| Mera Naam Joker: Bid'ah Dan Tanda-Tanda Ahlul Bid'ah

Sabtu, 21 Mei 2011

Bid'ah Dan Tanda-Tanda Ahlul Bid'ah

 

Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :
  • Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)
  • Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)
  • Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة
Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.
  • Perkataan هذاأمرٌبديعٌ
Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.
  1. Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
  2. Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
  3. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.

Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).
Para ulama [1] salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.
Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.
Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa
Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :
  1. Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
  2. Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
  3. Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)
  4. Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.
Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid'ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid'ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid'ah namun bid'ah secara bahasa bukan definisi bid'ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid'ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah
 
AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Inilah  nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga  mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam,  hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.
***
Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar

PENGERTIAN BID'AH
Oleh : A Dani Permana
Setelah membahas masalah As Sunnah tersebut maka kini sampailah pada pembahasan mengenai bid’ah. Hal yang ditekankan pada pembahasan disini mengenai makna bid’ah, pengertian bid’ah yang dinilai Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai kesesatan dalam agama. Para ahli telah banyak mendefisinikan arti atau makna bid’ah meskipun terjadi perbedaan lafalnya yang kemudian menyebabkan perbedaan cakupan pada bagian-bagian pengertian bid’ah tersebut, tetapi tujuan akhir dari pengertian bid’ah tersebut adalah sama. Jika di tinjau dari sudut pandang bahasa, bid’ah adalah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira ‘/mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Seperti yang termaktub dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai berikut:

