Suku Sakai
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14.[1] Seperti halnya Suku Ocu, Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwaSUKU SAKAI DALAM TIGA KEKUASAAN
Oleh zulfaeva1. Pendahuluan
Propinsi Riau didiami masyarakat suku terasing yang terdiri dari 5 suku yang termasuk kategori masyarakat terasing. Kelima suku terasing tersebut adalah: (1). Suku laut, (2). Suku Hutan, (3). Suku Talang Mamak, (4). Suku Bonai, (5). Suku Akit.
Suku sakai merupakan suku terasing yang mendiami propinsii Riau. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya[5].
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain: (1).. Upacara kematian, (2). Upacara kelahiran, (3). Upacara pernikahan, (4). Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru. Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya, (1). Upacara menanam padi, (2). Upacara menyiang, (3). Upacara sorang sirih, dan (4). Upacara tolak bala.
Dewasa ini masyarakat sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat suku sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu). Dari uraian di atas maka peneliti tertarik mempelajari sejarah asal usul orang suku sakai dan tentang bagaimana suku sakai dalam masa 3 kekuasaan pemerintah yang ada di Riau ini.
2.Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah propinsi Riau ini di tahun 2007. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah kritis dan metode penelitian kualitatif menurut Snowboll sampling. Menurut Louis Gottschalk metode sejarah adalah proses menuju dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau[6], untuk memperlihatkan rekonstruksi yang imajinatf pada sejarah suku sakai, dengan menilai secara kritis asal usul suku sakai yang sampai ke propinsi Riau dan disajikan dalam bentuk historiografi sejarah.
3. Sejarah Suku Sakai di Riau
Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak[7]. Menurut Boehari Hasmmy (dlm Parsudi Suparlan), mengatakan bahwa orang sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka.
Orang sakai tergolong dalam ras Veddoid[8] dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Menurut Moszkowski (1908) dan kemudian dikutib oleh Loeb-(1935) Orang Sakai adalah Orang Veddoid yang bercampur dengan orang Minangkabau yang datang berimigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai gasib di hulu sungai Rokan. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan ini kemudian dihancurkan oleh kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang orang sakai. Sedangkan menurut Boechari Hasny (1970) yang memperoleh keterangan mengenai asal-muasal orang sakai dari para orang tua sakai, berasal dari Pagaruyung, Batusangkar, dan dari Mentawai.
4. Suku Sakai Berasal dari Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan
a. Perbatinan Lima
Negeri Pagaruyung sangat padat penduduknya. Raja berusaha mencari wilayah-wilayah pemukiman baru untuk menampung kepadatan penduduknya. Yang dipilih adalah wilayah-wilayah di sebelah timur Pagaruyung karena tampaknya masih kosong penduduk dan hanya dipenuhi rimba belantara. Sebuah rombongan yang jumlahnya 190 orang terdiri dari 189 orang janda dan seorang hulubalang atau prajurit laki-laki sebagai kepalanya dikirim oleh raja untuk berangkat ke arah timur. Mereka menembus hutan rimba belantara dan akhirnya mereka sampai di tepi sebuah anak sungai yang mereka namakan sungai Biduando, yang artinya sungai dari rombongan 189 orang janda yang dipimpin oleh seorang kepala rombongan (bidu = kepala rombongan, dan Ando = janda). Nama Biduondo kemudian berubah menjadi Mandau[9].
Setelah rombongan 190 orang tersebut untuk beberapa lamanya tinggal di tepi sungai Mandau, mereka menyimpulkan bahwa wilayah di sekitar sungai tersebut layak untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru. Rombongan tersebut kemudian kembali pulang ke Pagaruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung kemudian mengirim lagi rombongan perintis yang terdiri atas tiga orang hulubalang atau prajurit, yaitu Sutan Janggut, Sutan Harimau dan Sutan Rimbo.
