| Mera Naam Joker: Suku Bangsa Talang Mamak

Rabu, 02 Februari 2011

Suku Bangsa Talang Mamak

Suku Talang Mamak


Suku Talang Mamak tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan ”Suku Tuha” yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri Hulu.

Asal Usul

Dari Pagaruyung

Ada dua versi mengenai keberadaan Suku Talang Mamak ini. Menurut Obdeyn-Asisten Residen Indragiri, Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang terdesak akibat konflik adat dan agama.

Dari Kahyangan (Mitos)

Sedangkan menurut mitos, suku ini merupakan keturunan Adam ke Tiga dari kayangan yang turun ke Bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar). Hal ini terlihat dari ungkapan ”Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sunagi Tunu” itulah manusia pertama di Indragiri bernama patih.


 Lokasi

Suku Talang Mamak sendiri tersebar di kecamatan :
  1. Batang Gansal, Indragiri Hulu, Riau
  2. Batang Cenaku, Indragiri Hulu, Riau
  3. Kelayang, Indragiri Hulu, Riau
  4. Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau
  5. Sumay, Tebo, Jambi : Dusun Semarantihan Desa Suo-suo

Bahasa

Bahasa Talang Mamak (serta Bahasa Sakai) termasuk dialek Bahasa Kerinci (kvr)

Dusun Tuo Datai

Akses

Untuk menuju Dusun Tuo Datai Talang Mamak yang terletak di Hulu Sungai Gansal dan Sungai Melenai Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu di Wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh dapat diakses jalan Darat. Yaitu melalui Siberida (Pekanbaru-Siberida 285 km) dengan menggunakan Mobil untuk menuju jalan bekas HPH. Atau juga melalui Simpang Pendowo sekitar 2,5 km dari desa Keritang, desa yang terletak di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rute sejauh 22 km dari Simpang Pendowo hingga memasuki perbatasan wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) atau juga yang lebih dikenal Jalan Dalex ini, sebaiknya dilakukan dengan sepeda motor ”lelaki” atau mobil bergardan dua.
Selanjutnya, jarak tempuh dari jalan Dalex ke Dusun Tuo Datai sekitar 6 hingga 8 km hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski tidak begitu jauh, namun jangan berharap akan segera sampai. Karena, medan yang diarungi harus ”mendaki gunung melewati lembah sungai mengalir indah.” Jadi, diperlukan stamina jreng untuk menempuh 1 hingga 3 jam perjalanan.

Hasil Kebun

Biasanya pada hari tertentu, Suku Talang Mamak akan turun ke desa terdekat, Keritang atau Siberida. Tujuannya menjual hasil kebun atau hasil hutan yang mereka peroleh untuk dibelikan kebutuhan hidup. ”Tapi, sekarang kami sudah jarang turun. Hasil hutan sudah berkurang. Yang kami andalkan untuk keseharian hidup hanyalah hasil kebun,” jelas Pak Katak atau pak Sidam yang juga menjabat Ketua RT Dusun Tuo Datai.

Penduduk

Saat ini, total penduduk Talang Mamak dari Lubuk Tebrau hingga Melenai berjumlah 265 jiwa. Lima puluh persen jiwa diantaranya, sudah dapat menggunakan suaranya pada pemilihan Presiden dan pemilihan Bupati kemarin.

Agama

Sebagian besar masyarakat Talang Mamak mempercayai kekuatan-kekuatan gaib pada benda-benda yang berada di sekitar (animisme). Beberapa kepala keluarga beralih ke Islam. Mereka mengakui bahwa Islam adalah agama mereka, namun untuk ibadah hanya cukup di lisan saja.

Mata Pencaharian

Secara keseluruhan, mata pencarian mereka adalah berladang, menyadap karet, dan mengambil hasil hutan nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan. Namun, kini Dusun Datai tampak sepi dan banyak rumah yang tidak terawat lagi. ”Sekarang banyak yang meninggalkan rumahnya, bisa jadi mereka sedang membuka kebun baru atau juga pergi mencari Jernang, ” lanjut Pak Katak tentang kondisi penduduknya.

Budaya

Untuk urusan budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh sedikit berbeda dengan Tigabalai-Pusat kebudayaan Talang Mamak. Ini terlihat dari tidak adanya tradisi mengilir dan menyembah raja, serta lunturnya sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup otonom dalam beraktivitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan kepada kepala desa.

Tradisi

Namun begitu, mereka masih kental dengan tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan), Kemantan (Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian), serta Khitanan untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap mendekati usia dewasa. Begitu juga dengan rumah yang masih berbentuk panggung, sebagai ciri khas mereka, misalnya. Bangunan kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas -mulai dari dapur hingga ruang tidur- sehingga, segala barang tergeletak menjadi satu masih kokoh berdiri.