والمراد غالب البدع . قال أهل اللغة : هي كل شيء عمل على غير مثال سابق
“Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu”[1]
Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah tersebut diantaranya:
البدعة: طريقة مستحدثة في الدين، يراد بها التعبد، تخالف الكتاب، والسنة وإجماع سلف الأمة
“Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk ta’abudi, bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat terdahulu
البدعة في مقابل السنة، وهي : (ما خالفت الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات) ، أو هي بمعنى أعم : (ما لم يشرعه الله من الدين.. فكل من دان بشيء لم يشرعه الله فذاك بدعة
Bid’ah adalah kebalikannya dari sunnah, dan dia itu apa-apa yang bertentangan dengan al qur`an, as sunnah, dan ijma’ umat terdahulu, baik keyakinnanya atau peribadahannya, atau dia itu bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syari’atkan Allah dalam agama…maka segala dari sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
الْبِدْعَةُ فِي الشَّرِيعَةِ إحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasulullah shalallahu ta’ala ‘alaihi sallam.
وَعَنْ الْهَرَوِيِّ الْبِدْعَةُ الرَّأْيُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَلَا مِنْ السُّنَّةِ
Dan dari al Harawi bahwa bid’ah ialah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (al Qur`an) dan as Sunnah.
Ibnu Hajar al As Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan
والمراد بقوله ” كل بدعة ضلالة ” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Dan yang dimaksud dengan sabdanya “Setiap bid’ah adalah sesat” yakni apa yang diadakan dan tanpa dalil padanya dari syari’at baik dengan jalan khusus maupun umum”[2]
Menurut Ibnu Taimiyah: ‘ Bid’ah dalam agama ialah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah. Adapun yang diperintahkan dengan perintah wajib dan sunnah serta diketahui perintah-perintah tersebut dengan dalil-dalil syar’i, maka hal itu termasuk yang disyari’atkan oleh Allah, meskipun terjadi perselisihan diantara ulama di beberapa masalah dan sama saja, baik hal itu sudah diamalkan pada masa Rasulullah atau tidak.
Menurut As-Syahtibi: ‘ Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Menurut Ibnu Rajab: ‘ Yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syari’at. Adapun suatu yang ada dasarnya dalam syara’, maka bukan bid’ah meskipun dikatakan bid’ah menurut bahasa.’
Menurut As-Suyuti: ‘ Bid’ah ialah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syari’at karena menyelisihinya atau perbuatan yang menjadikan adanya penambahan dan pengurangan syari’at. ‘
Ulama bersefaham bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Iman As- Syathibi.[3] Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah menurut syara sebagai berikut:
a. Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia seperti pengadaan hasil-hasil industri dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkannya dalam syari’at. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syari’at, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syari’at secara khusus. Contohnya pada zaman kita ini orang yang membuat alat alat seperti kapal terbang, roket, tank, dll. dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syari’at tidak menjelaskannnya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum, ” Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja.” (Al-Anfal : 60). Begitu pula perbuatan-perbuatan lain yang semisal. Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syari’at dan bukan bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang-kadang dikurangi dan kadang-kadang ditambah, sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukan bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bahwa bid’ah itu hanya ada dalam hal agama/ibadah, ini sesuai dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[4]
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadist diatas dengan hadist dibawah yaitu mengenai niat dalam beribadah:
Artinya: “Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.”[5] Jadi para ulama bersepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
a. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT dan ikhlas kepada-Nya
b. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh yang beliau adalah gurunya Imam Asy Syafii, daa beliau juga adalah seorang faqih yang zaahid, ditanya tentang firman SWT, “….supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk:2), Penanya: “Amal apakah yang paling baik ??” Beliau menjawab: “yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar” Penanya: “Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab: “Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian meskipun amal ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT dan yang dimaksud dengan benar adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.[6]
Dengan demikian nyatalah bahwa segala sesuatu itu dianggap benar apabila ibadah dilakukan ikhlas dan sesuai dengan syari’at. Jika ada ulama yang berani mengatakan bahwa jika kita beribadah asalkan dengan niat yang ikhlas akan tetapi tidak dilakukan sesuai dengan syariat atau tidak ada perintahnya mengenai peribadahan tersebut akan diterima oleh Allah maka kadar keilmuan seorang ulama itu harus di pertanyakan. Bahkan ada pula sebagian dari para ustadz-ustadz di daerah yang mereka berani sekali mengatakain asalkan niat Lillahi Ta’aala maka segala sesuatunya itu bisa diterima atau ditolak itu menjadi urusan Allah. Karena manusia hanya berusaha Allahlah yang menentukan. Mereka (para ulama-ulama tersebut) lupa atau tidak mengetahui bahwa selain ikhlas harus juga sesuai/diperintahkan oleh syari’at.
Setelah hal tersebut diatas kemudian timbul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai Bid’ah hasanah. Sebenarnya ungkapan bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati suatu kaum muslimin pada zamannya melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan bahkan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)”.
Yang kemudian bisa dijadikan pertanyaan adalah apakah benar qiyamul lail dengan berjama’ah di bulan Ramadhan itu temasuk bid’ah yang dikatagorikan kepada bid’ah yang menyesatkan? Hal ini dijawab oleh Syaikh Muhammd bin Shalih al Utsaimini bahwa hal tersebut bukan bid’ah akan tetapi termasuk sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah r.a, bahwa nabi pernah melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut, kemudian beliau sholallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksakannya.”
Disini jelas sekali bahwa Umar r.a tidaklah mengada-ada atau membuat ajaran baru berupa qiyamul lail dibulan Ramadhan secara berjama’ah dengan satu imam, akan tetapi beliau r.a mencoba ingin menyatukan orang-orang yang shalatnya bersendiri-sendiri dan sebagian yang lain berjama’ah. Tidak mungkin apa yang Umar r.a ucapkan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)” adalah bid’ah yang sebagimana yang disabdakan Nabi: Setiap bid’ah itu adalah sesat.” Juga sesuatu yang tidak mungkin jikalau Umar r.a melakukan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah salah seorang hamba dikalangan sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dan beliau juga dikatagorikan sebagai golongan generasi terbaik dan termasuk Khulafa Arasyidin yang lurus dan adil.
Disamping itu pula ada pendapat imam Syafii yang disalahkan artikan dari sebagian kaum muslimin yang kemudian dijadikan kontrovesi dan perselisihan, dan sebagian para ulama berlindung pada qaul Imam Syafi’ie ini. Yaitu tentang pembagian bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi‘ah (buruk). Imam Syafi’I berkata:
عَنْ حَرْمَلَة بْنِ يَحْيَ رَحِمَهُ اللهُ قَالَ : سَـمِعْتُ الشَّا فِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : اَلْبِدْعَةُ بِدْ عَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مُحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السَّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْم .ٌ
Dari Harmalah bin Yahya rahihullah berkata: “Aku mendengar as Syafi’ie rahimahullahu ta’ala berkata: Bid’ah ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Apa yang bersesuaian dengan sunnah maka itu adalah terpuji dan apa yang bertentangan dengan sunnah berarti tercela.”[7]
وَقَالَ الرَّبِيْعُ رَحِمَهُ اللهُ : قَالَ الشَّـافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلاُمُوْرِ ضَرْبَانَ : اَحَدُهُمَا مَا اَحْدَثَ يُخَالِفُ كَتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْاِجْمَاعًا اَوْ اَثَرًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ . وَالثَانِيْ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا فَهِيَ غَيْرُ مَذْمُوْمَة.
Berkata Ar-Rabbi rahimahullah: Telah berkata as-Syafi’ie rahimahullahu Ta’ala: perkara-perkara yang diadakan terbagi dua: yang pertama apa yang di buat bertentangan dengan al-Kitab (al Qur’an), Sunnah, Ijma atau atsar, maka inilah bid’ah yang sesat. Kedua apa yang di buat berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari perkara (al Qur’ah, Sunnah, Ijma, dan atu atsar) maka itu perbuatan yang tidak tercela.[8]
“Bid’ah itu terbagi kepada yang baik dan yang buruk, atau yang terpuji dan tercela. Dalam perkara ini, termasuklah setiap yang diada-adakan selepas zaman Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan para Khulafa Ar-Rasyidin”[9]
Persoalan-persoalan qaul Imam Syafii ini telah dijelaskan oleh salafus shalih, diataranya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nasir as-Shaibani rahimahullahu dalam kitabnya اللمع فى الرد على محسني البدع hal 36 - 37.
Beliau menjelaskan qaul Imam Syafii tersebut diantaranya:
a. Tidak diterima seharusnya perkataan sesorang manusia yang bertentangan dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam walau siapapun orangnya. Sabda Nabi adalah hujjah bagi setiap orang dan bukan perkataan seseorang itu menjadi hujjah untuk menentang/meninggalkan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam[10] sedangkan nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang bid’ah:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Artinya: “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dari neraka.”[11] Dalam hal ini juga Abdulah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:
Artinya: Tidak ada pendapat seseorang (yang) dapat diambil atau ditinggalkan kecuali sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.[12] Sebagai kesimpulan bahwa pendapat seseorang itu tidak bisa berketerusan diterima bila bertentangan dengan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.
