TANGGAL 1 Juni disebut-sebut sebagai hari lahirnya Pancasila. Menurut Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Pancasila merupakan karya brilian Bung Karno. Benarkah demikian? Hal itu diucapkannya pada sebuah teve swasta dalam acara memperingati Sewindu Reformasi, Mei 2006 silam. Bagaimana Pancasila dapat dikatakan sebagai karya brilian Bung Karno yang telah menggali nilai-nilai lokal kemudian diperahnya menjadi lima sila, dan salah satunya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal hanya Islam yang Tuhannya Maha Esa. Agama selain Islam yakni Kristen (Protestan dan Katholik), Hindu, Budha dan Kong Hucu (bila diakui sebagai agama), semuanya adalah politheis, tidak Maha Esa.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia bergama Hindu dan animis. Ini adalah fakta sejarah. Lalu darimana dasar berargumen BK yang mengatakan bahwa ia mengambil saripati nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Nusantara, dan memerahnya menjadi Pancasila. Padahal, animisme tidak ber-Tuhan Yang Maha Esa.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah.
Doktrin tersebut disosialisasikan pada setiap penataran P-4. Sehingga, kalau ada yang berani mengemukakan wacana lain, pasti akan dilibas habis. Tetapi, setelah Orba ambruk, berbagai teori yang menggugat asal muasal Pancasila yang konon sakti itu, justru banyak bermunculan.
Di antara teori yang muncul itu mengatakan, bahwa sila-sila pada Pancasila ternyata memiliki kemiripan yang tak terbantahkan dengan asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Menurut Abdullah Patani, sang pemilik teori, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Juga Ki Hajar Dewantara, yang diklaim sebagai bapak pendidikan nasional.
Bahkan Ki Hajar Dewantara sudah memasukkan paham Freemasonry melalui lembaga pendidikan Taman Siswa yang sekuler. Sejak awal Taman Siswa menunjukkan kecenderungan yang sangat antipati terhadap agama Islam. Antara lain, penolakannya untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum, dan menggantikannya dengan pendidikan budi pekerti.
Bung Karno adalah murid -non formal- dari Ki Hajar Dewantara dan A. Baars. Sebagai murid, ia patuh mengikuti teori yang dicanangkan sang guru. Bahkan, A. Baars sebagai guru Bung Karno, dikenal sebagai seorang Belanda yang menjadi anggota Partai Komunis pada zaman Semaun. Maka bisa dimengerti, bila Pancasila yang kemudian digagas Bung Karno, bagai bersaudara kembar dengan ‘pancasila’ milik kalangan zionis dan freemasonry. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Kemal Attaturk, salah seorang anggota freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, yaitu melakukan tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.
Karena itu, Pancasila yang digagas Soekarno bersama penyair Soneta Mohamad Yamin dan Soepomo merupakan tipudaya yang sangat nyata. Melalui Pancasila, Bung Karno dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler ini menciptakan landasan pembenaran untuk menerapkan floatisme (salah satu doktrin freemasonry).
Maksud floatisme pada dasarnya menisbikan nilai-nilai agama, mengambangkan keyakinan umat beragama, dan mendorong pemeluk agama mencari titik persamaan dari agama-agama yang mereka anut. Sehingga yang muncul ke permukaan bukan ajaran murni agama, namun sekedar budi pekerti, atau semacam aliran kepercayaan yang tidak mempunyai syariah meski mengaku bertuhan yang maha esa.
Pada masa Soekarno, terjadi perpindahan agama secara besar-besaran (ribuan orang) dari Islam ke Kristen (Protestan). Padahal seharusnya pemerintah harus mencegah setiap orang yang ingin murtad dari agama islam dengan menerapkan hukuman mati bagi yang murtad dari agama islam.
Selain keberpihakannya kepada kristenisasi, Soekarno juga sangat membela komunis. Soekarno tahu, komunisme tidak bisa subur di Indonesia karena faktor Islam. Karena itu, pertama-tama yang harus dilumpuhkan adalah kekuatan revolusioner yang benar-benar hidup di masyarakat, yaitu kekuatan revolusioner Islam.
