Pada saat kita dalam kandungan Ibu, maka 3 hal telah ditetapkan Allah swt; hidup- mati, rezeki dan jodoh. Ketiga hal ini merupakan rahasia Allah swt dan tersimpan didalam Lauhul Mahfuz. Kita coba telaah salah satu dari ketiga rahasia Allah swt tersebut, yakni rezeki.
Rezeki seseorang telah ditetapkan oleh Allah swt, baik rezeki yang halal maupun yang haram. Timbul pertanyaan: “Kenapa saya harus dihisab atas rezeki yang haram, sedangkan Allah telah menetapkannya untuk saya?”. Jawabannya adalah, Allah swt memberikan kemampuan manusia untuk memilih rezeki halal atau haram, sedangkan orang-orang yang beriman tidak akan menjulurkan tangannya meraih rezeki yang haram. Jika ia dalam kesusahan, maka dia akan tetap bersabar dan selalu berusaha (ikhtiar) untuk meraih rezeki yang halal.
Wahai manusia, makanlah oleh kalian apa saja yang halal dan baik yang terdapat dibumi (Al-Baqarah 168).
Sehingga ketetapan rezeki telah ditetapkan oleh Allah swt, proses mendapatkannya merupakan pilihan-pilihan yang diberikan kepada manusia dan penetapan pilihan ini yang akan dihisab oleh Allah swt. Untuk itu kita seharusnya tidak perlu berputus asa dalam mengarungi kehidupan ini, karena rezeki itu akan sampai “kealamat” yang benar (pemiliknya).
Mereka semua (mukmin atau kafir) masing-masing Kami limpahi karunia, karena sesungguhnya pemberian Rab-mu tiada terhalang kepada siapapun (Al-Isra 20).
Seringkali kita menganggap bahwa rezeki berupa kekayaan materi semata; uang, rumah, mobil, perhiasan, perusahaan, tanah, dll. Padahal rezeki adalah semua yang dapat kita manfaatkan; udara (oksigen) yang kita hirup, kebutuhan air, cahaya matahari, hasil hutan, hasil bumi/tambang adalah rezeki juga. Bahkan kecerdasan otak, kefasihan bicara dan kekuatan/kesehatan tubuhpun termasuk rezeki karena dengan modal itu kita dapat bekerja.
Harta yang kita peroleh tidak otomatis menjadi rezeki kita, karena rezeki adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh pemiliknya. Seorang yang kaya belum tentu semua hartanya merupakan rezekinya, jika ia termasuk orang yang sangat kikir sehingga ia tidak membeli rumah tetapi mengontraknya, ia tidak membeli mobil tetapi naik angkutan umum, pakaiannya jarang diganti yang baru, tidak berzakat/infaq. Sehingga hartanya semakin berlimpah dan pada saat ia meninggal harta itu menjadi milik ahli warisnya dan tidak bermanfaat sedikitpun bagi dirinya.
Walhasil, rezeki kita akan menuju kepada 3 arah saja:
- Segala sesuatu yang dimakan dan akan menjadi kotoran (makanan, minuman, obat, dll)
- Segala sesuatu yang digunakan dan akan menjadi rusak/hancur (pakaian, sepatu, kendaraan, dll)
- Segala sesuatu yang diinfaqkan dan akan menjadi tabungan akhirat
Selain ketiga hal diatas bukan rezeki kita, tetapi kita hanya diberi amanah untuk mencarinya, menjaganya dan menyerahkannya kepada pemilik yang sebenarnya (pemilik asli).
Allah swt selalu menguji keimanan seseorang dan ujian itu tidak hanya berupa kesulitan/musibah tetapi kesenangan merupakan ujian juga. Rezeki yang melimpah menjadi ujian bagi manusia, apakah dimanfaatkan dijalan yang halal, dibayarkan zakatnya, untuk membantu fakir miskin/saudara/tetangga, diinfaqkan untuk da’wah Islam atau untuk naik haji. Atau disimpan saja tanpa mempedulikan hal-hal diatas, sehingga rezeki ini membawa petaka bagi dirinya dan termasuk orang-orang yang merugi.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebajikan sebagai suatu ujian, dan kepada Kami kamu akan dikembalikan (Al-Anbiya 35).
Untuk itu sekarang menjadi pilihan kita atas harta yang kita peroleh, memanfaatkannya dijalan Allah sehingga menjadi rezeki kita dan tabungan akhirat atau menjadi kotoran dan sampah. Orang-orang yang beruntung adalah orang-orang yang pintar memanfaatkan hartanya, pilihan kita untuk menentukannya; menjadikannya rezeki kita dan bermanfaat atau hanya sia-sia saja.
Wallahua’lam