c. Bagi siapa yang mau mencoba untuk memahami tentang qaul Imam Syafii maka dia tidak akan ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksudkan dengan Imam Syafii bid’ah dari segi bahasa (لغوى) bukan syar’i (شرعي). Ini berdalilkan kenyataan dari Imam Syafii sendiri sesungguhnya setiap bid’ah dalam syara bertentangan dengan al Qur’an dan As-Sunnah. Imam Syafie sendiri mengaitkan bid’ah yang baik dengan apa yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan as-Sunnah karena setiap bid’ah bertentang dengan firman Allah dan hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Seperti firman-Nya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Artinya: Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agamamu (Al Maidah: 3) dan juga sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[13] Lalu yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh Imam Syafie sebagai bid’ah hasanah/mahmudah (baik/terpuji), yaitu pembukuan mushaf mushaf Al qur’an, kitab-kitab hadist dan shalat tarawih, ini amat tepat menurut definisi bahasa karena walaupun ia tidak ada contoh sebelumnya tetapi dia ada dasarnya dari syara yakni uncapan dari para sahabat Rasul sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga pembinaan madrasah karena menuntut ilmu itu wajib menurut syara. Jadi semua yang berkaitan dengan dunia yang tidak memudharatkan adalah sesuatu yang baru lagi baik/terpuji karena tidak bertentangan dengan syara.
Penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji sebenarnya bukanlah bid’ah, karena ia tidak melibatkan urusan agama hanya di sangka bid’ah lantaran kurang memahami istilah bid’ah menurut bahasa dan syara. Adapun bid’ah yang dianggap sesat setelah didapati secara qath’I ialah yang bertentangan dengan al Qur’an dan as sunnah dan juga tiada dalil syara yang menyertainya.
d. Sebenarnya bagi ulama yang mengetahui pendirian Iman Syafie rahimahullah yang tegas, beliau sangat teliti dalam mengikuti Sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan sangat membenci kepada muqallid (orang yang bertaqlid buta) dan orang yang menolak hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepatutnyalah seseorang itu tidak berprasangka terhadapnya sehingga kita dapati pandangan beliau terhadap hadist sahih. Terutama hadist ” Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat”. Maka dari itu yang paling tepat dan benar ialah bahwa ucapan Imam syafie ini semestinya di letakkan di tempat yang sesuai dengan hadist tersebut bukan dijadikan alasan untuk menentang hadist tersebut, karena apa yang dimaksudkan Imam syafie ialah bid’ah dari segi bahasa (lughah) bukan dari segi syara’ atau dalam persoalan agama. Imam Syafie rahimahullah menegaskan:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِهَا وَدَعُوْا مَا قُلْتُه.ُ
“Apabila kamu temui di dalam Kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berkatalah (ambil/peganglah} kamu dengan sunnah tersebut dan hendaklah kamu tinggalkan apa yang telah aku katakan.”[14]
Jika ditinjau dari segi bahasa bahwa sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Kullu” ini bermakna bahwa setiap atau semua. Kata Kullu ini juga dapat dipahami “semua atau setiap” seperti dalam Firman Allah surah Al Imran ayat 185, yang berbunyi ” Kullu nafsin zaa iqotul maut yang artinya Setiap atau Semua yang bernyawa pasti akan mati. Kullu disini mencakup segala-galanya, maka kata “Kullu”secara sah dan secara nyata bahwa tidak ada benda yang benyawa yang tidak akan mati.
Jadi sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam “Kullu Bid’atin dhalalah” sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat tanpa harus adanya bid’ah yang baik dalam hal syara’. Dengan demikian jelaslah bahwa semua dalil yang ada bersifat umum dan mutlak meskipun banyak tetapi tidak ada pengecualian sedikitpun dan sudah menjadi ketetapan ilmu ushul bahwa setiap kaidah syar’i yang umum atau dalil syar’i yang umum bila berulang-ulang di banyak tempat dan mempunyai pendukung-pendukung, serta tidak ada pembatasan dan tidak ada pengkhususan, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keumumannya
Oleh karena itu tidak layak bagi ulama zaman sekarang untuk berlindung dibalik ungkapan “Ini adalah bid’ah hasanah” bila di kaitkan dengan hal ibadah karena tidak ada jaminan dari Nabi bahwa ulama sekarang adalah sebaik-sebaiknya generasi yang disebutkan dalam sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi intinya perkataan seorang ulama boleh diterima atau di tolak terkecuali Sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang mengharuskan kita terima. Yang terpenting adalah bagaimana beramal yang ikhlas dan sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
Mengapa Islam keras terhadap permasalahan Bid’ah
Permasalahan bid’ah memanglah sangat ditentang oleh agama karena bid’ah akan membawa kesesatan dan setiap kesesatan itu berasal dari neraka, bahkan Nabi kita sendiri yang menyebutnya bahwa “setiap bid’ah itu adalah sesat.” [15] Maka dari itu sangatlah berbahaya sekali bid’ah ini, karena bid’ah bisa mematikan sunnah dan merupakan seburuk-buruknya perkara.
Saya kutipkan dari beberapa kitab hadist yang menyatakan bid’ah itu adalah sesat, dan perlu kita ketahui yang mengatakan sesat ini bukanlah dari seorang ulama akan tetapi dari Nabi kita shalallahu ‘alai sallam, diantaranya:
  • Dalam kitab Shahih Bukhari diriwayatkan sebagai berikut:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَإِنَّ مَا تُوعَدُونَ لآتٍ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ
“Berkata Abdullah sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakannya dan (sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang, dan kamu tidak sanggup menolaknya - Surah Al An’am: 134)[16]
  • Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sebagai pendahuluan sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”[17]
  • Dalam Kitab Sunan Abu Dawud diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Syariyah, Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإ ِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan dengarlah serta ta’atlah sekalipun kepada budak Habsyi, karena sesungguhnya orang hidup diantaramu sesudahku dikemudian hari maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu hendaklah kamu sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus, hendaklah kamu berpegang dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham mu (berpegang teguh) dan jauhilah oleh kamu sekalian akan perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.[18]
  • Dalam Sunan Attirmidzy diriwayatkan dari Katsir bin Abdullah dari bapaknya dari neneknya:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لِبِلاَلِ بْنِ الْحَارِثِ « اعْلَمْ ». قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « اعْلَمْ يَا بِلاَلُ ». قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أَنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِى فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ يَرْضَاهَا اللَّهُ وَر َسُولُهُ كَا نَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَا مِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذ َلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Bahwasannya Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal bin Harits (Ketahuilah) Bilal berkata: apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah, Bersabda Nabi (Ketahuilah Ya Bilal), Bilal Berkata apa yang harus aku ketahui Ya Rasulullah, Rasulullah bersabda: {Sesungguhnya siapa yang menghidupkan Sunnah dari Sunnahku yang sungguh telah dimatikan dimasa sesudahku, maka sesungguhnya ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengada-adakan bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya maka baginya seperti dosa-dosa yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi yang demikian dari dosa-dosa orang-orang itu}. Berkata Abu ‘Isa hadis ini hasan.[19]
  • Dalam Sunan An Nasaai diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِىَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَد ْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُو رِ مُحْدَثَا تُهَا و َكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Adalah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dia bersabda dalam khutbahnya dengan memuji kepada Allah dan kepadanya dan kepada keluarganya, kemudian dia bersabda barang siapa yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang menyesatkan kepadanya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada ada yang memberi petunjuk kepadanya, sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan dari neraka.”[20]
  • Dalam Mukadimah Sunan Ibnu Majah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ الْكَلاَمُ وَالْهَدْىُ فَأَحْسَنُ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللَّهِ وَأَحْسَنُ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ أَلاَ و َإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya tiada lain melainkan dua yaitu al Kalam (perkataan) dan petunjuk, maka sebaik-baiknya kalam adalah Kalam (firman) Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah hendaklah kamu menjauhi perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, ia berkata: bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَ لاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ الْعَجِين
“Allah tidak akan menerima puasanya orang yang berbuat bid’ah, tidak menerima shalatnya, tidak menerima shadaqahnya, tidak menerima hajinya, tidak menerima umrahnya, tidak menerima jihadnya, tidak menerima taubatnya, dan tidak menerima tebusannya, ia keluar dari islam sebagaimana keluarnya helai rambut dari tepung.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah bersabda:
أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Allah enggan bahwasannya menerima amal perbuatan bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya”
  • Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal diriwayatkan dari al Qasim bin Abdurrahman, dari bapaknya dari Abdullah, ia berkata:
إِنَّهُ سَيَلِى أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِى رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا. قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِى إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ قَالَ « لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ». قَالَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Sesungguhnya seburuk-buruknya perkara kamu sekalian sesudahku yaitu seseorang yang mematikan sunnah, mengada-adakan bid’ah dan mengakhirkan shalat dari waktunya, berkata ibnu Mas’ud Ya Rasulullah bagaimana apabila aku mengetahui mereka, Rasul bersabda: Ya Ibnu Ummi ‘Abdin tidak ada keta’atan bagi orang yang durhaka kepada Allah” Dia berkata tiga kali.”[21]
Disamping hal tersebut diatas Dr. Yusuf Qardhawi dalam Kitabnya As Sunnah wal Bid’ah menjelaskan mengenai bahaya bid’ah diantaranya:
a. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah Swt. Bila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya. Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah. Sebagai contoh para mufasir menafsirkan ayat:
