Suku Akit merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Provinsi Riau. Suku Akit merupakan suku asli yang mendiami wilayah Pulau Rupat tepatnya di Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum suku-suku lainnya menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal. Mata pencarian Suku Akit adalah dari berburu dan meramu. Saat ini Suku Akit telah banyak berbaur dengan masyarakat lainnya
.Mualaf dari suku akit
Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selam ini diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Kehidupan suku Akit mayoritas masih sangat dekat dengan alam meskipun sebagian masyrakatnya sudah mengenal bahkan terpengaruh dengan budaya luar. Kebanyakan dari mereka masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dan hasil laut. Mereka hidup menangkap ikan serta berkebun karet dan kelapa. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam. Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi. Panen beras setiap tujuh-delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan.
Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh ‘pembangunan’ namun karena letaknya yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku di sekitarnya, misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Namun meski demikian suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek moyangnya.
Jika ditinjau dari segi kesejarahan, kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib-Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi menjadi tiga tugas, yaitu: (1) rombongan yang merakit di sungai, disebut Akit Biasa; (2) rom bongan yang merintis jalan di sungai disebut dengan Akit Ratas; dan (3) rombongan yang menebang kayu di hutan yang disebut dengan Akit Hutan.[1] Menurut bebrapa sumber tradisi lisan, Suku Akit Hutan inilah yang kemudian menjadi suku hutan. Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian hari dijual oleh Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya pada abad ke-18
.
Anak-anak Suku Akit
Nusrin Caniago (1985) mengutip pendapat H.A. Hijmans van Anrooij (1885:347) dalam Het Rijk van Siak, mengatakan suku Akit merupakan keturunan orang pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai selatan Selat Malaka. Suku Akit di Siak dikatakannya terbagi terbagi atas Akit Peguling dan Akit Morong. Yang terakhir itu terbagi atas Akit Ratas dan Akit Biasa. Sedabgkan WBC Wintgest dan E.M. Unlenbech dalam Encyclopaedic van Nederlansche Indie, berpendapat bahwa orang Akit ini termasuk keturunan bangsa Negritisch (Negrito). Hal ini tampak dari rambut mereka yang keriting dan badan yang kekar besar. Mereka mendiami Sungai Mandau cabang Sungai Siak. Jumlah mereka pada abad ke-15 ditaksir sekitar 300 orang, dengan jumlah perempuan lebih sedikit dari lelaki. Mereka membuat rumah di atas rakit, mempunyai perapian dari pasir dan abu.
Tetapi tradisi lisan yang berkembang pada tokoh-tokoh adat Suku Akit, misalnya tradsi lisan yang diketahui oleh Batin (Kepala Suku) Hutan Panjang di Pulau Rupat menyebutkan bahwa berasal dari rakyat Kerajaan GAsib abad 15-17. Setelah Aceh menyerang Gasib mereka menghindar ke Sungai Mandau mempergunakan rakit. Di Mandau bertemu dengan Akit Akit Perawang[2] dan Sakai[3].
Setelah muncul Kerajaan Siak menggantikan Kerajaan Gasib tahun 1723, maka daerah mereka termasuk daerah Kesultanan Siak dibawah kekuasaan Datuk Laksamana Bukit Batu. Karena mereka tidak mempunyai hak atas tanah ulayat (sebab yang berkuasa adalah Batin Perawang) maka mereka meminta pindah ke Pulau Rupat.
Untuk mendapatkan Pulau Rupat, mereka harus menebus pulau itu kepada orang Rempang berupa sekerat tampi sagu, sekerat mata beras, sekaerat dayung emas dan sekerat mata kujur (kojor). Karena orang Akit tidak memenuhi syarat itu, maka mereka mengadu kepada Datuk Laksamana Bukit Batu. Datuk menyampaikan keinginan mereka kepada Sultan Siak. Sultan pun memeberikan izin, Datuk Laksamana Bukit Batu diutus untuk memberikan semua syrat, sambil mengantarkan orang Akit ke Pulau Rupat. Jumlah penduduk yang pindah saat itu diperkirakan lebih kurang 200 orang lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak. Dalam serah terima tersebut orang Rempang telah berpesan kepada orang Akit “Pulau Rupat ini jangan sampai diserahkan lagi kepada tangan orang lain”. Semenjak saat itu suku Akit telah menetap disana. Selama di Rupat ini orang Akit mempunyai enam orang Batin, yaitu (1) Batin Boja disebut juga dengan Batin Naeng (kuat); (2) Batin Betirpas; (3) Batin Sisik; (4) Batin Monong; (5) Batin Koding; dan (6) Batin Gelimbing yang sekarang berkedudukan di Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara. Sebagai Batin Titi Akar ini sekarang adalah Bapak Sailan.
