Selasa, 04 Januari 2011
Kisah-kisah teladan : Abu Al Hasan Al Asy’ary
Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abu ‘Ali Al Jubba’i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur’an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Abu al Hasan al Asy’ary dan Mu’tazilah
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu’tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu’tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu’tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu ‘Ali al Jubba’i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu’tazilah.
Inti ajaran faham Mu’tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang “qath’i” dan sesuatu yang qath’i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu’tazilah menolak ajaran al Qur’an apalagi as Sunna yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu’jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adaya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah :
Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu’jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu’jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur’an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya :
(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)
untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy’ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham mu’tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba’i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta’lilkan atau tidakl. Faham Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita’lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba’i
Al Asy’ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba’i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : anak kecil tidak akan masuk neraka
A : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : tidak, karena tidak pernah berbuat baik
A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.
A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.
Abu Ali Al Jubba’i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.
Abu al Hasan Al Asy’ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Abu al Hasan al Asy’ary Pencetus Faham Asy’ariyah
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu’tazilah, pada mulanya cetudan pendapat Abu al Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu’tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta’wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy’ary dalam bidang aqidah menurut pengkuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur’an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Hal ini terbukti masih menggunakan penta’wilan terhadap ayat-ayat Al Qur’an tentang sifat-sifat Allah, misalnya: yadullah diartikan kekuatan Allah, istiwa-u Llah dikatakan pengasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyinmpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan “Dua puluh Sifat Allah”. Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami’un bi sam’in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan :”Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?” Jawabannya: “Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti ‘maha’ sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa.” Kalau demikian seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada Allah akan mempunyai arti Maha.
Abu Al Hasan Al Asy’ary kembali ke Salaf
Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy’ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku “Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah” merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama’ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:
1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.
Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
2. Menafsirkan ayat dengan hadits
3. Menafsirkan ayat dengan ijma’.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta’wilkan kacuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy’ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A’lam.
Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim, As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992.
0 Comments