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: Bukan jalan orang-orang dimurkai atas mereka, yaitu mereka yang telah mengetahui kebenaran yang hak tetapi tidak melaksanakannya, dan berpindah kepada yang lain seperti orang-orang Yahudi, mereka telah mengetahui kitab Allah, tetapi tidak melaksanakannya, dan pada ayat selanjutnya Bukan jalan orang-orang yang sesat (al-Fatihah: 7) yaitu orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri diluar yang digariskan oleh Allah dan para Rasul-Nya. Contoh dalam hal ini ialah kaum nasrani karena mereka mengikuti kebenaran akan tetapi mereka tidak benar dalam melakukannya sebab tidak sesuai dengan yang telah disyari’atkan.
Ada sebuah hadis yang sahih dirawikan oleh Abd bin Humaid dari ar-Rabi bin Anas, dan Riwayat Abd bin Hummaid juga dari pada Mujahid, demikian juga daripada Said bin Jubair dan hadist lain yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq, daripada Abu zar, dan diriwayatkan juga oleh Sufyan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismail bin Abu Kholid. Bahwa Ady bin Hatim r.a. bertanya kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam., “Siapakah yang dimurkai Allah itu?” Jawab Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam., “Alyahud (Yahudi)”. “Dan siapakah yang sesat itu?” Jawab Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. “An-Nashara (Kristen/Nasrani)”.
Yang wajib ditekankan ialah kepada sebab-sebab maka Yahudi dikatakan terkena murka dan sebab-sebab nasrani tersesat. Yahudi dimurkai karena mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawakan oleh rasul-rasul mereka, kisah pengingkaran yahudi tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa AS, pernah mengatakan bahwa mereka itu keras kepala, tak mau tunduk, sampai mereka membunuh Nabi-nabi Allah. Nashoro tersesat karena sangat cintanya kepada Nabi Isa Al masih, mereka katakan Isa as itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang kedunia menebus dosa manusia dan juga mereka membuat syari’at-syariat baru dan menambah-nambahkannya diluar dari yang ditetapkan oleh rasul-Nya. Oleh karena itu Allah mengecam tindakan kaum nasrani ini dengan firmannya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga (mempertuhankan) Almasih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)
Sebuah hadist yang diriwayat oleh Imam At-tarmidzy, dari Ady bin Hatim ra. “Bahwa ketika dakwah rasulullah sampai kepadanya, Ady lari menuju syam, ketika itu dia masih beragama Nasrani, akan tetapi saudara perempuannya telah masuk islam. Lalu saudara perempuannya membujuk Ady untuk memeluk Islam. Ady kemudian setuju dan kemudian datang menghadap Rasul dan keadaan dilehernya tergantung tanda salib yang terbuat dari perak. Ketika Rasul melihat salib tersebut, Rasul membaca ayat “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib dari kalangan mereka sebagai tuhan selain Allah….(at-taubah: 31). Ketika Ady mendengar ini, dia menjawab: Tidak ya Rasulullah, mereka tidak melakukan apa yang engkau katakan. Kemudian Rasul menjawab: “Tetapi mereka mengharamkan apa yang telah di halalkan, dan menghalalkan apa yang telah di haramkan oleh Allah. Dan bila ketetapan ini dilakukan oleh kaumnya, inilah yang di maksudkan bahwa mereka telah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib di kalangan mereka sebagai Tuhan mereka.
Oleh karena tersebut diatas sudah selayaknya kita sebagai mu’min tidak mengikuti pola yang telah diterapkan oleh kaum Nasrani tersebut. Bahwa mutlak yang namanya ibadah yang berkaitan dengan syari’at itu harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar kita tidak termasuk umat yang salah jalan.
b. Pembuat bid’ah memandang agama tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya. Hal ini bertentangan dengan surat Al-Maidah:3 …Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu.” Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik–Imam Darul Hijrah–bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah menghianati risalah. Dasarnya adalah ayat di atas. Agama Islam telah sempurna sesuai pernyataan ayat tersebut dan tidak membutuhkan penambahan lagi.
c. Praktek Bid’ah Mempersulit Agama dan menghilangkan sifat kemudahannya. Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah itu menjadi susah dan berat. Misalnya: Redaksi shalawat yang paling afdhal adalah shalawat yang biasa kita baca ketika Tashawud akhir. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi, Mungkin hanya 1/4 atau 1/2 menit. Namun banyak orang yang mengarang dan membuat redaksi-redaksi shalawat baru kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diperintahkan oleh Allah Swt.
d. Bid’ah dalam agama mematikan sunnah. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid’ah, niscaya energinya untuk menjalankan Sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Sebagai contoh dalam sebuah majlis dzikir yang dipimpin oleh seseorang kemudian didalamnya seseorang tersebut memerintahkan kepada pengikutnya untuk membaca misalnya Alfatihah 100X, Al Ikhlas 111 X, Annas 111 X, dan Al falaq 111 X dan sebagainya, dengan tujuan yang tidak jelas dapat ilmunya dari mana akan tetapi ia berani mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk taqarrub kepada Allah, bahkan terlebih parah lagi jikalau untuk sesuatu yang bersifat magic seperti untuk ilmu kebatinan, kekebalan dan lain sebagainya. Dan jelaslah bahwa bid’ah itu dapat menguras energinya sehingga sunnah yang berasal dari Rasulnya tidak terpelajari karena waktu habis terkuras dengan bacaan-bacaan yang bukan di syari’atkan oleh Allah dan Rasul-nya. Apakah lebih baik jika kita membuka dan mempelajari Al Quran/tafsirnya dan Kitab-kitab hadist.
e. Bid’ah dalam agama membuat manusia tidak kreatif dalam urusan-urusan keduniawian. Generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan mempelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada saat itu seperti ilmu alam, matematika, astronomi dan lain-lain menjadi ilmu yg dipelajari dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin. Mayoritas yang melatar belakangi generasi Islam pertama ini menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Misalnya: Al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar salah satunya untuk menyelesaikan masalah2 tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Karena sebagian darinya memerlukan hitungan-hitungan matematika. Kelihatan bahwa dalam bidang agama mereka semata berpegang pada nash dan Al-Qur’an sedang dalam bidang kehidupan mereka berkreasi.
f. Bid’ah dalam Agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga dapat menjadi satu barisan kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Karena Sunnah hanya satu sedang bid’ah tidak terbilang jumlahnya. Oleh karena itu, bila kita secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. [22]
Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang pada Al qur-an dan Assunah, atsar dan ijma sahabat, Tabi’in dan tabi’ut tabi’in karena mereka orang yang dinyatakan Rasulullah sebaik-baiknya generasi. Berikut firman-firman Allah serta nasihat-nasihat yang diberikan oleh Nabi-Nya dan generasi terbaik yang telah tersebut diatas dan para salafus shalih untuk tidak berpecah belah lantaran perbuatan bid’ah diantaranya:
a. Firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 102 - 103
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ - وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan perpeganglah kamu semua dengan dengan tali Allah dan jangan berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi saudara dengan nikmat-Nya dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk.
b. Firman Allah dalam Surah Al An’am ayat 153
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus[23] maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya)[24] sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu mudah-mudahan kamu bertaqwa.
c. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara untuk kamu …diantaranya: dan hendaklah kamu berpegang dengan tali Allah.”[25]
d. Dari abdullah bin Amr ra, dia berkata: ‘Rasulullah bersabda’: “Setiap amal perbuatan memiliki saat untuk semangat dan setiap semangat memiliki waktu lemah. Maka setiap waktu lemahnya kembali kepada sunnahku maka dia mendapat petunjuk, dan barang siapa waktu lemahnya kembali kepada bukan sunnahku maka dia akan celaka.”[26]
e. Hudzaifah bin Al Yaman r.a berkata: “Hai para qari (pembaca Al qur’an) bertaqwalah kepada Allah dan telusurilah jalan-orang-orang sebelum kamu, sebab Demi Allah seandainya kamu melampaui mereka (para sahabat), sungguh kamu melampaui sangat jauh, dan jika kamu menyimpang ke kanan dan kekiri maka kamu akan tersesat sejauh-jauhnya.”[27]
f. Ibnu Mas’ud berkata: “Ikutlah (sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, sebab sungguh itu (sunnah) telah cukup untuk kalian. Dan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat.” [28] Dan dia r.a juga berkata: “Berpeganglah kamu dengan ilmu (as-sunnah) sebelum diangkat, dan berhati-hatilah kamu dari mengada-adakan hal yang baru (bid’ah), dan melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara, hendaklah kalian tetap berpegang dengan contoh yang lalu.” [29] Dan dia r.a juga berkata lagi: “Sederhana dalam as sunah[30] lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah”[31]
g. Imam Azuhry berkata: Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan as-sunnah itu adalah keselamatan. Dan ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).”[32]
h. Sa’id bin Jubair[33] berkata: “mengenai ayat - Dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk” (Surah thaha: 82), yaitu senantiasa berada diatas As-Sunnah dan mengikuti al-Jama’ah).”[34]
i. Ibnu Abbas r.a berkata: “Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.”[35]
j. Imam Al Auza’i rahimahullah berkata: “Berpeganglah dengan atsar salafus shalih meskipun seluruh manusia menolakmu, dan jauhilah pendapat orang-orang (selain salafus shalih) meskipun mereka (ahli bid’ah) menghiasi perkataannya terhadapmu.”[36]*
Demikianlah nasihat-nasihat Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan pendapat para generasi terbaik dari umat ini mengenai bid’ah, maka selayaknya mereka itu semua dapat di jadikan ikutan buat kaum muslimin zaman sekarang. Hal ini mereka (para sahabat, generasi setelahnya, dan setelahnya lagi) lakukan demi murninya ajaran Islam dan tidak dikotori oleh bid’ah yang menyesatkan. Ulama-ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam sesudahnya, telah dapat kita lihat kebaikannya pada abad-abad kemuliaan, dan mereka telah bersepakat dalam mencela, memburukkan, menjauhi bid’ah dan pelakunya serta tidak ada keragu-raguan dan tawaquf (berdiam diri). [37]
Footnote