Peran Batin ini sangat erat kaitannya dengan mempertahankan tradisi dan adat istiadat mereka. Batin berperan dalam siklus kehidupan suku Akit, baik yang terkait dengan kegiatan pertanian, melaut, upacara-upacara adat dan ritual, serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya terkait dengan adat dan tradisi yang sampai saat ini masih mereka pegang dengan teguh. Upacara-upacara seperti buang anca, dan upacara-upacara terkait dengan pertanian masih mereka lakukan. Demikian juga peran bomo (dukun) masih berfungsi baik sebagai orang pintar terkait dengan badekeh dan kegiatan lainnya. Dewasa ini Batin juga telah difungsikan oleh pemerintah sebagai pemimpin formal, yaitu sebagai kepala Desa. Melihat peran Batin yang besar menjaga tradisi dan adat istiadat, maka Batin menjadi penting baik bagi suku Akit sendiri.
”Sebenarnya kami dulu merupakan masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir Sungai Siak. Kami bernaung di bawah Kerajaan Siak Sriindrapura, sampai akhirnya kami diberikan tempat tersendiri yang aman,” kata Sailan, yaitu Batin Akit Titi Akar, yang baru menduduki jabatan adat tersebut menggantikan saudaranya Anyang yang menjadi pemimpin formal, kepala desa. ”Kami adalah suku Asli daerah ini, dan sampai saat ini kami masih terus melaksanakan dan mewarisi adat-istiadat kami,” kata Anyang. Selama tiga hari di Pualau Rupat, akhirnya dari pelabuhan sederhana yang terbuat dari susunan kayu-kayu tersebut kami melangkahkan kaki kembali ke kapal cepat yang membawa mata kami perlahan-lahan meninggalkan Titi Akar.
.Mualaf dari suku akit
Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selam ini diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Kehidupan suku Akit mayoritas masih sangat dekat dengan alam meskipun sebagian masyrakatnya sudah mengenal bahkan terpengaruh dengan budaya luar. Kebanyakan dari mereka masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dan hasil laut. Mereka hidup menangkap ikan serta berkebun karet dan kelapa. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam. Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi. Panen beras setiap tujuh-delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan.
Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh ‘pembangunan’ namun karena letaknya yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku di sekitarnya, misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Namun meski demikian suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek moyangnya.
Jika ditinjau dari segi kesejarahan, kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib-Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi menjadi tiga tugas, yaitu: (1) rombongan yang merakit di sungai, disebut Akit Biasa; (2) rom bongan yang merintis jalan di sungai disebut dengan Akit Ratas; dan (3) rombongan yang menebang kayu di hutan yang disebut dengan Akit Hutan.[1] Menurut bebrapa sumber tradisi lisan, Suku Akit Hutan inilah yang kemudian menjadi suku hutan. Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian hari dijual oleh Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya pada abad ke-18
.
Anak-anak Suku Akit
Nusrin Caniago (1985) mengutip pendapat H.A. Hijmans van Anrooij (1885:347) dalam Het Rijk van Siak, mengatakan suku Akit merupakan keturunan orang pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai selatan Selat Malaka. Suku Akit di Siak dikatakannya terbagi terbagi atas Akit Peguling dan Akit Morong. Yang terakhir itu terbagi atas Akit Ratas dan Akit Biasa. Sedabgkan WBC Wintgest dan E.M. Unlenbech dalam Encyclopaedic van Nederlansche Indie, berpendapat bahwa orang Akit ini termasuk keturunan bangsa Negritisch (Negrito). Hal ini tampak dari rambut mereka yang keriting dan badan yang kekar besar. Mereka mendiami Sungai Mandau cabang Sungai Siak. Jumlah mereka pada abad ke-15 ditaksir sekitar 300 orang, dengan jumlah perempuan lebih sedikit dari lelaki. Mereka membuat rumah di atas rakit, mempunyai perapian dari pasir dan abu.