Caranya, mengirimkan tokoh-tokoh partai Masyumi dan Syarekat Islam ke dalam penjara. Karena, mereka selama ini telah menjadi kekuatan revolusioner yang paling nyata di dalam menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Bila Belanda dan Jepang bisa dilawan, apalagi cuma komunisme. Langkah Soekarno selanjutnya menerapkan doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan neo kolonialisme, neo penjajah. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itu konsep Nasakom diperlukan. Ternyata, bahaya neo kolonialisme cuma omong kosong, hanya tipu daya Soekarno. Karena konsep Nasakom sesungguhnya hanya untuk membuat komunisme berkembang semakin pesat.
sila-sila yang diperkenalkannya itu sama dengan sila-sila yaang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Dan sila-sila itu mungkin hanya karya contekan dari asas Zionisme dan Freemasonry yang diperolehnya dari berbagai literatur.
dengan mengintrodusir Pancasila, Soekarno berusaha meredam pertumbuhan kehidupan beragama yang sehat. Sebab Pancasila pada dasarnya hanyalah floatisme yang diterapkan di Indonesia dengan nama lokal. Ketiga, melalui Pancasila Soekarno membawa bangsa Indonesia menerima paham komunis, melalui doktrin Nasakom. Upaya ini akhirnya gagal total. Maka, lahirlah Orde Baru dengan semangat floatisme yang sama.
————————————————————————————-
Siapa Mengkhianati Pancasila?
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidzhiyah Majelis Mujahidin
PANCASILA tidak bisa dikatakan sebagai karya otentik Bung Karno. Karena, sebelum BK pada 1 Juni 1945 menyampaikan rumusan Pancasila, Prof. M. Yamin sudah lebih dulu mengenal dan menyampaikan rumusan ini. Setidaknya, BK bukanlah satu-satunya, karena selain BK dan Yamin, Soepomo juga merupakan salah satu founding fathers yang memperkenalkan Pancasila kepada rakyat Indonesia.
Pancasila juga tidak bisa dikatakan merupakan perahan dari nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Alasan pertama, sila-sila yang ada pada Pancasila, persis sama dengan asas Zionisme dan Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, BK, Yamin dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
Alasan kedua, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Dari semuanya itu, hanya agama Islam memiliki konsep Berketuhanan Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Selainnya, menganut paham dan konsep bertuhan banyak.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia sejak tahun pertama Hijriah, penduduk di kawasan Nusantara ini beragama Hindu dan penganut animisme, yang tidak punya konsep Berketuhanan Yang Maha Esa.
Alasan ketiga, pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di kawasan Nusantara ini kebanyakan merupakan kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, tidak dikenal konsep Musyawarah untuk Mufakat tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh kepada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, tidak ada demokrasi, karena kedudukan raja dijabat turun-temurun.
Pada masa kerajaan Hindu, tidak ada persatuan, terjadi perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah. Tidak ada nasionalisme. Lantas, dari mana dasar berpijak BK yang mengatakan bahwa Pancasila adalah hasil perahan dari saripati nilai-nilai yang ada dan hidup di kawasan Nusantara?
Ironisnya, justru BK-lah orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Atas nama Pancasila BK berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, seni, dengan memaksakan kehendak. Ideologi Nasakom dipaksakan dengan despotis. Bahkan kesenian yang dibolehkan hanya kesenian gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Hamka, malah dipenjarakan karena melawan Lekra.
Sejak awal, nampaknya Pancasila memang tidak ditujukan untuk menjadi alat pemersatu, dan untuk mengakomodir ke-Bhinneka-an yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi, untuk menjegal peluang syari’at Islam. Hingga kini, para nasionalis sekular, dan non Muslim, menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal syari’at Islam, meski konsep Ketuhanan yang ada pada Pancasila tidak sama dengan konsep berketuhanan banyak yang mereka anut.