Rombongan tiga orang hulubalang ini berjalan menuju ke arah wilayah Mandau dengan mengikuti bekas-bekas perjalanan rombongan 190 orang. Perjalanan tiga orang ini berlangsung selama beberapa tahun. Mereka membawa makanan dan bekal bibit tanaman serta membawa peralatan yang diperlukan dan bijih-bijih besi untuk mereka tempa menjadi parang dan peralatan lainnya, bila diperlukan. Setelah beberapa tahun dalam perjalanan mereka bukannya sampai ke wilayah Mandau tetapi tiba di Kunto Bessalam (Kunto Darussalam). Mereka menyerahkan diri kepada raja Kunto Bessalam, dan setelah beberapa lamanya tinggal di kerajaan tersebut mereka dianggkat sebagai hulubalang raja. Pada waktu itu raja Kunto Bessalam bercita-cita menjadikan negerinya sebagai sebuah kerajaan yang besar tetapi jumlah penduduknya hanya terdiri atas 25 keluarga dan 10 orang Hulubalang. Diputuskan oleh raja Kunto untuk mencari tambahan penduduk dengan cara mendatangkan kira-kira 100 orang penduduk baru. Diputuskan untuk mencari tambahan penduduk Mentawai karena menurut keterangan yang mereka peroleh penduduk Mentawai jumlahnya berlebihan. Sutan Janggut, Sutan Harimau, dan Sutan Rimbo diutus oleh raja untuk mencari tambahan penduduk.
Rombongan tiga orang ini setelah tiba di Mentawai menyerahkan emas, perak, dan intan berlian kepada kepala kampung Mentawai sebagai pembawaran atas 100 orang yang mereka butuhkan. Mereka yang seratus orang ini kedudukannya kira-kira sama dengan setelah budak. Oleh raja Kunto Bessalam mereka dijadikan penduduk dengan kewajiban bekerja secara rodi bersama dengan penduduk aslinya yang berjumlah 25 keluarga dalam membangun kota Kunto Bessalam. Yang dibangun adalah istana, benteng, jalan-jalan dan saluruan-saluran air. Setelah berjalan selama sepuluh tahun pembangunan tersebut selesai dikerjakan, dan kerajaan kunto Bessalam menjadi besar. Raja Kunto Bessalam mengalihkan kegiatan pembangunan ke kerajaan Rokan Kanan dan Kiri yang berkerabat dan bersahabat dengannya, dengan mengirimkan 50 keluarga yang dipimpin oleh Sutan Janggut dan Sutan Rimbp untuk bekerja disitu.
Tetapi sebelum pekerjaan pembangunan dilaksanakan dengan baik, Sutan Janggut dan Sutan Rimbo bersama dengan lima keluarga yang telah melarikan diri dari kerajaan Rokan kanan dan Kiri masuk ke hutan. Sebabnya adalah Raja Rokan Kanan dan Kiri sangat kejam. Pembangunan kerajaan Rokan Kanan dan Kiri berjalan terus, setelah sepuluh tahun kerajaan ini menjadi besar dan jaya seperti kerajaan Kunto Bessalam. Keluarga-keluarga pekerja yang ditinggalkan oleh rombongan yang melarikan diri sebagian dari mereka tetap menjadi penduduk kota Rokan Kanan dan Kiri. Dan sebagian lainnya tinggal di pedesaan yang berdekatan dengan Rokan Kanan dan Kiri (di desa Sintung dan beberapa desa lainnya). Sehingga sebenarnya mereka seasal dengan lima keluarga yang melarikan diri, yang menjadi nenek moyang orang Sakai di Mandau.
Rombongan yang melarikan diri dibawah pimpinan Sutan Janggut dan Sutan Rimbo itu berjalan ke arah wilayah Mandau. Setelah beberapa tahun mengembara dihutan-hutan mereka sampai di tepi sungai Syam-syam, di hulu sungai Mandau, dan merupakan salah satu anak sungai Mandau. Mereka berjalan terus ke arah hulu sungai dan akhirnya tiba di wilayah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Dalam wilayah ini terdapat bekas-bekas pemukiman yang menurut dugaan mereka adalah bekas-bekas rombongan pertama yang berjumlah 190 orang. Setelah tinggal untuk beberapa lamanya di tempat tersebut rombongan ini meneruskan perjalanan dan tibalah mereka di hulu sungai Penaso. Mereka tinggal untuk sementara di hulu sungai tersebut dan di sini sutan Rimbo meninggal dunia. Rombongan ini kemudian menuju ke arah Mandau, dan dalam perjalanan menuju Mandau sutan Janggut pergi secara diam-diam meninggalkan rombongan tersebut. Rombongan tiba di desa Mandau dan menyerahkan diri kepada kepala desa (penghulu) Mandau yang bernama Takim. Desa Mandau ini sekarang bernama desa Beringin yang penduduknya adalah orang Melayu.
Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau rombongan yang berjumlah lima keluarga ini memohon untuk diberi tanah/hutan bagi mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagaruyung ataupun ke Kunto Bessalam. Oleh kepala desa Mandau masing-masing keluarga diberi hak ulayat atas tanah-tanah dan hutan-hutan yang berada di daerah:
1. daerah sekitar Minas
2. daerah sekitar hulu Sungai Penaso
3. daerah sekitar hulu sungai Beringin
4. daerah sekitar sungai Belutu
5. daerah sekitar sungai Ebon di Tengganau
Rombongan yang terdiri atas lima keluarga ini kemudian beranak pinak di masing-masing wilayah tempat hidup mereka. Massing-masing tempat pemukiman tersebut dinamakan perbatinan (dukuh) yang dipimpin oleh seorang kepala perbatinan atau batin. Karena jumlah penduduk massing-masing perbatinan tersebut bertambah besar, dan karena adanya usaha penyeragaman administrasi yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Siak dalam usaha mempermudah penarikan pajak, maka masing-masing perbatinan tersebut dijadikan kepenghuluan atau desa dan dikepalai oleh seorang batin atau kepala desa. Desa-desa atau kepenghuluan-kepenghuluan Orang Sakai yang tergolong dalam Perbatinan Lima[10] tersebut adalah:
- Desa Minas. Desa ini masih ada dan sebagaian besar warganya adalah Orang Sakai
- Desa Penaso. Desa ini sudah tidak ada lagi sekarang (1982), karena jumlah penduduknya hanya 8 keluarga, Penaso dijadikan sebuah Rukun Kampung dari desa Muara Basung. Sebagian penduduknya menjadi warga pemukiman masyarakat terasing yang dibangun di Sialang Rimbun dan di Kandis, dan sebagian lainnya tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas ladang yang mereka kerjakan di sekitar daerah Sialang Rimbun dan Balai Pungut, dan masih sebagian lainnya tinggal dalam kelompok-kelompok kecil rumah sederhana yang dibangun di sepanjang jalan raya antara kota Duri dan Minas.
- Desa Beringin Sakai. Pada masa sekarang desa ini sudah tidak ada lagi karena seluruh warganya dipimpin oleh kepala desa dan telah berpindah ke pemukiman masyarakat terasing di Sialang Rimbun, sebagian lainnya di pemukiman masyarakat terasing di Kandis dan di Bulu Kasap.
- Desa Tengganou, desa ini masih ada dan sebagian warganya adalah orang sakai.
b. Perbatinan Delapan
beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan terakhir meninggalkan Pagaruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi penduduknya. Mencari nafkah dirasakan sulit dan kehidupan dirasakan berat oleh sebagian dari warga masyarakat. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja. Sebuah rombongan yang terdiri atas suami-istri, dan seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin pada suatu malam meninggalkan Pagaruyung. Tujuan mereka adalah membuka daerah baru untuk tempat pemukiman.
Setelah beberapa lamanya dalam perjalanan akhirnya sampailah mereka ke hulu sungai Syam-syam, di Mandau. Di wilayah tersebut mereka berkeliling sampai ke daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Tanahnya datar dan digenani air. Di tempat terakhir ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya. Mereka membuat ladang, rumah, menempa besi untuk mrmbuat peralatan berbagai alat pertanian dan rumah tangga. Beberapa waktu lamanya kemudaian dan istri dari keluarga yang menjadi anggota rombongan tersebut mengandung. Dalam mengidamnya sang istri meminta kepada sang suaminya untuk mencari banyi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang didengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sang suami pergi berburu dan tidask pernah kembali karena tidak pernah menemukan ada pelanduk jantan yang mengandung untuk memenuhi permintaan nyidamnya sang istri. Karena dia telah berjanji tidak akan memenuhi istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan nyidamnya. Setelah itu rombongan 12 orang perempuan yang dipimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau turut dan rombongan tersebut tidak dapat lagi ditahan oleh sang istri untuk menunggu kedatangan sang suami. Rombongan 12 orang berangkat dang sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah bayi tersebut besar, kedua anak-beranak tersebut kembali ke pagarruyung melaporkan apa yang telah mereka lakukan dan memohon ampun kepada raja Pagarruyung. Raja Pagarruyung mengirim lagi serombongan laki-laki dan keluarga untuk memenuhi rombongan yang dipimpin oleh Batin Sangkar.
