| Mera Naam Joker: Hisab Dan Rukiyah

Kamis, 01 September 2011

Hisab Dan Rukiyah

Hisab dan rukyat                   http://rukyatulhilal.org/artikel/images/saudisighting.jpg

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

 Hisab

'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

[sunting] Rukyat

Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut

Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

[sunting] Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

 Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

Imkanur Rukyat MABIMS

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
  • Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
  • Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

Rukyat Global

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.


Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Antara Hisab Dan Rukiyah


Masalah perbedaan penentuan awal puasa adalah masalah klasik yang terjadi di negeri ini. Kami meyakini mereka para ahli ilmu yang berbeda pendapat masalah ini jauh lebih berilmu, bahkan tidak setetes pengetahuan kami dari lautan ilmu mereka, namun kami pikir tidak ada salahnya jika kami mengemukakan pikiran kami dalam kesempatan kali ini, walloohul musta’aan…
Yang pertama,
Kami mau menanyakan satu hal kepada siapa saja yang meyakini bahwa hisab lebih baik/lebih utama/lebih akurat/lebih sempurna dalam menentukan awal ramadhan (dan awal bulan) dibandingkan rukyah.
Apakah ilmu hisab ini sudah ada di zaman Nabi atau tidak?
Jika ilmu ini belum ada di zaman Nabi, apakah Alloh tidak tahu akan munculnya ilmu ini? Tentu Alloh Maha Tahu. Dan jika memang –menurut beberapa orang- menggunakan ilmu ini lebih baik dalam penentuan awal ramadhan, bagaimana mungkin Alloh lupa mengajarkan sesuatu yang lebih baik bagi Nabi-Nya, sehingga akibatnya Nabi-Nya, “hanya” menggunakan metode rukyah yang tidak lebih baik dari hisab. Maha Suci Alloh dari yang demikian…
 Setahu kami, ilmu ini sudah ada di zaman Nabi, meski mungkin perkembangannya berbeda. Tapi pertanyaannya, kenapa Nabi tidak menggunakan metode ini? Apakah Nabi tahu atau tidak tahu tentang metode hisab ini lebih sempurna dalam penentuan awal bulan? Kalo begitu, manakah sih yang lebih baik, lebih sempurna, lebih bebas dari kelemahan, lebih selamat, lebih utama… hisab atau rukyah… ??
Meski ilmu hisab sudah ada di zaman Nabi, Nabi tidak menggunakan metode hisab dalam penentuan awal bulan. Kita bisa lihat riwayat berikut
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerti ilmu hisab sama sekali, sepertihalnya Nabi tidak mengerti tulis menulis (ini bukan suatu celaan kepada Nabi). Dan perlu diketahui pula bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada ilmu hisab, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakannya. Apakah Alloh lupa untuk mengajarkan ilmu ini kepada Nabi-Nya? Tentu tidak. Namun, Alloh tahu mana yang paling baik bagi hamba-Nya, dan begitu pula Nabi pun mengajarkan yang paling baik bagi umat-Nya.
Nabi mengajarkan metode yang paling tepat sesuai dengan syariat Islam, yakni dengan melihat hilal, bahkan siapapun yang melihatnya, asalkan dia seorang yang baligh, berakal, muslim, dapat dipercaya dan mampu menjaga amanah yang melihat secara langsung.
Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” (HR. Bukhari)
Betapa sederhananya metode yang diajarkan Nabi, betapa mudahnya syariat. Jika memang hilal tidak terlihat, cukup genapkan Sya’ban. Bukankah hal ini sangat mudah sekali?
Ada beberapa alasan para ahli ilmu yang mengedepankan metode hisab dari pada rukyah, yakni karena beberapa kelemahan metode rukyah sebagai berikut: 
  1. Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi (mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75 % sangatlah besar.
  2. Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat.
  3. Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan rukyah hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat singkat maka rukyah harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup.
  4. Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kenderaan, asap pabrik, dll.
  5. Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya matahari.
  6. Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra namun jika proses mentalnya hadir,-benda, tidak ada isyarat optik maupun listrik maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.
Sumber: http://afdacairo.blogspot.com/2009/03/menelisik-metodologi-hisab-falak_01.html
