Ia adalah khalifah Bani Abbasiyah ke-36 (1226-1242 M). Buku-buku sejarah mengabadikannya dengan nama Al-Mustanshir Billah atau Abu Ja'far. Nama aslinya Manshur bin Azh-Zhahir Biamrillah. Dia dilahirkan pada Shafar 588 H. Ibunya seorang mantan budak berasal dari Turki.
Dia dilantik menjadi khalifah setelah ayahnya meninggal pada Rajab 623 H. Al-Mustanshir dikenal sebagai pribadi yang senantiasa menyebarkan keadilan di tengah rakyatnya. Ia memutuskan suatu perkara dengan adil. Dia dekat dengan orang-orang berilmu.
Ia juga banyak membangun sekolah dan masjid, juga rumah sakit. Dia membangun menara-menara Islam dan membungkam orang-orang yang membangkang. Dia mencegah munculnya fitnah dan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang lurus.
Ibnul Atsir dalam Al-Kamil memaparkan kisah menarik tentang Al-Mustanshir. Kebetulan Ibnul Atsir hidup pada masa yang sama dengan khalifah. Pada Jumat pertama di masa pemerintahannya, ia hendak melaksanakan shalat di tempat biasanya digunakan para khalifah. Namun dikabarkan tempat tersebut rusak. Ia pun berjalan dan membaur dengan masyarakat. Hal yang nyaris tak pernah dilakukan khalifah sebelumnya. Kebiasaan itu terus ia lakukan hingga tempat shalat itu selesai diperbaiki.
Sang khalifah telah menegakkan ruh jihad dengan sebaik-baiknya dan mengumpulkan tentara Islam untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Dia menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh dan sekaligus membuka benteng-benteng musuh.
Perjalanan hidupnya dihiasi dengan tindakan-tindakan yang baik dan penuh pesona. Syiar agama ditegakkan dan menara Islam dipancangkan. Karenanya, rakyat mencintainya dan tak henti-henti memujinya. Ia juga sangat dekat dengan kakeknya, Khalifah An-Nashir.
Al-Mustanshir senang melakukan kebaikan dan rajin menyebarkannya. Kisah tentang sikapnya yang baik ini terekam dengan tinta emas. Dia membangun perguruan Al-Mustanshiriyah dengan gaji yang sangat memadai bagi para pengajar.
Ibnu Washil berkata, "Al-Mustanshir telah membangun sebuah perguruan di sebelah timur Dajlah, satu bangunan yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Di tempat itu diajarkan empat mazhab sekaligus. Dia membangun tempat tinggal para fuqaha (ahli fikih). Pada saat yang sama, dia membangun rumah sakit-rumah sakit."
Perhatian Al-Mustanshir terhadap para fuqaha sangat tinggi. Ia memerintahkan agar di rumah mereka selalu disediakan tikar dan karpet, kertas dan tinta, juga berbagai fasilitas lainnya. Tiap bulan ia juga menggaji para fuqaha tersebut. Semua ini belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.
Al-Mustanshir dikenal sebagai khalifah yang memiliki kemauan keras dan pemberani, terutama dalam menghadapi musuh-musuhnya. Saat ia berkuasa, orang-orang Tartar bermaksud menyerang Baghdad. Di tengah jalan mereka bertemu dengan pasukan khalifah. Pasukan khalifah berhasil mengalahkan lawannya pada peperangan itu.
Khalifah Al-Mustanshir meninggal pada Jumat, 10 Jumadil Akhir 640 H. Tatkala ia meninggal dunia, Duwaidar dan Asy-Syarabi tak memberi kesempatan pada Al-Khafaji untuk memegang kendali khilafah. Keduanya khawatir akan kehilangan pengaruh. Mereka mengangkat putra Al-Mustanshir, Abu Ahmad, sebagai khalifah.
Mereka melihat anak itu lemah dan miskin ide. Dengan demikian mereka dapat mengendalikannya. Akibatnya kaum Muslimin berhasil ditaklukkan oleh orang-orang Tartar pada masa pemerintahannya.
Dia dilantik menjadi khalifah setelah ayahnya meninggal pada Rajab 623 H. Al-Mustanshir dikenal sebagai pribadi yang senantiasa menyebarkan keadilan di tengah rakyatnya. Ia memutuskan suatu perkara dengan adil. Dia dekat dengan orang-orang berilmu.
Ia juga banyak membangun sekolah dan masjid, juga rumah sakit. Dia membangun menara-menara Islam dan membungkam orang-orang yang membangkang. Dia mencegah munculnya fitnah dan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang lurus.
Ibnul Atsir dalam Al-Kamil memaparkan kisah menarik tentang Al-Mustanshir. Kebetulan Ibnul Atsir hidup pada masa yang sama dengan khalifah. Pada Jumat pertama di masa pemerintahannya, ia hendak melaksanakan shalat di tempat biasanya digunakan para khalifah. Namun dikabarkan tempat tersebut rusak. Ia pun berjalan dan membaur dengan masyarakat. Hal yang nyaris tak pernah dilakukan khalifah sebelumnya. Kebiasaan itu terus ia lakukan hingga tempat shalat itu selesai diperbaiki.
Sang khalifah telah menegakkan ruh jihad dengan sebaik-baiknya dan mengumpulkan tentara Islam untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Dia menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh dan sekaligus membuka benteng-benteng musuh.
Perjalanan hidupnya dihiasi dengan tindakan-tindakan yang baik dan penuh pesona. Syiar agama ditegakkan dan menara Islam dipancangkan. Karenanya, rakyat mencintainya dan tak henti-henti memujinya. Ia juga sangat dekat dengan kakeknya, Khalifah An-Nashir.
Al-Mustanshir senang melakukan kebaikan dan rajin menyebarkannya. Kisah tentang sikapnya yang baik ini terekam dengan tinta emas. Dia membangun perguruan Al-Mustanshiriyah dengan gaji yang sangat memadai bagi para pengajar.
Ibnu Washil berkata, "Al-Mustanshir telah membangun sebuah perguruan di sebelah timur Dajlah, satu bangunan yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Di tempat itu diajarkan empat mazhab sekaligus. Dia membangun tempat tinggal para fuqaha (ahli fikih). Pada saat yang sama, dia membangun rumah sakit-rumah sakit."
Perhatian Al-Mustanshir terhadap para fuqaha sangat tinggi. Ia memerintahkan agar di rumah mereka selalu disediakan tikar dan karpet, kertas dan tinta, juga berbagai fasilitas lainnya. Tiap bulan ia juga menggaji para fuqaha tersebut. Semua ini belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.
Al-Mustanshir dikenal sebagai khalifah yang memiliki kemauan keras dan pemberani, terutama dalam menghadapi musuh-musuhnya. Saat ia berkuasa, orang-orang Tartar bermaksud menyerang Baghdad. Di tengah jalan mereka bertemu dengan pasukan khalifah. Pasukan khalifah berhasil mengalahkan lawannya pada peperangan itu.
Khalifah Al-Mustanshir meninggal pada Jumat, 10 Jumadil Akhir 640 H. Tatkala ia meninggal dunia, Duwaidar dan Asy-Syarabi tak memberi kesempatan pada Al-Khafaji untuk memegang kendali khilafah. Keduanya khawatir akan kehilangan pengaruh. Mereka mengangkat putra Al-Mustanshir, Abu Ahmad, sebagai khalifah.
Mereka melihat anak itu lemah dan miskin ide. Dengan demikian mereka dapat mengendalikannya. Akibatnya kaum Muslimin berhasil ditaklukkan oleh orang-orang Tartar pada masa pemerintahannya.