[1] Lih: Kitab Shahih Muslim bi syarah An Nawawi pada Kitab Jum’at ketika membahas masalah “Kullu Bid’atun Dhalaalah”
[2] Lih: Fathul Bari bi syarah Shahih Bukhari Kitab Al I’thisham bikitabi wa sunnah, ketika menjelaskan hadist “sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dst…
[3] Nama lengkap dari Imam As-Syathibi ialah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Gamathi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqh dan hafizh hadist dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada - sekarang). Disamping itu ia juga seorang imam madzhab Maliki. Wafat pada tahun 790H/13788 M, (lih: al-A’laam, Zerekly: 10/75). Karya-karya beliau diantaranya al-muwafaqaat fi ushul asy-syaria’ah, dan al-Iti’shaam fi bayaan as sunnah wal bid’ah.
[4] Muttafaq ‘alaih, dari ‘Aisyah r. lih: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-syawisy dan syu’aib al-arnauth, 1/211, hadist no.103, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lih al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 1/112, hadist no.32 dan Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam empat puluh hadits (atau dikenal dalam Kitab Hadist Arba’in)
[5] Penggalan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Bab Permulaan Wahyu, Muslim dalam Kitab al-Imaarah.
[6] As Sunnah wal Bid’ah karya Syaikh Yusuf Qardhawi hal 17-19
[7] Lih: Kitab الباعث على انكار البدع والحوادث karya Abi Syamah as-Syafie hal 12, dan dan juga Ibnu Hajar al Asqalani mengutipnya dalam Kitabnya Fathul Bary bi syarah Shahih Bukhari pada Kitab al I’thisham bi kitabi wa as sunnah bab “الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“, ketika beliau rahimahullah menjelaskan hadist [‏إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي ‏ ‏محمد ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وشر الأمور محدثاتها].
[8] Kitab Al Haul karya As Suyuti, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid hal: 539 dan juga Ibnu Hajar al Asqalani mengutipnya dalam Kitabnya Fathul Bary bi syarah Shahih Bukhari pada Kitab al I’thisham bi kitabi wa as sunnah bab “الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“, ketika beliau rahihullah menjelaskan hadist [‏إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي ‏ ‏محمد ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وشر الأمور محدثاتها]
[9] Lih. Al-bid’ah Tahdiidiha wa mauqif al-Islami Minha karya Izzat Ali ‘Athiah hal 160
[10] Manaqib as- Sayfie hal 469
[11] Lafazh tersebut Kitab Sunan An Nasaii dalam Kitab Shalat ‘Iedain, dan hadist semakna adalah banyak.
[12] Fatawa aimatul Muslimin I/138 karya Mahmud Khatab as-Subki
[13] Muttafaq ‘alaih, dari ‘Aisyah r. lih: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-syawisy dan syu’aib al-arnauth, 1/211, hadist no.103, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lih: al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 1/112, hadist no.32 dan Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam emapat puluh hadits (atau dikenal dalam Kitab Hadist Arba’in)
[14] Al Majmu Fatawa’ I/63
[15] HR Muslim dan Baihaqi dan Baihaqi menambahkan dalam Kitab Asma wa Sifat: Wa kullu dhalalatin fin nar dan An-Nasi’I meriwayatkan pula dengan sanad yang sahih.
[16] Lih: Shahih Bukhari Kitab Al I’thisham bi kitabi was sunnah bab al Iqtadaa`i bisunnani Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam
[17] Lih: Kitab Shahih Muslim Kitab Jum’at
[18] Lih: Kitab Sunan Abu Dawud pada Kitab As Sunnah, Sunan Ibnu Majah pada Mukadimahanya, Sunan Ad Darimy pada Kitab Mukadimah
[19] HR At Tirmidzy pada Kitab ‘Ilmu dan ia menghasankannya dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dimukadimahnya.
[20] Lih: Kitab Sunan An Nasaii pada bab Shalat ‘Ieddain.
[21] Lih: Musnad Ahmad dalam bab Musnad Abdullah bin Mas’ud ra.
[22] Lih: As Sunnah wal Bid’ah karya Dr. Yusuf Qardhawi, adapun contoh dan lain sebagainya adalah penambahan dari penulis.
[23] Ibnul qayim menafsirkan masksud dari jalan lurus ialah meng-Esa-kan Allah dalam beribadah dan menjadikan rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai satu-satunya ikutan
[24] Jalan-jalan lain tersebut ialah berbagai bid’ah, khurafat dan syubhat sebagaimana ucapan Mujahid dan lain-lain tafsir
[25] HR Al-Baghawy I/202 no.101
[26] HR Ahmad dan Ibnu Hibban
[27] As-Sunnah Ibnu Nashr dan Al Laikal I/90.
[28] AS-Sunnah Ibnu Nashr 28
[29] Ad Darimy 1/66 no. 143, al Ibanah Ibnu Baththah 1/324 no. 169
[30] Sederhana dalam sunnah maksudnya tetap dalam as-sunnah meskipun hanya mengamalkan yang wajib. Syaikh Ali Hasan berkata: Kata-kata mutiara dari sahabat rasul ini juga diriwayatkan oleh banyak sahabat lainnya seperti Abu Darda. Abul Ahwas berkata: ” Wahai Sallam, tidurlah dengan cara sunnah dan itu lebih baik bagimu daripada bangun dengan cara bid’ah.
[31] Ibnu Nashr 30, al Ibanah Ibnu Baththah 1/320 no. 161 dan Al Laikal 1/88 no. 114
[32] Ad Darimy I/58 no.16
[33] Murid dari Ibnu Abas r.a
[34] Al-Ibanah 1/323 no. 165 dan Al-Laikal 1/71 no.72
[35] Al - Itisham 1/112
[36] Kitab as-Syari’ah 63 - *Sebagian dari permasalahan ini bisa dilihat di Kitab Lammudzur Mantzur Min Qaoulin Mantzur karya Abu Abdullah Jamal bin Farihan Al-Haristi
[37] Pembahasan mengenai Sunnah dan bid’ah ini saya ambil dari beberapa kitab diantaranya: Shahih Bukhari dan Fathul Bari syarah Sahih Bukhari, Shahih Muslim bi Syarah Imam An Nawawi, Sunan Attirmidzy, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasai, Sunan Ad Daarimiy, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Al Baihaqi, Mauqif ahlus sunnah wal jama’ah min ahli ahwa` wa al bid’a oleh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili, Sunah wa al Bid’ah oleh Yusuf Qadhrawi, Ahlus sunnah wal Jama’ah oleh Abu Muhammaad Dzulqarnain, Mauqif Ahluus Sunnah wal Jama’ah min ‘ulamaaniyah oleh Muhammad ‘Abdul Haadi al Mashuriy, Mauqif Ahlus sunnah wa Jama’ah minal bid’a wa al mubtadi’ah oleh Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Man hum ahlus sunnah wal jama’ah wa man hum ahlul bid’a wa Adhalaal oleh Syaikh Islam Taqiyuddin bin Tayimiyah, Hadist Arba’in oleh Imam Nawawi, Kembali kepada Al Quran dan As Sunnah oleh KH Munawar Chalil, Fatawa al Kubra oleh Ibnu Taymiyah pada Kitab Sunnah wa Bid’ah, Tariiqah Mahmuudiyah fii Syarah Thariqah Muhammadiyah wa syari’ah nabawiyah pada bab al awalu li I’thosham bikitabi wa as sunnah.