Alasan ini sama sekali tidak kuat untuk mengedepankan metode hisab dibandingkan rukyah. Ini sama sekali bukan kelemahan rukyah. Coba kita pikirkan dan kita renungi bersama point demi point dari alasan tersebut, sama sekali bukan suatu kelemahan.
Kemudian bagaimana mungkin metode Nabi ada kelemahan, apakah mungkin di antara tuntunannya ada kelemahan?? Maha suci Alloh dari yang demikian..
Kami pikir, kami tidak perlu mengulas point demi point dari alasan tersebut.. Secara mudahnya, jika memang hilal tidak terlihat, kenapa kita tidak genapkan saja bulan Sya’ban.. Sungguh sangat sederhana sekali syariat Islam..
Kami teringat sebuah nasehat dari Ibnu Mas’ud, “iqtishoodun fis sunnaah, khoirun min ijtihaadin fil bid’ah..”… (bersikap sederhana dalam beribadah namun sesuai dengan perintah nabi, masih tetap lebih baik dibandingkan berlebihan dalam beribadah namun dalam perkara yang diada-adakan dalam perkara agama)
Coba kita kembali ke hadits di atas, kalau kita perhatikan pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengaitkan hukum masuknya bulan ramadhan dengan ilmu hisab sama sekali, (‘Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari‘). Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk bertanya pada ahli hisab (pakar ilmu nujum). Beliau hanya memerintahkan kita -apabila tidak terlihat hilal- untuk menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Sehingga para ulama mengatakan bahwa yang lebih tepat dalam melihat hilal adalah dengan ru’yah dan bukan dengan hisab.
Ada sedikit tambahan, perkataan Al Baaji yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berikut ini. Beliau mengatakan, “(Menetapkan ramadhan dengan ru’yah) adalah kesepakatan para salaf (para sahabat) dan kesepakatan ini adalah hujjah/bantahan kepada mereka (yang menggunakan hisab).” Begitu pula dengan perkataan Ibnu Bazizah dalam kitab yang sama, “Mazhab ini (yang menetapkan awal Ramadhan dengan hisab) adalah Mazhab batil dan syariat ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau bukan pula persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, -pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini  kecuali sedikit sekali.
Yang kedua,
Kami bawakan fatwa Syaikh Sholih Al Fauzan dalam permasalah hal ini, sebagai sedikit tambahan dalam masalah di atas.
Soal:
Di sebagian negara kaum muslimin, banyak orang dengan sengaja berpuasa dengan tidak bersandar pada ru’yah (melihat bulan) namun justru hanya mencukupkan diri bergantung pada penanggalan/kalender. Apa hukum hal ini?
Jawab:
Tidak boleh memulai puasa bulan Ramadhan kecuali dengan melihat bulan, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan) dan berbukalah (laksanakanlah idul fitri) karena melihatnya.” (HR. Bukhari pada kitab shahihnya, 2/229)
Dan juga tidak boleh bersandar pada hisab karena hisab bertentangan dengan hukum syariat dan hisab sering keliru. Akan tetapi orang yang tinggal di negara bukan islam dan di sana tidak ada sekelompok kaum muslimin yang perhatian terhadap ru’yah hilal maka ia mengikuti negara islam yang terdekat dengannya dan yang lebih tepercaya dalam penyelidikan bulan. Namun jika ia tidak mendapatkan berita yang dapat ia gunakan sebagai sandaran tentang hal itu maka tidak mengapa jika ia bersandar pada kalender, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Makabertakwalah kalian kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
Alhamdulillah sekarang ini sarana komunikasi sangat lengkap dan kedutaan negara-negara islam telah tersebar di seluruh dunia, demikian juga pusat-pusat kegiatan keislaman dapat dijumpai di sebagian besar negara-negara di dunia. Sehingga wajib atas setiap muslim untuk mengenali hal ini serta perkara-perkara agama yang lain. [Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan dari kitab Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh al Fauzan]
Demikian paparan kami, sebagian besar isi penjelasan ini kami ketik ulang dari http://muslim.or.id, sebuah artikel yang ditulis oleh Ustadzuna Muhammad Abduh Tuasikal, serta  kutipan fatwa tersebut di terjemahkan oleh Akhuna Sigit Hariyanto.
Kami memang tidak mengomentari satu kalimat pun tentang metode hisab. Kami tidak memiliki pengetahuan sedikit pun dalam hal tersebut. Namun begitu, kami melihat, berpalingnya mereka dari metode rukyah –yang notabene Nabi lakukan- karena ada anggapan kelemahan di dalamnya, dan lebih mengutamakan ilmu hisab mereka karena melihat lebih baiknya metode ini, maka ini yang menjadikan pertanyaan besar bagi kami..
walloohu ta’alaa a’lam.