Pengobatan

Meskipun mereka hidup secara tradisional, namun untuk masalah pengobatan bisa diandalkan juga. Hasil Ekspedisi Biota Medika (1998) menunjukkan Suku Talang Mamak mampu memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan mengenali 22 jenis cendawan obat.

Suku Talang Mamak

Sejarah
Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) merupakan suku asli Indragiri, mereka juga menyebut dirinya “Suku Tuha”. Kedua sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu. Ada beberapa versi asal suku Talang Mamak. Menurut Obdeyn-Asisten Residen Indragiri, Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Sedangkan berdasarkan mitos bahwa Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat Pati). Hal ini terlihat dari ungkapan “Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sungai Tunu”. Itulah manusia pertama di Indragiri nan bernama Patih.
Penyebaran
Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu : Kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dan satu kelompok berada di Dusun Semarantihan desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Pada tahun 2000 populasi Talang Mamak diperkirakan ±1341 keluarga atau ±6418 jiwa.

Budaya

Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik sinkritis khusunya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang “Langkah Lama”, yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi Melayu.
Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).
Kebanggaan terhadap kesukuan tersebut tidak lepas dari sejarah kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu di sekitar Sungai Kuantan, Cenaku dan Gangsal. Kepemimpinan Talang Mamak tercermin dari pepatah “Sembilan Batang Gangsal, Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang; Sembilan Batin Cenaku, Sepuluh Jan Anak Talang, Anak Talang Tagas Binting Aduan; beserta ranting cawang, berinduk ke tiga balai, beribu ke Pagaruyung, berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat”. Ini menunjukkan bahwa Talang Mamak mempunyai peranan yang penting dalam struktur Kerajaan Indragiri yang secara politis juga ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan dari Kerajaan Pagaruyung.
kawintm1
Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi “mengilir/menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan hari raya” sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu “ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang” yang artinya tidak berguna dan sia-sia.
Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun.
Prinsip memegang adat sangat kuat bagi mereka dan cenderung menolak budaya lauar, tercermin dari pepatah “biar mati anak asal jangan mati adat”. Kekukuhan memegang adat masih kuat bagi kelompok Tigabalai dan di dalam taman nasional, kecuali di lintas timur karena sudah banyaknya pengaruh dari luar.
Dengan berlakunya UU Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979, mengakibatkan berubahnya struktur pemerintahan desa yang sentralistik dan kurang mengakui kepemimpinan informal. Akhirnya kepemimpinan Talang Mamak terpecah-pecah, untuk posisi patih diduduki 3 orang yang mempunyai pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit diresolusi, mereka saat ini saling curiga.
Pendidikan
Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh berbagai faktor dan kendala. Di dalam taman nasional, wilayahnya tidak terjangkau, sarana prasarana tidak memungkinkan. Di luar taman seperti di Lintas Timur, sekolah baru ada akhir-akhir ini dan kurang diminati sebab pendidikan dirasa tidak dapat memecahkan masalah mereka di samping ekonomi yang subsistem. Di wilayah Tigabalai sebagian besar menolak pendidikan, karena anak-anak mereka yang bersekolah dan mengecap pendidikan akhirnya keluar dari kelompoknya.
Lingkungan dan Ekonomi
Tanah dan hutan bagi Suku Talang Mamak merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Sejak beratus-ratus tahun mereka hidup damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan melakukan perladangan berpindah. Dari dulu mereka berperan dalam penyediaan permintaan pasar dunia. Sejak awal abad ke-19 pencarian hasil hutan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap hasil hutan seperti jernang, jelutung, balam merah/putih, gaharu, rotan. Tetapi abad ke-20 hasil hutan di pasaran lesu atau tidak menentu, namun ada alternatif ekonomi lain yaitu mengadaptasikan perladangan berpindah dengan penanaman karet. Penanaman karet tentunya menjadikan mereka lebih menetap dan sekaligus sebagai alat untuk mempertahankan lahan dan hutannya.
Mereka mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran HPH, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang di Tigabalai di bawah kepemimpinan Patih Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, ia menentang dan menolak segala pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan. Kegigihan dan perjuangan “orang tua si buta huruf ini” diusulkan menjadi nominasi dan memenangkan penghargaan International “WWF International Award for Conservation Merit 1999″ dari tingkat grass root. Beliau juga mengharumkan nama Riau dan Indonesia di bidang konservasi yang diterimanya di Kinabalu Malaysia bersama dua pemenang lainnya dari Malaysia dan India. Pada tahun 2003, Patih Laman mendapatkan penghargaan KALPATARU dari Presiden Republik Indonesia.

