Menurut penjelasan Syamr dan lainnya mabrur adalah yang tidak tercampuri maksiat. Mabrur diambil dari kata-kata birr yang maknanya adalah ketaatan. Sedangkan al Azhari berpendapat bahwa makna mabrur adalah amal yang diterima (mutaqobbal), diambil dari kata-kata birr yang bermakna semua bentuk kebaikan…. Semua amal shalih bisa disebut birr”.
Dalam Syarh Muslim 5/16, an Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal mabrur adalah yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.
Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’.
Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat.
Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya”.
Pendapat yang dipilih oleh an Nawawi di atas dikomentari oleh Ali al Qori, “Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran dan paling selaras dengan kaedah-kaedah fiqh. Namun meski demikian pendapat ini mengandung ketidakjelasan karena tidak ada satupun yang berani memastikan bahwa dirinya terbebas dari dosa” (al Dzakhirah al Katsirah hal 27, terbitan Maktab Islami dan Dar al ‘Ammar).
Al Qurthubi mengatakan, “Para pakar fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan al Fara’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi. Menurut hemat kami, haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji” (Tafsir al Qurthubi 2/408).
قال الحسن: الحج المبرور هو أن يرجع زاهدا في الدنيا راغبا في الاخرة.
Al Hasan al Bashri berkata, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat” (al Dzakhirah al Katsirah hal 28 dan Tafsir al Qurthubi 4/142 dan 2/408).
عن جابر رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج ؟ قال : إطعام الطعام و طيب الكلام
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur, jawaban beliau, “Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR Hakim no 1778, Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih” dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib no 1094).
Semoga Alloh jadikan para jamaah haji kita sebagai orang-orang yang berhasil menggapai predikat haji mabrur. Untuk itu dibutuhkan kesabaran ekstra saat melaksanakan rangkaian manasik dan kesungguhan untuk memperbaiki diri sepulang pergi haji.
Penulis: Ustadz Aris Munandar, SS