Hisab sebagai Penyempurna Rukyah Dalam konteks penentuan awal bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan rukyah adalah rukyatulhilal. Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan mata kepala. Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul bih) adalah sesuatu yang tampak.
Contoh QS Al-An’am (6): 76-78
...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)
رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)
رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)

Contoh dalam Hadits:
اِذَا رََأَيْتُمُ اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat hilal… (HR. Muslim)
Jadi rukyah yang dikaitkan dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah (2):189 dan yang disebut dalam lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal dengan mata kepala”.
Jelasnya rukyatul hilal adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan cara melaksanakan pengamatan/observasi hilal di lapangan secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29 malam 30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila hilal terlihat, maka bulan baru telah datang, dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan baru diawali malam berikutnya (istikmal).
Setelah hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran terhadap makna rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna melihat dengan pikiran dan melihat dengan hati. Alasannya:
1. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal).
2. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).
Dua makna yang terakhir ini dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga mereka berpendapat hisab adalah sistem alternatif untuk penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal Bulan Dzulhijjah.
Pendapat sebagian ahli hisab ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab:
1. Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية
2. Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami, menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal)
3. Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:
أرءيت الذى يكذب بالدين
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)

Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal, seperti:
اذا رايتم الهلال فصوموا...
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)
4. Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:
انهم يرونه بعيدا
Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan
ونره قريبا
Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).” (QS. Al-Ma’ârij [70]:7).
Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:
صوموا لرؤيته ...
“..berpuasalah kalian karena terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Ahli hisab sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:
a. Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim tersebut.
b. Faqdurû adalah bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain. Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa Ramadlan.
Menurut ahli ushul Kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:
فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”
6. Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”. Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ
Dengan koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi rukyah / رأى yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul hilal adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi terhadap penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan akal dan melihat dengan hati.
Rukyah adalah ibu yang melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg, bahkan mustahil adanya. Jadi rukyah itu ilmiah.
Meskipun Islam membuka luas cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman, namun harus segera diingatkan, bahwa manusia secerdas apapun tidak akan mampu menyamai wahyu. Islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan sangat bermanfaat untuk kesempurnaan memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.
Ilmu hisab dapat digunakan untuk kesempurnaan memahami, menghayati dan mengamalkan nash tentang rukyatul hilal. Atas dasar prinsip ini maka:
1. Definisi hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan sebagai landasan dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan kriteria awal bulan.
2. Atas dasar landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab yang akan digunakan untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.
3. Kriteria imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti nash yang bertalian dengan rukyah.
Dalam pada itu, hak itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah sepenuhnya berada di tangan Negara/pemerintah yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Agama.
Itsbat Menteri Agama yang didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana rekomendasi MUI mengikat dan berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh karena itu ormas Islam diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga merisaukan umat.
KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
*) Berasal dari paparan lisan yang disampaikan dalam diskusi kriteria awal bulan di Departemen Agama tanggal 18 September 2007 yang dihadiri oleh Menteri Agama, Sekjen Depag, Dirjen Bimas Islam, Direktur Urais, Kasubdit Pembinaan Syariat dan Hisab Rukyat Depag, wakil dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, para ahli astronomi dari LAPAN, Observatorium Boscha, Planetarium, Bakosurtanal, BMG, Dirjen Pembinaan Peradilan Agama MA, dan MUI

Apakah berpuasa mengikuti negara?