Ahlul Bidah itu tidak bersandar kepada Al Quran dan As Sunnah serta Atsar Salafus Shalih

Penulis : Syaikh Abu Ibrahim Muhammad bin Mani
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
Ahlul Bid’ah itu tidak bersandar kepada Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah serta Atsar Salafus Shalih dari kalangan Shahabat maupun Tabi’in. Mereka hanya berpedoman dengan logika dan kaidah bahasa. Dan kamu akan temukan mereka itu tidak mau berpedoman dengan kitab-kitab tafsir yang ma’tsur (bersambung riwayat dan penukilannya). Mereka hanya berpegang dengan kitab-kitab adab (sastra dan tata bahasa) serta kitab-kitab ilmu kalam (filsafat dan logika). Kemudian dari sinilah mereka membawakan pendapat dan pemikiran mereka yang sesat.” (Al Fatawa 7/119)
Imam Abu ‘Utsman Ismail Ash Shabuni rahimahullah mengatakan (Aqidah Salaf Ashabul Hadits halaman 114-115) –ketika menerangkan sikap dan pendirian Salafus Shalih terhadap bid’ah dan Ahlul Bid’ah– :
Salafus Shalih membenci Ahlul Bid’ah yang (mereka itu) mengada-adakan perkara baru dalam agama ini yang (justru) bukan berasal dari agama itu sendiri. Salafus Shalih tidak mencintai Ahlul Bid’ah, tidak mau bersahabat dengan mereka, tidak mendengar perkataan mereka, tidak duduk bermajelis dengan mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam masalah agama, bahkan tidak mau berdialog dengan mereka. Salafus Shalih selalu menjaga telinga jangan sampai mendengar kebathilan Ahlul Bid’ah yang dapat menembus telinga dan membekas di dalam hati, dan akhirnya menyeret segala bentuk was-was dan pemikiran-pemikiran yang rusak.”
Dan mengenai sikap terhadap mereka (Ahlul Bid’ah) ini, Allah Ta’ala berfirman :
“Dan jika kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka mengadakan pembicaraan yang lain.” (Al An’am : 68)
Saya (Abu Ibrahim) katakan :
Salafus Shalih –radhiallahu ‘anhum– telah memperingatkan kita agar tidak memperhatikan kitab-kitab bid’ah yang dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang sangat besar. Karena sesungguhnya hati manusia itu sangat lemah, sedangkan syubhat (kerancuan) itu sangat cepat menyambar. Dan sangat disayangkan, karena kebanyakan para pemuda Muslim dewasa ini (lebih senang) membaca buku-buku Ahlul Ahwa’ (Ahlul Bid’ah) dan orang-orang yang sesat (menyesatkan), mereka mengembangkan kepribadian mereka dengan berdasarkan buku-buku tersebut, kemudian mereka kembali (setelah merasa cukup menguasainya) untuk memerangi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Ahlus Sunnah serta memerangi Manhaj Salafus Shalih yang haq. Fa Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.”
Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muflih, mengatakan (dalam Al Adabus Syari’ah 1/125) : “Dan adalah Salafus Shalih itu selalu melarang manusia duduk bermajelis dengan Ahlul Bid’ah, membaca kitab-kitab mereka, dan memperhatikan ucapan mereka.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan (dalam Ath Thariq Al Hakimiyah halaman 227) : “Tidak perlu adanya jaminan (minta izin) untuk membakar buku-buku sesat dan memusnahkannya.”
Beliau melanjutkan : “Semua kitab-kitab tersebut isinya mengandung berbagai perkara yang menyeleweng dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tanpa ada tuntunan di dalamnya, bahkan diizinkan untuk merusak dan memusnahkannya. Tidak ada yang lebih besar bahayanya bagi umat ini dibandingkan dengan buku-buku tersebut. Para Shahabat telah membakar segenap mushaf yang menyelisihi mushaf ‘Utsman karena mereka takut akan bahaya yang menimpa umat ini akibat perbedaan yang terdapat dalam mushaf-mushaf tersebut. Lalu, bagaimanakah halnya seandainya mereka (para Shahabat tersebut) melihat kitab-kitab sesat yang telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah ummat ini??” (Ibid halaman 327-328)
Demikian kata beliau. Maksud ucapan beliau ini adalah, bahwa segenap kitab sesat yang mengandung kedustaan dan kebid’ahan, wajib dirusak dan dimusnahkan dan ini lebih utama (lebih besar pahalanya) daripada merusak alat-alat permainan atau alat-alat musik dan merusak bejana-bejana tempat menyimpan khamer (segala yang memabukkan), karena mudlarat (kerusakan) yang ditimbulkan kitab-kitab sesat ini jauh lebih besar daripada mudlarat yang ditimbulkan oleh alat-alat permainan, musik, ataupun khamer. Maka tidak perlu jaminan (minta izin) untuk merusak dan memusnahkannya sebagaimana tidak perlu jaminan (minta izin) untuk merusak bejana-bejana penyimpanan atau penampungan khamer. (Ibid. Halaman 329)
Saya katakan pula : “Maka bagaimanakah seandainya Ibnul Qayyim rahimahullah melihat tulisan-tulisan Sayyid Quthb, Al Ghazali, dan At Turabi serta tokoh-tokoh Ahlul Bid’ah lainnya, yang semua mengandung kesesatan dalam ‘aqidah dan penyimpangan yang sangat jauh dari Manhaj Salafus Shalih –radhiallahu ‘anhum–. Wallahu Al Musta’an.” Nukilan Imam Adz Dzahabi Dalam Kitab Mizanul I’tidal (1/431)
Sa’id bin ‘Amru Al Bardza’i mengatakan :
Saya menyaksikan Abu Zur’ah ketika ditanya tentang Al Harits Al Muhasibi dan kitab-kitabnya, mengatakan kepada si penanya : ‘Jauhilah oleh kamu kitab-kitab bid’ah dan sesat ini. Hendaknya kamu berpegang dengan atsar (riwayat) Salafus Shalih, karena sesungguhnya kamu akan dapatkan darinya sesuatu yang mencukupi kamu.’ Ada yang berkata kepada beliau : ‘(Tapi) di dalam kitab-kitab ini terdapat ‘ibrah (pelajaran berharga).’
Abu Zur’ah mengatakan : ‘Barangsiapa yang tidak dapat mengambil pelajaran dari dalam Kitab Allah, maka tidak ada pelajaran (‘ibrah) baginya dari kitab-kitab ini. (Bukankah) telah sampai kepada kalian bahwa Sufyan, Malik, dan Al Auza’i telah menulis kitab-kitab yang membahas tentang bahaya bisikan dan syubhat. Sungguh alangkah cepatnya manusia itu (terlempar) menuju bid’ah.’ “
Nasehat
Saudaraku para penuntut ilmu yang Sunni Salafi. Ketahuilah, wajib bagi kamu untuk mendapatkan ilmu syari’at ini dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah yang shahihah dan dari karya-karya ‘Ulama Salafus Shalih, karena di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Dan berhati-hatilah kamu, jangan sampai kamu menerima ilmu ini dari Ahlul Bid’ah. Jadi, janganlah kamu mengambil ilmu ini dari kaum Rafidlah (Syi’ah), atau Khawarij, Quburi (yang mengkeramatkan kuburan), Hizbi (fanatik terhadap kelompok dan golongannya dengan cara yang tidak syar’i), atau Sururi.
Dan Muhammad bin Sirrin pernah menyatakan : “Ilmu ini adalah agama, oleh karena itu, perhatikanlah oleh kalian dari siapa kalian mendapatkan agama ini.” (Mukadimah Shahih Muslim)
Sufyan Ats Tsauri pernah mengatakan : “Barangsiapa yang mendengar (uraian) dari Ahlul Bid’ah, maka Allah tidak akan memberinya manfaat tentang apa yang didengarnya itu.” (Al Kifayah. Al Khatib Al Baghdadi)
Semoga Allah memberi taufiq kepada kami dan kepada kamu untuk mengikuti dan meneladani Salafus Shalih.
Nukilan ‘Abdullah bin Ahmad dari Ayahnya (Imam Ahmad bin Hanbal) dari Al ‘Ilal (1/108)
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan :
[ Saya mendengar ayah berkata : Salam bin Abi Muthi’ adalah orang yang tsiqah (terpecaya). Telah bercerita kepada kami Ibnu Mahdi darinya, (kemudian ayah berkata) : Abu ‘Awanah pernah menulis kitab yang berisi kejelekan dan ‘aib para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan juga bencana dan fitnah-fitnah. Lalu datanglah Salam bin Abi Muthi’ dan berkata : Wahai Abu ‘Awanah. Berikan kitab itu kepadaku. Maka Abu ‘Awanah memberikan kitab itu kemudian diterima oleh Salam lantas dibakarnya.
Ayahku berkata : Salam itu adalah salah seorang shahabat Ayyub dan ia seorang yang shalih. ]
Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Maghrawi dalam Al ‘Aqidah As Salafiyah (halaman 33-49) menyatakan :
Para ‘Ulama Ahlus Sunnah di Kordoba menyatakan bolehnya membakar (memusnahkan) kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Para pelajar (penuntut ilmu) dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Kordoba menamakan kitab tersebut dengan Imatatu ‘Ulumuddin (Mematikan Ilmu-Ilmu Agama).
“Penyusun kitab Al ‘Aqidah As Salafiyah telah menghimpun beberapa sebab hakiki mengapa kitab Ihya’ ‘Ulumuddin harus dimusnahkan, kata beliau :
Pertama : Kitab ini penuh dengan kebohongan atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kedua : Kitab ini merupakan penyebab utama timbulnya bid’ah yang tersebar di kalangan sufi dan yang lainnya.
Ketiga : Di dalam kitab ini banyak terdapat bencana yang mengerikan dan kesesatan dalam ‘aqidah.
Keempat : Persaksian para ‘Ulama Al Kitab dan As Sunnah tentang Ihya’ ‘Ulumuddin, bahwa sesungguhnya kitab ini adalah kitab sesat, wajib dibakar dan dijauhkan dari kaum Muslimin agar mereka tidak tersesat oleh kesesatan yang ada di dalamnya.”
Syaikh Hamud At Tuwaijiri rahimahullah mengatakan (Al Qaulul Baligh halaman 91)
[ Semoga Allah merahmati Imam Muhammad bin Ismai’il Ash Shan’ani karena menyatakan pujian terhadap Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam bentuk sya’ir :
Telah mereka bakar dengan sengaja
Kumpulan bukti-bukti yang mereka dapatkan di dalamnya terdapat bukti-bukti yang terlalu tinggi untuk dihitung
Melampaui batas yang dilarang dan kedustaan yang terang-terangan, tinggalkanlah jika kau ingin mengikuti petunjuk
Ucapan-ucapan yang tidak pantas disandarkan kepada seorang yang berilmu yang tidak bernilai sepeserpun dibanding dengan uang tunai
Orang-orang bodoh tersebut menjadikannya sebagai dzikir yang memberikan mudlarat
Mereka memandang lenyapnya bukti-bukti tersebut lebih suci daripada pujian
Sungguh sangat membahagiakanku apa yang datang kepadaku dari jalan beliau ]
Beberapa Catatan Penting
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Al Fatawa 4/155) :
“Syi’ar Ahlul Bid’ah itu adalah meninggalkan ittiba’ (mengikuti) terhadap Salafus Shalih.”
Beliau juga mengatakan : “Tidak ada celanya orang-orang yang menampakkan madzhab Salafus Shalih dan menisbatkan (menasabkan diri) kepada mereka atau menggabungkan diri kepada mereka, bahkan wajib untuk menerima semua itu berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, karena sesungguhnya madzhab Salafus Shalih itu tidak lain adalah yang haq (yang benar).” (Ibid 4/129)
Fatwa Syaikh Shalih Fauzan
Syaikh ditanya : “Bagaimana pendapat yang haq (benar) tentang orang yang membaca buku-buku bid’ah dan mendengar kaset-kaset ceramah mereka (Ahlul Bid’ah)?”
Beliau mengatakan : ”Tidak boleh membaca buku-buku bid’ah, mendengar kaset-kaset mereka kecuali orang-orang yang ingin membantah dan menerangkan kesesatan mereka kepada ummat.” (Al Ajwibah Al Mufidah halaman 70)
Fatwa Muhaddits Negeri Yaman, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah
Tentang bolehnya membakar kitab Al Khuthuth Al ‘Aridlah ‘Abdur Razzaq As Sayaji ini, Syaikh mengatakan (dalam kaset Min Wara’i At Tafjirat fi Ardlil Haramain) beberapa fatwa tentang kitab ini, di antaranya boleh membakar kitab ini (yakni kitab Khuthuth Al ‘Aridlah). Dan Syaikh juga mengingatkan agar kita berhati-hati dari Majalah As Sunnah yang diterbitkan oleh Muhammad As Surur. Beliau menyebutkan bahwa majalah ini lebih pantas dinamakan dengan Majalah Al Bid’ah.
Saya katakan bahwa perkara ini memang seperti yang dikatakan oleh Syaikh. Karena sesungguhnya Majalah As Sunnah itu membawa fitnah dan bencana yang di dalamnya terdapat tikaman (cercaan, caci maki, dan sebagainya) terhadap ‘Ulama Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits yang semua itu –ditampilkan mereka seakan-akan– bernaung di bawah bendera Sunnah dengan kalimat yang haq tapi –sebenarnya– yang dimaukan mereka adalah kebathilan. Dan majalah ini –dengan berbagai dalil yang mereka keluarkan– justeru menyimpang jauh dari As Sunnah dan Manhaj Salafus Shalih. Seandainya mereka memang –sungguh-sungguh– mengajak ummat untuk kembali berpegang dan mengamalkan Sunnah dengan benar, maka salah satu ciri da’i yang mengajak kepada (pengamalan) As Sunnah itu adalah mencintai Ahlus Sunnah dan para ‘Ulamanya.
Abu ‘Utsman Isma’il Ash Shabuni mengatakan dalam ‘Aqidah Salaf (halaman 118) –menukil dari Abu Hatim Ar Razi rahimahumallahu– :
“Tanda-tanda (ciri-ciri) Ahlul Bid’ah adalah cercaan mereka terhadap Ahlul Atsar (Ahlul Hadits).”
Imam Ahmad bin Sinan rahimahullah mengatakan :
“Tidak ada satupun Ahlul Bid’ah di dunia ini melainkan ia pasti membenci Ahlul Hadits. Dan jika seseorang berbuat satu saja kebid’ahan, niscaya tercabutlah manisnya hadits Rasulullah dari dalam hatinya.” (Ibid halaman 116)
Fatwa Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili
Beliau mengatakan (Mauqif Ahlis Sunnah 2/630) –tentang hukuman terhadap Ahlul Bid’ah– : “Dengan membakar dan memusnahkan buku-buku mereka, ini sesungguhnya menjadi hukuman bagi mereka, juga untuk menolak kerusakan yang timbul akibat perhatian manusia terhadap buku-buku mereka dan membacanya sehingga membahayakan (keyakinan dan prinsip) mereka dalam agama mereka. Hal ini telah diperintahkan oleh Salafus Shalih bahkan mereka sangat mendorong ummat untuk melakukannya.”
Faidah Dan Pelajaran Yang Dapat Diambil
Muhammad bin Sirrin mengatakan : “Sebenarnya ‘Imran bin Haththan adalah seorang tokoh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, kemudian ia menikah dengan seorang wanita Khawarij dengan cara madzhab Khawarij, katanya : ‘Saya menikahinya agar dapat membimbingnya.’ Namun ternyata wanita itu akhirnya justeru menyesatkannya, lalu sesudah itu iapun menjadi salah satu tokoh Khawarij.” (As Siyar 4/214)
Fatwa Imam Malik rahimahullah
Imam Malik, Imam Darul Hijrah, menyatakan : “Tidak boleh menyewakan kitab-kitab Ahlul Ahwa’ (pengekor hawa nafsu) dan Ahlul Bid’ah sedikitpun.” (Jami’ Bayanil Ilmi 2/942 tahqiq Abul Asybal Az Zuhairi)
Dari penjelasan yang telah disebutkan ini, maka jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya Manhaj Salafus Shalih dalam berurusan dengan buku-buku bid’ah tegak dengan kokoh di atas pemahaman yang dalam terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh buku-buku tersebut.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Barangsiapa yang berbuat curang terhadap kami, bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim Syarh An Nawawi 4/282. At Tirmidzi dalam Tuhfah 4/544)
Beliau menyatakan demikian dalam perkara jual beli, maka bagaimana pula dengan orang-orang yang menipu (berbuat curang) terhadap ummat ini dalam ‘aqidah dan pokok-pokok agamanya. Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi bahwa peringatan kepada manusia agar mereka menjauhi buku-buku Ahlul Bid’ah itu lebih diutamakan dan didahulukan dari yang lainnya.
Akhir dari pembahasan ini, tidak lupa saya tunjukkan apa yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berupa penjelasan beliau mengenai buku-buku Ahlul Ahwa’ di jaman ini yang semuanya penuh dengan kesesatan dalam ‘aqidah dan Manhaj. Anda akan dapati semua itu dalam karya-karya beliau seperti Adlwa’ul Islamiyah ‘ala ‘Aqidati Sayyid Quthb, Membongkar Pandangan Al Ghazali Terhadap As Sunnah dan Ahlus Sunnah, dan Jama’ah Wahidah La Jama’at Wa Shirath Wahidah Laa ‘Asyarat, dan lain-lain.
Dikumpulkan oleh Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Mani’ Al Anasi Al Atsari. Semoga Allah memberi taufiq kepada penyusun, penterjemah, dan pemeriksa serta para pembaca sekalian agar dapat istiqamah di atas Al Haq, Amiin.
Manhaj Salaf Dalam Mensikapi Buku-Buku Ahlul Bid’ah
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXIX/1419 H M, karya Syaikh Abu Ibrahim Muhammad bin Mani’. )
Sumber: Salafy.or.id Penulis : Syaikh Abu Ibrahim Muhammad bin Mani Judul: Manhaj Salaf Dalam Mensikapi Buku-Buku Ahlul Bid’ah