Tetapi tradisi lisan yang berkembang pada tokoh-tokoh adat Suku Akit, misalnya tradsi lisan yang diketahui oleh Batin (Kepala Suku) Hutan Panjang di Pulau Rupat menyebutkan bahwa berasal dari rakyat Kerajaan GAsib abad 15-17. Setelah Aceh menyerang Gasib mereka menghindar ke Sungai Mandau mempergunakan rakit. Di Mandau bertemu dengan Akit Akit Perawang[2] dan Sakai[3].
Setelah muncul Kerajaan Siak menggantikan Kerajaan Gasib tahun 1723, maka daerah mereka termasuk daerah Kesultanan Siak dibawah kekuasaan Datuk Laksamana Bukit Batu. Karena mereka tidak mempunyai hak atas tanah ulayat (sebab yang berkuasa adalah Batin Perawang) maka mereka meminta pindah ke Pulau Rupat.
Untuk mendapatkan Pulau Rupat, mereka harus menebus pulau itu kepada orang Rempang berupa sekerat tampi sagu, sekerat mata beras, sekaerat dayung emas dan sekerat mata kujur (kojor). Karena orang Akit tidak memenuhi syarat itu, maka mereka mengadu kepada Datuk Laksamana Bukit Batu. Datuk menyampaikan keinginan mereka kepada Sultan Siak. Sultan pun memeberikan izin, Datuk Laksamana Bukit Batu diutus untuk memberikan semua syrat, sambil mengantarkan orang Akit ke Pulau Rupat. Jumlah penduduk yang pindah saat itu diperkirakan lebih kurang 200 orang lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak. Dalam serah terima tersebut orang Rempang telah berpesan kepada orang Akit “Pulau Rupat ini jangan sampai diserahkan lagi kepada tangan orang lain”. Semenjak saat itu suku Akit telah menetap disana. Selama di Rupat ini orang Akit mempunyai enam orang Batin, yaitu (1) Batin Boja disebut juga dengan Batin Naeng (kuat); (2) Batin Betirpas; (3) Batin Sisik; (4) Batin Monong; (5) Batin Koding; dan (6) Batin Gelimbing yang sekarang berkedudukan di Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara. Sebagai Batin Titi Akar ini sekarang adalah Bapak Sailan.
Peran Batin ini sangat erat kaitannya dengan mempertahankan tradisi dan adat istiadat mereka. Batin berperan dalam siklus kehidupan suku Akit, baik yang terkait dengan kegiatan pertanian, melaut, upacara-upacara adat dan ritual, serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya terkait dengan adat dan tradisi yang sampai saat ini masih mereka pegang dengan teguh. Upacara-upacara seperti buang anca, dan upacara-upacara terkait dengan pertanian masih mereka lakukan. Demikian juga peran bomo (dukun) masih berfungsi baik sebagai orang pintar terkait dengan badekeh dan kegiatan lainnya. Dewasa ini Batin juga telah difungsikan oleh pemerintah sebagai pemimpin formal, yaitu sebagai kepala Desa. Melihat peran Batin yang besar menjaga tradisi dan adat istiadat, maka Batin menjadi penting baik bagi suku Akit sendiri.
”Sebenarnya kami dulu merupakan masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir Sungai Siak. Kami bernaung di bawah Kerajaan Siak Sriindrapura, sampai akhirnya kami diberikan tempat tersendiri yang aman,” kata Sailan, yaitu Batin Akit Titi Akar, yang baru menduduki jabatan adat tersebut menggantikan saudaranya Anyang yang menjadi pemimpin formal, kepala desa. ”Kami adalah suku Asli daerah ini, dan sampai saat ini kami masih terus melaksanakan dan mewarisi adat-istiadat kami,” kata Anyang. Selama tiga hari di Pualau Rupat, akhirnya dari pelabuhan sederhana yang terbuat dari susunan kayu-kayu tersebut kami melangkahkan kaki kembali ke kapal cepat yang membawa mata kami perlahan-lahan meninggalkan Titi Akar.
Suku Bangsa Akit (Riau)
Orang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.
Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.
Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.
Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.
Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah ini.
Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.