Faktanya, non Muslim lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan syari’at agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya di dalam menjalankan ibadahnya dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi masyarakat yang menganut anarkisme ideologis seperti ini?
Sekali lagi, Pancasila sudah kian terbukti tidak dapat diandalkan menjadi alat pemersatu. Ia cuma alat politisi busuk yang anti Islam namun mengatas-namakan ke-Bhinneka-an. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multi etnis, multi kultural dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhineka-annya mereka tidak perlu Pancasila. Begitu juga dengan Malaysia. Faktanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia.
Kondisi rakyat Indonesia di bawah naungan rezim Pancasila, justru bagai berdiri di pinggir jurang, di malam gelap gulita. Digoyang berbagai bencana, dan dipenuhi sampah maksiat. Sementara hantu birokrasi yang korup, menyebabkan rakyat Indonesia hanya mampu mengigau tentang kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan.
Inilah fakta sejarah yang betapapun pahitnya, haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Padahal sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan.
Dalam memperingati hari lahir Pancasila, pada tanggal 4 Juni 2006 di Bandung muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhinneka Tunggal Ika, mereka memposisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan, mereka menganggap agama tidak mampu memberi solusi terhadap kompleksitas problema negara.
Dalam pandangan mereka, segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama sebagai hal yang tidak dibenarkan. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung, “Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.”
Kebencian pada agama menyebabkan parameter kebenaran porak poranda, kemungkaran akhlaq merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kemaksiatan. Negeri ini, kian menjauh dari rahmat Allah!
Jangan ada lagi pihak yang sok bersih, merasa menjadi tokoh pemersatu di negeri ini. Jika berpegang pada asas ke-Bhinneka-an, maka hukum pidana di Indonesia tidak boleh hanya satu, tapi harus beragam guna menaungi masing-masing golongan, agama, budaya dan adat istiadat Dengan demikian, hukum pidana Islam harus menjadi hukum positif.
Ketika bangsa Indonesia mengadopsi sistem hidup sekuler dan menyingkirkan syari’at Islam, yang terjadi adalah malapetaka yang terus menerus. Adalah fakta, bahwa Pancasila telah gagal membangun moral, pertahanan keamanan ringkih, kesejehatraan bagi rakyat miskin, mengatasi kriminalitas, kemiskinan, pendidikan murah. Yang berhasil dibangun justru birokrasi korup, penguasa yang menyalah-gunakan wewenang, pejabat yang berkhianat kepada rakyat.
Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia, tapi diperlakukan secara tidak adil dan diskrimintaif. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, almarhum Dr. Kuntowijoyo, dalam bukunya Identitas Politik Umat Islkam. Jasa Islam bagi kebaikan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain: Pertama, Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh Tata Negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku Tata Negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas.
Kedua, Solidaritas nasional, terjalin karena peng-Islaman Nusantara menjadikan seluruh Indonesia sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasionalisme.
Ketiga, syari’at jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada tahun 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihad-lah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan terhadap komunisme pada tahun 1965-1966 adalah berkah ideologi jihad.
Keempat, kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan, jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu punya banyak Satpam. Jika tidak ada Islam yang melarang tradisi kawin sesama saudara kandung, mengharamkan pelacuran, perjudian, miras, korupsi, seperti apa Indonesia hari ini?
Sayangnya, bangsa Indonesia belum pernah secara obyektif mengakui dan kemudian mengoreksi kesalahannya. Ada banyak alasan kondisional, dimana seseorang atau suatu bangsa terjerumus pada kesesatan tanpa menyadari bahwa mereka tersesat jalan. Mereka rela berkorban apa saja, demi bangsa, demi persatuan, demi hak asasi manusia, tanpa memahami bahwa itu semua adalah sia-sia. Al-Qur’an menginformasikan hal ini, sejak 15 abad lalu:
“Katakanlah, apakah akan Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah melakukan kesesatan dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka mengira telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (Qs. Al-Kahfi, 18:103-104)