Batas Akhir Makan Sahur, Adakah Imsak?



1. Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur
Al-Imam Al-Bukhari memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahihnya :
“Bab Firman Allah ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan). Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa sebelumnya tidak bisa menahan nafsu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang gauilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan maksud dari bab tersebut, yaitu dalam rangka menjelaskan keadaan kaum muslimin (para shahabat) pada saat nuzul (turun)nya ayat di atas. Bahwa dari sebab nuzul ayat ini diketahui tentang permulaan disyari’atkannya sahur. Al-Imam Al-Bukhari menjadikan bab ini sebagai bab permulaan untuk bab-bab berikutnya yang menjelaskan tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan makan sahur. (Fathul Baari Bab Firman Allah subhanahu wa ta’ala : أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلَى نِسَائِكُمْ hadits no.1915)
Kemudian Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits Al-Barra‘ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتَهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : ( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) [رواه البخاري رقم : 1915؛ وأبو داود رقم : 2314].
Dahulu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka bershaum kemudian tertidur sebelum sempat berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum pada malam tersebut dan siang hari berikutnya hingga datang waktu berbuka lagi. Ketika suatu hari seorang shahabat (bernama) Qois bin Shirmah Al-Anshari bershaum, tatkala tiba waktu berbuka, dia datang kepada istrinya seraya berkata : “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu.”. Padahal dia (Qais) telah bekerja keras sepanjang siang, sehingga (sambil menunggu istrinya datang) akhirnya ia tertidur lelap. Kemudian sang istri datang. Ketika ia melihat sang suami tertidur ia pun berkata : “Sungguh telah rugi engkau!
Akhirnya pada pertengahan siang berikutnya Qais pun jatuh pingsan. Kemudian peristiwa ini dikabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan)
Maka para shahabat pun sangat berbahagia dengan turunnya ayat tersebut. Lalu turun juga ayat berikutnya :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) البقرة: ١٨٧
Artinya;” Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (Al-Bukhari hadits no. 1915)
Dari hadits ini terdapat keterangan tentang kondisi permulaan ketika diwajibkannya shiyam, yaitu apabila ada diantara mereka yang tertidur sebelum ifthar maka tidak boleh baginya makan dan minum sepanjang malam tersebut sampai datang waktu ifthar di hari berikutnya. Demikian pula cara shaum Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari As-Suddi v dan selainnya dari kalangan ahli tafsir, dengan lafazh :
كُتِبَ عَلَى النَّصَارَى الصِّيَامُ، وَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لاَ يَأْكُلُوا وَلاَ يَشْرَبُوا وَلاَ يَنْكِحُوا بَعْدَ النَّوْمِ، وَكُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوَّلاً مِثْلُ ذَلِكَ حَتَّى أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَذَكَرَ الْقِصَّةَ .
Telah diwajibkan kepada kaum Nashara bershaum, dan bahwa tidak boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan senggama setelah tertidur. Diwajibkan atas kaum muslimin pada mulanya seperti itu, sampai terjadi peristiwa yang menimpa seorang pria dari Anshar.”
Kemudian beliau menyebutkan kisahnya.
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar melalui jalur riwayat Ibrahim At-Taimi dengan lafazh :
كَانَ المُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الإِسْلاَمِ يَفْعَلُونَ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ الكِتَابِ : إِذَا نَامَ أَحَدُهُمْ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى القَابِلَةِ
Kaum Muslimin pada permulaan Islam melakukan shaum seperti cara yang dilakukan oleh Ahlul Kitab, yaitu apabila seorang di antara mereka tertidur (sebelum berbuka) maka tidak boleh makan hingga tiba (waktu berbuka) keesokan harinya.”
Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash secara marfu‘ :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ (رواه مسلم )
Pembeda antara shaumnya kita dengan shaum Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (Muslim hadits no. 46 – [1096]); (Fathul Bari syarh hadits no. 1915)
Para shahabat sangat bergembira dengan turunnya ayat 187 surat Al-Baqarah tersebut. Mereka paham dari kandungan ayat tersebut bahwa apabila jima‘ ( َالرَّفَثُ ) dihalalkan berarti makan dan minum tentunya lebih dihalalkan.
Kemudian turun lanjutan ayat berikutnya : ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…) yang secara nash (konteks zhahir) dari ayat ini semakin menegaskan dihalalkannya makan dan minum pada malam hari Ramadhan. Ini semua adalah dari rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.
2. Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum, Bid’ahnya Imsyak
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ) البقرة: ١٨٧
Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitamg, yaitu waktu fajar.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Imam Al-Bukhari membawakan bab khusus untuk ayat ini (( وَكـُلـُوا وَاشْرَبُوا …)) dalam rangka menerangkan batas akhir dibolehkannya makan sahur dan dimulainya ash-shaum. Kemudian beliau menyebutkan hadits Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) عَمَدْتُ إلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإلَى عِقَالٍ أبْيَضَ فَجَعَلْتُهَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلَ فَلاَ يَسْتَبِيْنَ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ r فَذَكَرْتُ لَهُ، فَقَالَ : (( إنَّمَا ذلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ )).
“Ketika turunnya ayat (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) saya mencari tali hitam dan tali putih, saya letakkan di bawah bantal, kemudian saya mengamatinya di malam hari dan tidak nampak. Keesokan harinya saya menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan saya ceritakan kepadanya, kemudian beliau berkata : Yang dimaksud dengannya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” (Al-Bukhari hadist no. 1917)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan maksud ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ dengan kegelapan malam dan cahaya siang, tidak seperti yang disangka oleh Adi bin Hatim dan beberapa shahabat lainya. Hal ini terjadi karena nuzul (turunnya) ayat ( مِنَ اْلفَجْرِ) tidak bersamaan dengan ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا melainkan turun sesudahnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu:
أُنْزِلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) ، وَلَمْ يَنْزِلْ (( مِنَ اْلفَجْرِ))، فَكَانَ رِجَالٌ إذا أرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ اْلخَيْطَ اْلأبْيَضَ وَالخَيْطَ الأسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لهُ رُؤْيَـتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدُ (مِنَ الْفَجْرِ ) ، فَعَلِمُوا أنَّهُ إنَّمَا يَعْنِي الليْلَ وَ النـَّهَارَ.
“Ketika turun ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ ..)) dan belum turun potongan ayat selanjutnya ((مِنَ اْلفـَجْرِ)), dahulu para shahabat jika ingin bershaum maka salah seorang diantara mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya dan melanjutkan makan sampai jelas perbedaan antara keduanya, kemudian Allah subhanu wata’ala menurunkan ((مِنَ اْلفـَجْرِ)) sehingga mereka faham bahwa yang dimaksud dengannya adalah cahaya siang dan kegelapan malam.” (Al-Bukhari (hadits no. 1917, Muslim (hadits no. 35-1901)
Atas dasar ini jelaslah permulaan waktu shaum, yaitu dimulai sejak munculnya fajar yang kedua atau fajar shadiq. Karena fajar itu ada dua macam :
1. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ : فَأَمَّا اْلفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيْهِ وِلاَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ، وَأَمَّا اَّلذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلاً فِي اْلأُفُقِ فَإنَّهُ تُحِلُّ الصَّلاَةُ وَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ ( رواه الحاكم )
Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” HR. Al-Hakim (1)
2. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang ( mendatar ). Sebagaimana terdapat dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ.
وفي رواية : هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
Janganlah adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang mendatar bukan yang menjulang ke atas.” ( Muslim hadits no. 1093)
Oleh karena itu seharusnya bagi kaum muslimin untuk menghidupkan sunah Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa mengangkat dua orang muadzin, dan adzan subuh dua kali, untuk membantu ketika hendak melakukan ibadah ash-shaum dan shalat serta yang berkaitan dengan keduanya. Demikianlah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiAllahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, beliau mengatakan :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقولُ : (( إنَّ بلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أذَانَ ابْنِ أمِّ مَكْتومٍ ))
Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.” (Muslim hadits no. 37-1092)
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur periwayatan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafazh :
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لاَيُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.” ( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918, 1919)
Bid’ahnya Imsak
Atas dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.
Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :
Termasuk dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentnya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah. Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir orang dari kalangan kaum muslimin. Bahkan mereka tidak mengumandangkan adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah menyelisihi sunnah, yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya kejelekan pada ummat ini.” ( Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957)
—————-
[1] Mustadrok Al-Hakim no. 691.
Asy-Syaikh Muqbil tidak mengomentarri kedua riwayat ini dalam kitab beliau Tatabbu’ Awhamil Hakim, sedangkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191, 395), Ad-Daruquthni (2/125), dan Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas … Ibnu Khuzaimah berkata tidak ada yang memarfu‘kan hadits ini di dunia selain Abu Ahmad Az-Zubairi. Al-Hakim berkata sanadnya shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Baiahaqi menganggap hadits ini memiliki penyakit karena selain Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri secara maukuf dan dia berkata yng lebih tepat adalah mauquf . Saya (Al-Albani -peny) berkata Abu Ahmad Az-Zubairi -namanya adalah Muhammad bin Abdillah Az-Zubair – keadaannya adalah tsiqoh akan tetapi mereka (Ahlul Hadits- peny) menyatakan bahwa riwayatnya dari Ats-Tsauri ada kesalahan akan tetapi hadits ini memiliki syawahid yang banyak yang menunjukkan keshohihannya, diantaranya dari Jabir yan dikeluarkan Al-Hakim (1/191), Baihaqi (4/215), dan Al-Hakim menshohihkannya yang disepakati oleh Adz-Dzahabi … .
3. Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat
Termasuk dalam sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih, di antaranya riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ r
Saya pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk mendapatkan sujud bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .”( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920)
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي r ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ.
قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ قال قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh.
Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : Berapa jarak antara adzan dengan sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama bacaan lima puluh ayat.” (Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097])
Waktu Terakhir untuk Makan Sahur
Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana firman Allah I :
)وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ(
Silakan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” Q.S. Al-Baqarah : 187
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha, berkata :
إنَّ بلاَلاَ كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ rكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ )رواه البخاري(
Sesungguhnya Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” ( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].)
Sebagian ‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
إِذَا سَمِعَ أحَدُكمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقضِيَ حَاجَتهُ مِِنْهُ )رواه أبو داود والحاكم(
Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) (Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no. 732, 743, dan 1552.)
Sebagian pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di atas.
Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :
1. Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan kondisi tersebut diatas .
2. Bahwa adzan yang dimaksud diatas adalah adzan yang terjadi sebelum fajar, hal ini semakna dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 25 hal.216.
4. Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur
Di antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umat ini adalah agar mereka membedakan diri dengan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik, baik dalam perkara ibadah ataupun akhlak.
Allah subhananu wa ta’ala mewajibkan kepada kaum muslimin ash-shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelumnya, sebagaimana dalam ayat :
يأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا كتِبَ عَلَيْكمُ الصِّيَامَ كمَا كتِبَ عَلى الذِيْنَ مِنْ قَبْلِكمْ لعَلكمْ تَتَّقونَ( )سورة البقرة :183(
Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Namun ada beberapa perkara dalam ash-shaum yang kita diperintahkan untuk membedakan diri dengan Ahlul Kitab, antara lain :
1. As-Sahur, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan dalam sebuah hadits dari shahabat ‘Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتابِ أَكْلَة السَّحَرِ )رواه مسلم
Pembeda antara shaumnya kita dengan shaumnya ahlul kitab adanya makan sahur.” (Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 46-[1096])
2. Bolehnya makan dan minum serta jima’ walaupun tertidur sebelum melakukan ifthor (berbuka). Sementara dalam shaumnya Ahlul Kitab bahwa barang siapa yang tertidur sebelum sempat berifthor maka dilarang baginya makan dan minum pada malam itu sampai keesokan harinya, sebagaimana telah disebutkan pada pembehasan sebelumnya.
3. Menyegerakan ber-ifthor (berbuka) sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأََِنَّ اليَهُودَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ )رواه أبو داود و ابن حبان و ابن خزيمة وابن ماجه و الحاكم(
Akan terus Islam ini jaya selama kaum muslimin masih menyegerakan berbuka (if-thor), karena sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashoro selalu menundanya.” (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Daud no. 2353 dan Shohih Targhib no. 1075, dan Syaikh Muqbil tidak memberikan komentar terhadap hadits ini (lihat Tatabbu’ Awhamil Hakim hadits no. 1574).)
Perlu kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan terdapat padanya barakah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً )متفق عليه(
Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur ada barokah.” (Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923 dan Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 45-[1095], An Nasai hadis no : 2146 -2150, Ibnu Majah no : 1692)
Diantara barokah yang dikandung pada makan sahur adalah :
1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam),
2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,
3. Memperkuat diri dalam ibadah,
4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,
5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,
6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.
Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi (Lihat Fathul Baari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923.).
——————–
[1] Sahur (السحور) dalam bahasa Arab memiliki dua bacaan dengan huruf as-siin yang difathah (السَحور)bermakna makanan yang digunakan untuk makan sahur, dan dengan didhommah (السُحور) bermakna perbuatan makan sahur itu sendiri (lihat Syarh Shohih Muslim Kitab Ash-shiyam Bab. 9 (hadits no. 45-[1095]).



Tanda-tanda Ahlul Bidah

Ahlul bidah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka mudah dikenal. Dalam al-Quran dan haditsnya Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang sebagian tanda-tanda mereka untuk dijadikan peringatan bagi umat dari bahaya mereka dan larangan mengambil jalan hidup mereka. Para Salaf pun telah menerangkan masalah ini.

Saya akan menyampaikan sebagian dari tanda itu yang dengan tanda itu mereka membedakan diri. Sebagai jembatan penolong supaya mengerti tentang mereka Insaya Allah. Termasuk tanda-tanda mereka adalah:

1. BERPECAH-BELAH
Sesungguhnya Allah taala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Quran. Ia berkata ,Janganlah kalian menjadi orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan mereka mendapatkan adzab yang besar. Ia berfirman,Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka (terpecah-belah menjadi beberapa golongan) tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini,Ayat ini secara umum menerangkan orang yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan padanya. Barang siapa yang berselish padanya maka merekalah golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah taala berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syiar ahli bidah adalah perpecahan,Oleh karena itu al-Firqatun Najiah disfati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka adalah jumhur dan kelompok terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah ini ialah menyelisihi al-Quan, as-Sunnah serta ijma.

