Suku Laut
Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup "berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan."[1]
Sebutan lain untuk Orang Laut adalah Orang Selat. Orang Laut kadang-kadang dirancukan dengan suku bangsa maritim lainnya, Orang Lanun.
Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan-kerajaan tersebut, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.[2]
Bahasa Orang Laut
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut", karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.Sejarah
Pada zaman kejayaan Malaka, Orang Laut merupakan pendukung penting kerajaan maritim tersebut. Sewaktu Malaka jatuh mereka meneruskan kesetiaan mereka kepada keturunan sultan Malaka yang kemudian mendirikan Kesultanan Johor. Saat Belanda bermaksud menyerang Johor yang mulai bangkit menyaingi Malaka--yang pada abad ke-17 direbut Belanda atas --Sultan Johor mengancam untuk memerintahkan Orang Laut untuk menghentikan perlindungan Orang Laut pada kapal-kapal Belanda.Pada 1699 Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa Malaka-Johor, terbunuh. Orang Laut menolak mengakui wangsa Bendahara yang naik tahta sebagai sultan Johor yang baru, karena keluarga Bendahara dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ketika pada
1718 Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim hak atas tahta Johor, Orang Laut memberi dukungannya. Namun dengan dukungan prajurit-prajurit Bugis Sultan Sulaiman Syah dari wangsa Bendahara berhasil merebut kembali tahta Johor. Dengan bantuan orang-orang Laut (orang suku Bentan dan orang Suku Bulang) membantu Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak, setelah terusir dari Johor.
Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.
Suku Laut Diperairan Selat Melaka
indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil membentang, dari Sabang hingga Merauke. Di dalamnya, hidup berbagai macam suku adat dan budaya yang berbeda. Kita adalah negera yang kaya akan budaya, suku dan ras. Salah satunya adalah suku laut.
Suku laut merupakan orang-orang yang hidup di sekitar kepulauan Riau. Tepatnya di kabupaten Lingga. Mungkin jarang orang yang mengenal suku laut. Karena, suku laut adalah orang-orang yang terisolir dari perkembangan zaman. Mereka tidak seprimitif suku anak dalam di Jambi. Namun, suku laut mungkin terlupakan oleh pemerintah karena banyak di antara mereka yang masih buta huruf. Hal ini menandakan bahwa kurangnya perhatian pemerintah pada warganya.
Orang suku laut merupakan orang-orang yang mengadalkan penangkapan ikan sebagai nafkah hidup mereka. Mereka berprofesi sebagai nelayan. Kebanyakan dari mereka tinggal di atas rumah perahu yang terapung di muara sungai. Terkadang hidup mereka masih nomaden, dengan cara berpindah-pindah. Untuk itu mereka hanya mengenal kelompoknya atau sukunya sendiri. Masyarakat suku laut cenderung memisahkan diri dari kelompok atau suku lain.
Suku laut terdiri dari beberapa klan seperti suku mampor, suku mantang dan suku barok. Mereka sangat kuat terhadap garis keturunannya. Seperti adat melayu umumnya, suku laut mengambil garis ayah sebagai garis keturunan. Sehingga mereka harus dapat mewarisi sifat-sifat ayahnya. Mereka sangat patriarki.
Orang laut atau suku laut, begitu orang melayu pedalaman menyebutnya. Dulunya, mereka adalah perompak di lautan. Mereka merupakan orang-orang kuat yang menguasai selat malaka. Bagi kerajaan Sriwijaya dan kesultanan Johor, mereka merupakan kelompok yang sangat penting. Budaya hidup di laut menjadikan mereka mata rantai, yang menjaga hubungan perairan antara kerajaan-kerajaan di kepulanan Riau dan Malaka.
Mereka hidup dan berbudaya selama berabad-abad di atas lautan. Mereka lahir, kawin dan mati di lautan. Laut adalah bagian dari kehidupan mereka. Namun, kehidupan itu membuat mereka menjadi krisis identitas. Mereka sering masuk ke wilayah Malaysia dan menikah dengan suku laut yang ada di sana, maka kewargaan negara mereka patut dipertanyakan. Mereka seperti tidak perduli dengan kehidupan politik. Tidak penting bagi mereka menjadi orang Indonesia atau orang Malaysia. Cukup panggil mereka 'orang laut'.
Novel berjudul 'Laskar Pelangi', yang ditulis Andrea Hirata juga sedikit mengupas tentang kehidupan dan kebudayaan suku laut. Diceritakan tentang suku laut yang tinggal di wilayah bangka belitung. Mereka disebut orang-orang sawang. Orang-orang yang kuat dan hidup dengan kehormatannya. Laut adalah jiwa dan naluri manusianya.
Konon kabarnya, orang-orang suku laut sanggup menyelam sedalam 30 hingga 50 meter kedalam lautan tanpa menggunakan bantuan tabung oksigen. Mereka menyelam guna menangkap ikan, seperti tripang, bawal, kakap, cumi-cumi, bahkan hiu.
Menurut ahli sejarah, mereka sudah tinggal di laut sejak awal tahun masehi. Untuk itu laut sudah menjadi rumah mereka. Pemerintah Indonesia pernah sedikit peduli pada suku terasing ini. Misalnya membuatkan rumah semi permanen yang sangat sederhana di pinggiran pantai, baik yang ada di kepulauan riau atau di Bangka Belitung. Ternyata mereka meninggalkan rumah itu dan kembali kelautan.
Catatan terakhir tentang suku laut adalah yang berada di melayu Belitung dan hanya tinggal 50 kepala keluarga. Itu pun keberadaannya sangat sulit ditemui, karena cara hidup mereka yang sering berpindah-pindah. Bukan tidak mungkin, jika pemerintah masih saja apatis terhadap suku terasing, mereka akan punah bersama kebudayaannya.
Salah satu kebudayaan mereka yang terkenal adalah tari campak laut. Tarian ini mirip tarian melayu yang dipadukan dengan berbalas pantun. Konon kabarnya, orang-orang suku laut ini sangat pandai berpantun. Karena pantun itu lahir dari kebudayaan mereka.
Dalam kepercayaan, masyarakat suku laut masih menganut animisme. Tapi beberapa diantara mereka sudah ada yang memeluk agama Islam, walaupun Islamnya masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang. Mereka sangat mempercayai takhayul tentang keramatnya suatu benda atau daerah. Bahkan ketika pergi melaut, mereka menggunakan hitungan tanggal dan weton untuk mengetahui hari keberutungan atau hari naas mereka. Mereka ahli membaca bintang dan bulan. Bagaimana tidak, mereka hidup di lautan. Dan satu-satunya petunjuk di laut selain kompas adalah bintang.
Suku laut selalu memegang komitmen kuat akan kehormatan dan jati diri mereka. Mereka tidak mau beralih pada profesi lain selain nelayan. Mereka juga tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau daratan. Alam merupakan sumber kehidupan mereka tanpa ada kepentingan yang lain. Misalnya mengeruk kekayaan alam dengan sangat besar, serta berdalih untuk kepentingan rakyat. Laut digunakan hanya untuk kepentingan perut, tanpa dalih apa-apa. Mereka adalah orang-orang yang lugu namun punya harga diri.