Masyarakat Talang Mamak Dalam Taman Nasional

Suku Talang Mamak yang ada di dalam taman nasional secara tradisional masuk dalam kepemimpinan Sembilan Batang Gangsal Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang. Sekitar seratus tahun yang lalu penduduk di wilayah ini masih Talang Mamak, namun dengan masuknya Islam, ada tiga dusun yang penduduknya sudah Melayu, mengalih atau menjadi langkah baru.
Pada tahun 1999 jumlah penduduk di dalam TNBT sebanyak 181 keluarga atau 844 orang. Di mana Talang Mamak berjumlah 97 keluarga atau 523 orang. Sedangkan Suku Melayu sebanyak 64 keluarga atau 321 orang.
Masyarakat Talang Mamak dan Melayu tradisional tersebut berada di dalam TNBT sepanjang Sungai Gangsal. Ada 8 dusun yang mereka tempati, di wilayah Riau 7 dusun yaitu Tanah Datar, Dusun Tua, Suit, Sadan, Air Bomban, Nunusan dan Siamang Desa Rantau Langsat. Sedangkan satu dusun lagi di wilayah Jambi yaitu Semerantihan desa Suo-suo. Kelompok yang memecah dari Dusun Tua karena konflik dan ketersediaan sumber daya.
Ada 3 dusun dihuni Suku Melayu yaitu Dusun Sadan, Air Bomban dan Nunusan selebihnya dihuni Suku Talang Mamak.
Pertambahan penduduk di dalam TNBT stagnan karena antara natalitas dan fertilitas umumnya seimbang. Sistem kesehatan masih tradisional, penyembuhan penyakit masih secara tradisional dengan menggunakan dedaunan, akar-akaran,pohon-pohon dan buah pohon dan selalu menghubungkannya dengan sistem kosmologi.
Secara budaya Masyarakat Talang Mamak di dalam TNBT sedikit berbeda dengan di Tigabalai-Pusat Kebudayaan Talang Mamak, mereka tidak melakukan tradisi mengilir dan menyembah raja, sistem kebatinan juga mulai luntur, umumnya mereka otonom menjalankan aktivitas dan menyelesaikan persoalan berat secara formal melalui kepala desa. Namun umumnya mereka masih animis dan sebagian kecil sudah menjadi katolik sinkritis yang berada di Dusun Siamang.
keluargatm1
Mereka mengenal banyak tentang obat-obatan tradisional. Menurut ekspedisi Biota Medika (1998) bahwa Suku Talang Mamak memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan 22 jenis cendawan obat. Sedangkan Suku Melayu memanfaatkan 182 jenis tumbuhan obat untuk 45 jenis penyakit dan 8 jenis cendawan. Selain itu Masyarakat Talang Mamak juga memiliki pengetahuan etnobotani. Mengenal berbagai jenis tumbuhan dan juga satwa.
Mata pencarian utama mereka adalah berladang berpindah dengan integrasi penanaman karet, di sela-sela berladang mereka mencari hasil hutan seperti jernang, rotan, labi-labi. Untuk memenuhi kebutuhan protein mereka berburu ke hutan.
Interaksi
Suku Talang Mamak di dalam TNBT sangat sopan, menghargai orang luar yang datang kepada mereka. Pada umumnya mereka jujur dan tidak mau mengganggu orang lain, daripada konflik lebih baik menghindar dan pergi ke hutan merupakan sifat dasar mereka. Jangan sekali-kali menggurui karena mereka adalah guru yang paling baik dalam hal etnobotani, etnozoologi, budaya dan sistem pertanian.
foto suku talang mamak


INDRAGIRI HULU, RIAU, 20/1 - SUKU TALANG MAMAK. Sejumlah anak suku Talang Mamakbermain di sekitar rumah adat di kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau, Rabu, (19/1). Masyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan "Suku Tuha" yang berarti suku pertama, sampai kini suku tersebut masih mempertahankan hukum adat serta tinggal di hutan adat. FOTO ANTARA/Fachrozi Amri/Koz/Spt/11.
 
 Peta Penyebaran Suku Talang Mamak

Banyaklah belajar dari mereka

Dalam pemberian bantuan jangan ada kesan simbolik meremehkan martabat dan jati diri mereka, misalnya memberi bantuan baju bekas, ini bermakna martabat dan status sosial mereka lebih rendah dari kita dan kain bekaslah yang pantas buat mereka. Berikan sesuatu yang bermakna bagi hidup mereka dan lingkungan seperti biji buah-buahan, mungkin buku dan pensil atau apa yang mereka inginkan. Bila ingin mendokumentasikan sesuatu sebaiknya harus permisi karena ada hal-hal sakral.
Sumber: http://www.bukit30.org/
Comments
0 Comments