2. MENGIKUTI HAWA NAFSU
Dialah sifat mereka yang paling kentara. Allah taala berkata mensifati mereka, Maka kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.

Ibnu Katsir berkata, Yakni ia berjalan dengan hawa nafsunya. Apa yang dilihat baik oleh hawa nafsunya maka ia lakukan dan apa yang dilihatnya jelek maka ia tinggalkan. Inilah manhaj Mutazilah dalam menganggap baik dan jelak denga logika mereka.

Nabi telah mengabarkan bahwa hawa nafsu tidak akan terlepas dari ahli bidah dalam hadits perpecahan di mana beliau mengatakan,Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh dua puluh millah dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menadi tujuh puluh tiga millah -yakni hawa nafsu- semuanya di neraka kecuali satu millah yaitu al-Jamaah.

Sesunguhnya akan muncul pada umatku beberapa kaum hawa nafsu mengalir pada mereka sabaimana mengalirnya penyakit anjing dalam tubuh mangsanya. Tidak tersiksa darinya satu urat dan persendian pun kecuali diamasukinya.

3. MENGIKUTI AYAT-AYAT YANG SAMAR
Sifat mereka ini telah Allah kabarkan dalam firman-Nya,…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang samar untuk menimbukan fitanh dan untuk mencari-cari takwilnya.

Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah katanya,Rasulullah membaca ayat ini,Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu di antara isinya ada aya-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pkok isi ajaran al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya ...sampai ayat ... orang-orang yang berakal. Ia berkata, Rasulullah, berkata, Bila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutashyabihat maka merekalah yang Allah namakan sebagai orang-orang yang harus dijauhi.

Dari Amiril Mukminin Umar bin Al-Khathab katanya,Akan datang manusia mendebat kalian dengan ayat-ayat mutaysabihat maka balaslah mereka dengan sunah-sunnah karena Ahlus Sunnah lebih mengetahui akan kitabullah.

4. MEMPERTENTANGKAN SUNNAH DENGAN AL-QURAN
Termasuk tanda ahli bidah adalah mempertentangkan al-Quran dengan sunnah dan merasa cukup mengambil al-quran dalam pelaksanaan hukum-hukum syara sebagaimana yang diberitakan Nabi: Seorang laki-laki hampir bersandar di atas ranjangnya dibacakan haditsku lalu mengatakan,Antara kami dan kalian adalah kitabullah. Perkara halal yang kita temukan padanya maka kita halalkan dan perkara haram yang kita temukan padanya maka kita haramkan. Ketahuilah apa-apa yang Rasulullah haramkam adalah sama dengan apa yang Allah haramkan.

Al-Imam Al-Barbahari mengatakan :Bila kamu melihat seorang mencela hadits atau menolak atsar /hadits atau menginginkan selain hadits, maka curigailah keislamnnya dan jangan ragu-ragu bahwa dia adalah ahli bidah(pengikut hawa nafsu) Beliau berkata:Bila kamu mendengar seorang dibacakan hadits di hadapannya tetapi ia tidak menginginkannya dan ia hanya mengingnkan al-Quran maka janganlah kamu ragu bahwa dia seorang yang telah dikuasai oleh kezindikan. Berdirilah dari sisinya dan tinggalkanlah ia!

Mempertentangkan sunnah dengan al-Quran dan menolaknya bila belum ditemukan pada al-Quran apa-apa yang menguatkan sunnah, termasuk tanda ahli bidah yang paling kentara. Nabi telah mengabarkannya sebelum terjadi dan benarlah beliau. Sekarang apa yang beliau kabarkan telah terjadi. Sungguh kita mendengar dan membaca peristiwa semisal itu dari sebagian ahli bidah pada jaman dulu. Hingga kita melihat salah satu dari ahli bidah dan orang sesat jaman sekarang menghujat kitab shahih Bukhari yang telah disepakati oleh umat ini keshahihannya.Ia yakin bahwa padanya terdapat seratus dua puluh hadits yang tidak shahih yang ia sebut sebagai hadits Israiliat. Ia menghilangkannya dan mempertentangkannya dengan al-Quran kemudian ia bantah dan ingkari. Tampillah seorang tokoh ulama sekarang menentang, meruntuhkan sybuhatnya (kerancuannya), menolak kebatilannya, menampakkan penyimpangan dan kepalsuannya dengan karyanya untuk membantahnya dan orang yang menempuh jalanya, ahli bidah. Semoga Allah membalas amalnya dengan sebaik-baik pembalasan.


5. MEMBENCI AHLI HADITS
Termasuk tanda ahli bidah adalah membenci dan mencela ahli hadits dan atsar. Dari Ahamad bin Sinan al-Qaththan katanya: Dan tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi pun kecuali membenci ahli hadits.

Abu Hatim ar-Razi berkata,Tanda ahli bidah adalah mencela ahli hadits dan tanda orang zindik adalah menamakan Ahlus Sunnah bengis. Dengan sebutan itu mereka menghendaki hilangnya hadits.


6. MENGGELARI AHLUS SUNNAH DENGAN TUJUAN MERENDAHKAN MEREKA
Termasuk tanda mereka adalah menggelari Ahlus Sunnah(yang bertolak belakang dengan sifat mereka) dengan tujuan merendahkan mereka.

Abu Hatim ar-Razi berkata:Tanda Jahmiah adalah menamakan Ahlus Sunnah musyabbahah(menyerupakan Allah dengan mahluk). Ciri-ciri Qadariah adalah menamakan Ahlus Sunnah mujabbirah(mahluk tidak mempunyai kehendak.) Ciri-ciri Murjiaah adalah menamakan Ahlus Sunnah menyimpang dan mengurangi.Ciri-ciri Rafidhah adalah menamakan Ahlus Sunnah nashibah(mencela Ali). Ahlus Sunnah tidak digabungkan kecuali kepada satu nama dan mustahil nama-nama ini mengumpulkan mereka.

Al-Barbahari berkata,Dan orang yang tertutup(kejelekannya) adalah yang jelas ia tertutup(kejelekannya) dan orang yang terbuka kejelekannya adalah orang yang jelas aibnya. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan Nashibi, ketahuilah bahwa ia adalah Rafidly. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan musyabbihah atau fulan menyerupakan Allah dengan makhluk, ketahuilah bahwa ia adalah Jahmy. Bila kamu mendengar seorang berkata tentang tauhid dan mengatakan,Terangkan padaku tauhid!, ketahuilah bahwa ia adalah Kharijy dan Mutazily. Atau mengatakan, fulan Mujabbirah atau mengatakan, dengan ijbar atau berkata dengan adilm ketahuilah bahwa ia adalah Qadari karena nam-nama ini bidah yang dibuat-buat oleh ahli bidah.

Syaikh Ismail as-Shabuni mengatakan,Ciri-ciri ahli bidah amat jelas dan terang Sedang tanda-tanda mereka yang paling jelas adalah sangat keras memusuhi para pemilkul hadits, dan menghinakan mereka dan mengelari mereka kaku,bodoh,dhahiri,(tekstual) musyabbihah(golongan yang menyerupakan Allah dengan mahluk). Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadts itu masih berupa benda mentah (bukan ilmu). Dan yang dinamakna ilmu adalah ilham yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, intuisi hati nurani mereka yang gelap….


7. TIDAK BERPEGANG DENGAN MADZHAB SALAF
Syaikhul Islam berkata,Kelompok-kelompok bidah yang terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak menganut madzhab salaf antara lain kelompok: Rafidhah, sampai orang awam tidak mengetahui syiar-syiar bidah kecuali rafdl(menolak kepemimpinan khulafaur rasyidin selain Ali). Dan sunni menurut istilah orang awam adalah orang yang bukan rafidhi ….Sehinga diketahui syiar ahli bidah menolak madzhab Salaf. Oleh karena itu dalam risalah yang ditujukan kepada Abdus bin Malik Imam Ahamad berkata,Asas sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dijalani sahabat Muhammad….


8. MEMVONIS KAFIR ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA TANPA DALIL
Dalam banyak tempat Syaikhul Islam menyebutkan tentang bantahan terhadap orang yang menvonis orang yang masih belum jelas kekafirannya,Pendapat ini tidak diketahui dari seorang sahabat, tabiin, yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari salah satu imam tetapi ini termasuk salah satu pokok dari pokok-pokok ahli bidah yang membuat bidah dan menvonis kafir orang yang menyelisihi mereka semisal Khawarij, Mutazilah dan Jahmiah.

Beliau berkata,Khawarij,Mutazilah, dan Rafidhah, menvonis kafir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Golongan yang belum mereka vonis kafir maka mereka vonis fasik. Demikian juga mayoritas ahlul ahwa menvonis bidah dan kafir golongan yang menyelisihi mereka berdasarkan logika semata.

Akan tetapi Ahlus Sunnah adalah golongan yang mengikuti kebenaran dari rab mereka yang dibawa oleh rasul-Nya,tidak menvonis kafir golongan yang menyelisihi mereka. Mereka golongan yang paling tahu tentang kebenaran dan kondisi manusia.

Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alu Syaikh ditanya tentang orang yang menvonis kafir sebagian golongan yang menyelisihinya. Beliau menjawab,Jawabannya, Saya tidak mengetahui sandaran ucapan itu. Berani menvonis kafir golongan lain yang menampakkan keislaman tanpa dasar syari dan keterangan yang akurat menyeilisihi manhaj para pakar ilmu agama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jalan ini adalah jalannya ahlul bidah dan orang-orang sesat.

Diambil dari Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min Ahlil Ahwa wal Bid'ah karya Dr. Ibrahim Ruhaily 
Comments
0 Comments