BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau
alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran
dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul
akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan
pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut.
Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika
istinbat hukum. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang
terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum
tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami
sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran.
<span class="fullpost"> BAB II
PEMBAHASAN
Sumber-Sumber Hukum Islam
A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini
dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah
Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut :
Al-Kitab (buku) Al-Qaul (perkataan/ucapan)
Al-Furqan (pembeda benar salah) Ar-Rahmat (karunia)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan) Ar-Ruh (ruh)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat) Kalam (ucapan/firman)
Al-Hukm (peraturan/hukum) Al-Bayan (penerang)
Al-Hikmah (kebijaksanaan) Al-Busyra (kabar gembira)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh) An-Nur (cahaya)
Al-Huda (petunjuk) Al-Basha'ir (pedoman)
At-Tanzil (yang diturunkan) Al-Balagh (penyampaian/kabar)
edangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum
dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah
• Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian
dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk
memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu
bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan
tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini
tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
• Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-
Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran,
An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan
sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Al-Ikhlas, An-Nas dan sebagainya
1Sebagian besar membulatkan jumlahnya menjadi 6666 ayat
3. Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
• Penurunan Al-Qur'an
Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an terjadi secara
berangsur-angsur selama 23 tahun.(2) Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang
turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang
dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada
kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
• Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang
dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
• Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa
orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang
digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau
daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
• Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
1. Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam
perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya
beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab
yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta
kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu
tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit
sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai
dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada
Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian
222 tahun 2 bulan 22 hari
mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya
mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad
SAW.
2. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh
adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-
beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar(3) yang ditulis dengan sebuah
jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan
dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang
dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman
berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di
masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
• Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan
proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam
berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha
manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli
dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama
dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-
Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara
literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-
Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud
yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi(4) atau
arti dan maksud lainnya.
3Menyalin Mushaf yang dipegang Hasfah
4Kiasan
Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi
Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika
memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi
Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus
berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode
analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga
beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan
teologis bahkan corak ilmiah.
4. Adab Terhadap Al-Qur'an
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk
menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan
interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 - 79:
”Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap
Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan
hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat
berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman
mati.
5. Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi
sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-
Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut
adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai
hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab
tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi
kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat
antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita
mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai
kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda
dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan
Kristen.
6. Fungsi dan Peranan al-Qur'an
Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mu'jizat bagi Rasulullah
Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi setiap Muslim dan sebagai korektor dan
penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya, dan bernilai abadi. Sebagai
mu'jizat, Al-Qur'an telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab
di zaman Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya
orang-orang sekarang, dan ( insya Allah) pada masa-masa yang akan datang. Ayat-ayat yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur'an adalah
firman-firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw
yang ummi yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571 - 632 M).
Demikian juga ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang kekuasaan
di Mesir, Negeri Saba'. Tsamud, 'Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-lain
dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah bukan
ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus yang
kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa Romawi, berpecah-belahnya Kristen
dan lain-lain juga menjadi bukti lagi kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah
SWT.(5)
Bahasa Al-qur'an adalah mu'jizat besar sepanjang masa, keindahan bahasa dan
kerapihan susunan katanya tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya.
Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti adalah merupakan ciri dari gaya bahasa Al-
Qur'an. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khattab masuk Islam setelah
mendengar Al-Qur'an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid,
diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari
surat Fushshilat yang dikemukakan Rasulullah sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan
diplomasinya.
5Terdapat disurat 30 ayat 2,3,4 dan surat 5 ayat 14
Bahkan Abu Jahal musuh besar Rasulullah, sampai tidak jadi membunuh Nabi karena
mendengar surat adh-Dhuha yang dibaca Nabi. Tepat apa yang dinyatakan Al-Qur'an, bahwa
sebab seorang tidak menerima kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi adalah salah satu
diantara dua sebab, yaitu :
a. Tidak berpikir dengan jujur dan sungguh-sungguh.
b. Tidak sempat mendengar dan mengetahui Al-Qur'an secara baik.
Oleh Al-Qur'an disebut Al-Maghdhub ( dimurkai Allah ) karena tahu kebenaran tetapi tidak
mau menerima kebenaran itu, dan disebut adh-dhollin ( orang sesat ) karena tidak
menemukan kebenaran itu. Sebagai jaminan bahwa Al-Qur'an itu wahyu Allah, maka Al-
Qur'an sendiri menantang setiap manusia untuk membuat satu surat saja yang senilai dengan
Al-Qur'an (2:23, 24, 17:88). Sebagai pedoman hidup, Al-Qur'an banyak mengemukakan
pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia
dengan Allah dan mahluq lainnya.
Didalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti : beribadah langsung kepada Allah
(2:43,183,184,196,197; 11:114), berkeluarga (4:3, 4,15,19,20,25; 2:221; 24:32; 60:10,11),
bermasyarakat ( 4:58; 49:10,13; 23:52; 8:46; 2:143), berdagang (2:275,276,280; 4:29), utang-
piutang (2:282), kewarisan (2:180; 4:7-12,176; 5:106), pendidikan dan pengajaran (3:159;
4:9,63; 31:13-19; 26:39,40), pidana (2:178; 4:92,93; 5:38; 10:27; 17:33; 26:40), dan aspek-
aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap
tempat dan setiap waktu (7:158; 34:28; 21:107).
Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut dalam
kehidupannya. Dan sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu dipandang
Al-Qur'an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa. Melaksanakannya dinilai ibadah,
memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci, mati karenanya dinilai sebagai mati
syahid, hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian yang tinggi, dan tidak
mau melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasiq, dan kafir.
Sebagai korektor Al-Qur'an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang
dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil, dan lain-lain yang dinilai Al-Qur'an sebagai tidak sesuai
dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu,
hukum-hukum,prinsip-prinsip ketuhanan dan lain sebagainya. Sebagai contoh koreksi-
koreksi yang dikemukakan Al-Qur'an tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Tentang ajaran Trinitas (5:73).
b. Tentang Isa (3:49, 59; 5:72, 75).
c. Tentang penyaliban Nabi Isa (4:157,158).
d. Tentang Nabi Luth (29:28-30; 7:80-84) perhatikan, (Genesis : 19:33-36).
e. Tentang Harun (20:90-94), perhatikan, (keluaran : 37:2-4).
f. Tentang Sulaiman (2:102; 27:15-44), perhatikan (Raja-raja 21:4-5) dll.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
a. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya.
b. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran
tauhid.
c. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya
dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang
mengingkarinya.
d. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah
maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-
Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
• Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan
Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu
Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
• Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
• Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
• Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,
misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
• Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
• Hukum munakahat (pernikahan).
• Hukum faraid (waris).
• Hukum jinayat (pidana).
• Hukum hudud (hukuman).
• Hukum jual-beli dan perjanjian.
• Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
• Hukum makanan dan penyembelihan.
• Hukum aqdiyah (pengadilan).
• Hukum jihad (peperangan).
• Hukum dauliyah (antarbangsa).
B. As-Sunnah / Al-Hadits
1. Dasar Pengertian.
Secara etimologis hadits bisa berarti : Baru, seperti kalimat : " Allah Qadim mustahil
Hadits ". Dekat, seperti : " Haditsul " ahli bil Islam ". Khabar, seperti : "Falya'tu bi haditsin
mitslihi ". Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan
Keizinan Nabi Muhammad saw.(6) Pengertian hadits sebagaimana tersebut diatas adalah
identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam
Al-Qur'an : " Sunnata man qad arsalna " ( al-Isra :77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang
atau peraturan yang tetap berlaku; Cara yang diadakan; Jalan yang telah dijalani;.
Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah berbeda-beda.
Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah tersebut hanyalah
berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.
2. As-Sunnah Sebagai Sumber Nilai.
Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin ) yang kedua
setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Qur'an sebagai sumber hukum,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat
Al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti : Setiap
mu'min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya ( al-Anfal :20, Muhammad :33, an-Nisa :59,
Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,al-Maidah : 92 ). Kepatuhan kepada Rasul
berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80, Ali-Imran :31 ). Orang yang menyalahi
Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, Al-Mujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum
terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. ( an-Nisa':65 ). Kemudian perhatikan
ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20; an-Nisa': 64 dan 69; al-Ahzab: 36
dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan sebagainya.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan
menghadapi kesulitan dalam hal : cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan
umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah. Selain itu juga
akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak,
muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya.
6 Af 'al, Aqwal dan Taqrir
Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Hubungan As-Sunnah dan Al-Qur'an.
Dalam hubungan dengan Al-Qur'an, maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-
Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur'an itu adalah sebagai berikut :
• Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits : " Shallu kama ro-aitumuni ushalli ". ( Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihatku shalat ) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-
Qur'an yang umum, yaitu : " Aqimush- shalah ", ( Kerjakan shalat ). Demikian pula
hadits: " Khudzu anni manasikakum " ( Ambillah dariku perbuatan hajiku ) adalah
tafsir dari ayat Al-Qur'an " Waatimmulhajja " ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
• Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat
pernyataan al-Qur'an. Seperti hadits yang berbunyi : " Shoumu liru'yatihiwafthiru
liru'yatihi " ( Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya )
adalah memperkokoh ayat Al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah : 185.
• Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti
pernyataan Nabi : " Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati ", adalah taudhih ( penjelasan ) terhadap ayat Al-
Qur'an dalam surat at-Taubah : 34 yang berbunyi sebagai berikut : " Dan orang-orang
yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah
maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih ". Pada waktu ayat ini turun
banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka
mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4. Perbedaan Antara Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai Sumber Hukum
Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum
Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
• Al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'I(7) Sedangkan al-Hadits adalah zhanni (
kecuali hadits mutawatir ).
• Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua
hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang
tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri. Disamping ada hadits yang shahih adapula
hadits yang dha,if dan seterusnya.
• Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.
• Apabila Al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila
masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits........
5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits.
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
• Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ).
• Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
• Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H -
akhir abad 1 H ).
• Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
• Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.
• Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad
pada tahun 656 H ).
• Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab
koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).
Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :
• Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang
diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.
• Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu
untuk dituliskan pada waktu itu.
• Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
• Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
• Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan
da'wah yang sangat penting.
7Absolut/kekal
Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan
karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah ke-8 dari
dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan
membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-
hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa'at generasi
tabi'in mencari hadits-hadits itu. Diantara sahabat-sahabat itu ialah :
Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin Umar bin
Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286
buah. Abdullah bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 buah. Aisyah Ummul Mu'minin,
meriwayatkan sebanyak 2210 buah. Jabir bin Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah.
Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi.
Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat
dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh
ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang
sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak
hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu
tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam,
berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai
hadits. Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu
sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah :
" Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka ".
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu
kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi
ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu
Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha
penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan
pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam
ilmu musthalah hadits tersebut.
Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-
seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama
at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah
rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari
kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan
kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.
6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits
A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain :
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang
berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang
berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini
terbagi dua macam :
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh
Imam Bukhari dan Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti
yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan sebagainya.
2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua
macam :
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan
Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam.
Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian
ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi,
ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam
shahehnya.
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh
oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-
Shagir.
B. Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab
hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para
penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.
Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat
munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if ( yang
tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya.
Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali.
Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang
seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-
hadits yang shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab
lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang
ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber
kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama
hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata
kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-
hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang
digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang
ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa
keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi
Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja.
7. Seleksi Hadits
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai
macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan
jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah
pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu :
a. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan
hadits hasan.
b. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha'if /
lemah dan hadits maudhu' / palsu.
Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu :
a. Matan ( materi hadits ).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan
dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak
bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran
Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi
bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an :
1. Hadits yang mengatakan bahwa " Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan
ahli warisnya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wala taziru waziratun wizra
ukhra " yang artinya " Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain " ( al-An'an :
164 ).
2. Hadits yang mengatakan : " Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya
hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya ", adalah bertentangan dengan
firman Allah : " Wa allaisa lil insani illa ma-sa'a ", yang artinya : " Dan seseorang tidak
akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri ".
Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : " Apabila Qur'an dan hadits
bertentangan, maka ambillah Qur'an ".
b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ).
Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan
penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru. Tidak boleh
ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan
pembawa hadits itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima
hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul.
c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) :
Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat :
• Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan
membiasakan dosa.
• Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama
berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat
dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat
memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas. Beberapa langkah praktis dalam
usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah :
1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas.
2. Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ).
Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits
itu shahih atau paling rendah hasan.
Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-
kata :
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun alaihi ).
f. Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja.
g. Diriwayatkan oleh ..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh ..dengan syarat Bukhari atau Muslim.
3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun
2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu
seperti :
• Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan
dan sebagainya.
• Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu,
mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan penilaian
berbeda / bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah :
dahulukan yang mencela sebelum yang memuji ( " Al-jarhu Muqaddamun alat ta'dil " ). Hal
ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa
tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya sesuatu hadits
yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak
demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata dan dishahihkan oleh
Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih (
belum tentu shahih ).
4. Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan
kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma
umum seleksi, seperti yang diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah
para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah
buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para pembawa hadits, seperti
yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya ad-Dhu'afa ( kumpulan orang-
orang yang lemah haditsnya ).
C. Ijtihad
1. Definisi dan Fungsi Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw
pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua
sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka
ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau
berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila
ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala " Adapun dasar dari keharusan
berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59.
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu
mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari
sesuatu ayat atau hadits.
2. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
sebagi berikut :
a Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai
produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah
relatif.
b Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada
masa / tempat yang lain.
c Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa
daripada ajaran Islam.
3. Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode antara lain
sebagai berikut :
1.Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh
al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah
diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh :
Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar
adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang
dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak
dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli
karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-
perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut
surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum
memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi
terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah
saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu
ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan
suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa.
Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab
Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
2. Ijma’
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah
ijtihadiyah. Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-
Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian
jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat
sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena
umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
3. Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar
prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para
ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi(8) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang
diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum.
Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang
sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar
istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
4. Mashalihul Mursalah
Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan
kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan
dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan(9) itu dengan
disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah
mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang
secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.
7Analogi samar-samar
8Kebaikan
BAB III
KESIMPULAN
Dari ketiga sumber hukum islam tersebut tidak terlepas oleh sumber hukum yang
disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, landasannya berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
!"#$%&:”'() *+,-.
/01*”23: 456*!:”/45.768 97” : : 7;<=
:”/;<=768 97” : ;>38!<?@5$!: 4)*7
A<?;< :”;<;<B7CD?E
;<F)8”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:
“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum
dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata:
“Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabiberkata: “Jika tidak terdapat dalam
sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”.
Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.