Batin yang dipimpin oleh Batin Sangkar akhirnya, setelah merambah hutan belantara dan rawa-rawa, sampailah mereka didaerah Petani. Setelah menetap di Petani untuk beberapa tahun lamanyan, Bati Sangkar memutuskan untuk mencegah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemungkiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuka hutan di tepat-tempat pemukiman baru yaitu (1) Petani, (2) Sebanga/Duri km, 13, (3) Air Jamban Duri, (4) pinggir, (5) Semunai, (6) Syam-Syam, (7) Kandis, (8) Balaimakam[11]. Setelah delapan tempat pemungkiman tesebut selesai dibangun, kebetulan datng rombongan yang terakhir dari Pagarruyung yang dikirim oleh Batin Sangkar, keluarga-keluarga tersebut dibagi rata penempatan tempat tinggal di delapan buah tempat pemukiman tersebut dalam rombongan pendatang tersebut telah diangkat sebagai pembantunya. Oleh batin Sangkar pembantunya tersebut disuruhnya pergi ke kota Siak Sri Indrapura untuk menghadap kepada raja Siak dan memohon izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan wilayahnya.
Jadi dari sejarah asal muasal orang sakai khususnya sejarah terbentuknya perbatinan lima dan delapan, dapat dilihat bahwa orang sakai menurut penelitian ini mereka berasal dari Minangkabau (Pagaruyung dan Mentawai). Dan mereka adalah orang belian (setengah budak). Yang menarik untuk diperhatikan adalah unsur perempuan yang mayoritas dan dominan dalam legenda asal-muasal tersebut. Ciri-ciri ini tampak dalam sistem pembagian warisan. Dan ciri pembagian sistem kemasyarakatan orang sakai adalah Molety atay paruh dua, yaitu perbatinan lima dan perbatinan delapan. Klasifikasi ini muncul lagi dalam sistem pertanian yang dipinjam dari Minangkabau yaitu padi Induk dan padi anak.
1. Masa Kekuasaan Pemerintahan Kerajaan Siak
Para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis. Pajak-pajak tersebut dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat (balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil). Seorang batin memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja siak. Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau. Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang sakai[12].
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam. Disamping batin, raja siak juga mengangkat seorang wakil batin yang diberi nama Tongkek. Upacara batin. Tugas seorang tongkek adalah membantu pekerjaan-pekerajaan batin, khususnya dalam kegiatan pengumpulan pajak, dan dalam keadaan batin berhalangan mewakili batin dalam tugas-tugasnya.
Tugas seorang Batin dalam zaman kerajaan siak, yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintah jajahan Belanda disamping mengumpulkan pajak juga menjaga ketertibam kehidupan di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi pencurian, dan perbuatan-perbuatan maksiat (perzinahan). Seorang batin dapat menjatuhkan hukuman denda kepada warga masyarakat yang dipimpinnya yang kedapatan bersalah karena merugikan sesama warga masyarakatnya. Sedangkan hukuman badan ataupun pengadilan karena yang bersangkutan melakukan pembunuhan tidak dapat diputuskan oleh seorang batin. Dalam hal ini terjadinya pembunuhan maka si pembunuh diserahkan kepada punggawa kerajaan di Balai pungut, dan dalam zaman Belanda diserahkan kepada opas atau polisi.
2. Masa Kekuasaan Zaman Penjajahan Belanda
Karena orang sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasayarakat yang lebih luas, maka mereka tidak pernah atau jarang mempunyai hubungan langsung dengan orang belanda atau kekuasaan pemerintahan jajahan belanda yang ada di Riau. Walaupun kegiatan-kegiatan pencaharian dan pengeboran minyak telah dilakukan di wilayah kecamatan Mandau sejak sebelum perang dunia II tetapi kontak-kontak langsung dengan orang asing (Belanda) hampir tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan orang sakai takut dan malu terhadap orang asing[13].
Kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda di Riau, sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kekuasaan belanda bekerja sama dengan penguasa-penguasa tradisional setempat. Di daerah Mandau dan sekitarnya adalah melalui kekuasaan raja siak. Sehingga orang sakai hanya mengetahui dan merasakan kekuasaan dan kewibawaan kerajaan Siak. Inipun dilakukan oleh para batin orang sakai. Seperti terjadinya peristiwa pembunuhan, barulah opas atau polisi yang merupakan alat kekuasaan pemerintah Belanda menangani masalah ini sampai ke daerah-daerah pedalaman tempat tinggal orang Sakai.
3. Masa Kekuasaan Zaman Pemerintahan Jepang
Selama masa pemerintahan Jepang orang sakai tidak dipedulikan oleh orang Jepang. Mereka dibiarkan menjalani hidup cara mereka sebelumnya. Bahkan dalam membayar pajak ataupun kerja wajib (romusha) tidak diwajibkan oleh pemerintah Jepang. Walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Mereka melihat kekejaman tentara Jepang terhadap para pekerja romusha yang didatangkan dari Jawa. Sebagian kecil dari romusha ini dapat melarikan diri dari rombongan romusha tersebut. Mereka ditolong dan diberi makan dan disembunyikan oleh orang-orang sakai yang ada di daerah sekitar ini. Diantara mereka yang ditolong ini kemudian hidupa bersama dengan menjadi warga masyarakat orang sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang Sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang sakai setempat. Di Muara Basung ada dua orang sakai yang menyatakan ayahnya adalah romusha yang melarikan diri dan kawin dengan orang sakai. Kemudian juga di PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) Sialang Rimbun juga ada dua orang warganya berayahkan seorang pelarian romusha.
KESIMPULAN
Jadi suku Sakai berasal dari daerah Minangkabau dan Mentawai. Dalam masa pemerintahan raja Siak suku Sakai dikenakan pajak pada daerah perbatinan lima dan perbatinan delapan. Dalam masa pemerintahan Belanda mereka dijadikan alat untuk merebut daerah kekuasaan dengan berusaha mendekati Batin (kepala suku sakai). Yang lebih tidak dipedulikan suku sakai pada masa pemerintahan Jepang. Untuk pekerjaan romusha mereka tidak dipaksa untuk ikut serta. Pada zaman Jepang inilah suku sakai paling menderita.
DAFTAR PUSTAKA
Depsos, 1988, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, FE UI, Jakarta.
Louis Gohschalk, 1975, Mengerti Sejarah, Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
Suroyo, 2005, Upacara Perkawinan Dalam Masyarakat Suku Terasing di Propinsi Riau (Studi Pada Suku Sakai di Mandau Kab. Bengkalis Propinsi Riau, (Tesis) UNP, Padang.
UU Hamidi, 1991, Masyarakat Terasing Daerah Riau Abad XXI, Zamrud, UIR, Pekanbaru.
Parsudi Suparlan, 1985. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Artikel.
Zulfa S.Pd, M.PD, menyelesaikan S1 di FKIP Sejarah UNRI, menyelesaikan S2 di UNP jurusan Pendidikan Sejarah dan sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UNP padang.
Totok Isdarwanto S.Pd, menyelesaikan S1 di FKIP Sejarah UNRI dan sekarang mengajar di MAN Kuok Bangkinang pada mata pelajaran sejarah.
[5] UU, Hamidi, Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, (Pekanbaru:UIR,1991), hlm.12.
[6] Louis Gohschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975),hlm.32.
[7] Depsos, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta:Depsos,1988),hlm 27.
[8] Ibid, UU Hamidi
[9] Suroyo, Upacara Perkawinan dalam Masyarakat Suku Terasing di Propinsi Riau, Tesis, (Padang:UNP,2005) hlm 53.
[10] Ibid, hlm 55.
[11] Ibid, hlm 60.
[12] Ibid, UU Hamidi
[13] Ibid.