Pertanyaan:
Apa yang (selayaknya) saya lakukan kalau di sebagian negara Islam telah melihat hilal, akan tetapi di negara tempat kerja saya menyempurnakan Sya’ban dan Ramadan tiga puluh hari? Dan apa sebabnya orang-orang berbeda dalam (memulai) Ramadan?
Jawaban:
Alhamdulillah
Hendaknya anda mengikuti penduduk negara anda. Kalau mereka berpuasa, maka berpuasalah anda bersama mereka. Kalau mereka berbuka, maka berbukalah anda bersama mereka. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
(الصوم يوم تصومون ، والإفطار يوم تفطرون ، والأضحى يوم تضحون)
“Puasa di hari orang-orang (pada) berpuasa, berbuka (untuk hari raya) di hari orang-orang (pada) berbuka dan menyembelih di hari orang-orang (pada) menyembelih.”
Karena berbeda itu jelek. Seharusnya anda (mengikuti) bersama penduduk negara anda. Kalau umat Islam berbuka di negara anda, maka berbukalah anda bersama mereka. Kalau mereka puasa, maka berpuasalah bersamanya. Sementara sebab dalam perbedaan (Ramadan) adalah bahwa sebagian melihat hilal, sebagian lain tidak melihat hilal. Kemudian orang yang melihat hilal, sebagian percaya dan tenang terhadapnya serta mengamalkan (berdasarkan) penglihatannya. Terkadang mereka tidak percaya dan tidak mengamalkan dari penglihatannya. Oleh karena itu timbul perbedaan, terkadang (suatu) pemerintah melihat (hilal) dan menghukumi dengan berpuasa atau berbuka (berdasarkan penglihatan tadi). Sementara pemerintahan lainnya, kurang puas dan tidak percaya dikarenakan banyak sebab, bisa karena (sebab) politik atau lainnya. Maka untuk umat Islam, seharusnya berpuasa semua dikala melihat hilal, dan berbuka (juga) ketika melihat (hilal).  Berdasarkan keumuman sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
(إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتم الهلال فأفطروا ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين)
“Kalau kamu semua melihat hilal, maka berpuasalah. Dan kalau kamu semua melihat hilal, maka berbukalah. Kalau kamu semua tertutupi (tidak dapat melihat hilal), maka sempurnakan bilangan (menjadi) tiga puluh.”
Kalau semuanya tenang akan sahnya penglihatan bahwa hal itu benar dan (telah) ditetapkan, maka seharusnya berpuasa dan berbuka (berdasarkan) rukyah. Akan tetapi kalau orang-orang pada berbeda pendapat dalam kenyataanya dan sebagian dengan sebagian lainnya tidak percaya. Maka hendaklah anda berpuasa bersama umat Islam di negara anda. Anda juga hendaknya mengikuti buka bersama mereka. Sebagai pengamalan dari sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ‘Puasa di hari orang-orang (pada) berpuasa, berbuka di hari orang-orang (pada) berbuka dan menyembelih di hari orang-orang (pada) menyembelih’. Dan telah ada ketetapan dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma bawah Kuraib ketika memberitahukan bahwa penduduk Syam telah berpuasa pada hari Jumah, Ibnu Abbas mengatakan: “Kami malihatnya hari sabtu, dan kami senantiasa berpuasa sampai melihat hilal atau menyempurnakan tiga puluh. Dan tidak mengamalkan rukyah penduduk Syam dikarenakan jauhnya Syam dari Madinah. Dan perbedaan matholi’ (tempat keluar bulan) diantara keduanya. Beliau melihat hal ini adalah tempat untuk berijtihad. Maka anda telah mempunyai tauladan dari Ibnu Abbas. Bagi orang yang berpendapat dari kalangan ulama bahwa berpuasa bersama penduduk negara anda, dan berbuka juga bersama mereka. Wallallahu waliyyut taufiq. Selesai
Fadhilatus Syekh Abdul Azizi bin Baz rahimahullah.
Sumber: http://islamqa.com/id/ref/106487
Comments
0 Comments