| Mera Naam Joker: Sejarah palestina perlukah kita membela ??

Senin, 20 Desember 2010

Sejarah palestina perlukah kita membela ??

Peta Tanah Palestina Yang Dicaplok Yahudi Israel
Peta Tanah Palestina Yang Dicaplok Yahudi Israel

Umar RA Memasuki Palestina (637 M)
•Karen Armstrong menggambarkan penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam bukunya Holy War:
Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius.
•Sang Khalifah minta agar ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan perjalanan malamnya.
•Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir, pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat.
•Kemudian Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak …
Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar.
•Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad.
Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.
Tentara Salibis memasuki Al-Quds
•Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib.
•Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur.
•Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan pembantaian di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu.
•Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang.
•Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api.
Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya
•Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan. Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.
Salahudin Al-Ayubi Membebaskan Al-Quds
•Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah benderanya dalam dalam pertempuran Hattin pada tahun 1187. Setelah pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam, namun membiarkan Raja Guy pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
•Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mi’raj-nya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib.
•Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.
•Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini:
Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim.
Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi.
Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127),
dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194).
Palestina di masa Kekhilafahan Utsmaniyah
•Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Al-Quds dan sekitarnya dan sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan satu sama lain.
•Setiap orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur’an sebagai Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan, dan mendapatkan kedamaian dan keamanan sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.
•Negara-negara besar lainnya pada saat yang sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak toleran.
•Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat. Di banyak negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah orang Yahudi (misalnya, mereka dipaksa untuk hidup di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan kadangkala menjadi korban pembantaian massal (pogrom).
•Orang-orang Nasrani bahkan tidak dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan Katolik selama abad keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-164 adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga jumlah penduduknya) lenyap.
Makar dan Rekayasa Zionis
•Tahun 1917 : Deklarasi Balfour, Inggris memandang pentingnya pendirian di Palestina sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi Palestina.
•Para Zionis merasakan dirinya berada dalam keadaan yang sulit ketika banyak saudara-saudara Yahudi-nya menolak pindah ke Palestina, maka para Zionis-pun mulai terlibat dalam “kegiatan-kegiatan khusus” untuk “mendorong” pindahnya orang Yahudi ke Palestina, bahkan memaksa jika diperlukan, seperti mengganggu orang-orang Yahudi di negara-negara asalnya dan bekerja sama dengan para anti-Semit untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan mengusir orang-orang Yahudi.
Dengan demikian, Zionisme mengembangkannya sebagai gerakan yang mengganggu dan menteror rakyatnya sendiri.
•1920-1929 : Sekitar 100.000 orang Yahudi pindah ke Palestina Jika kita merenungkan bahwa ada 750.000 orang Palestina pada saat itu, maka 100.000 pasti bukanlah jumlah kecil.
•Bersamaan dengan adanya peningkatan kekuasaan Partai Nazi, orang-orang Yahudi di Jerman menghadapi tekanan yang semakin meningkat, suatu perkembangan yang semakin mendorong perpindahan mereka ke Palestina. Kenyataan Zionis mendukung penindasan Yahudi ini adalah sebuah fakta, dan masih menjadi salah satu rahasia sejarah yang paling terpendam.
•1947 : 630.000 orang Yahudi dan 1,3 juta orang Palestina.
•Antara 29 November 1947, ketika Palestina diberi dinding pembatas oleh PBB, sampai dengan 15 Mei 1948, organisasi teroris Zionis mencaplok tiga perempat Palestina.
Selama masa itu, jumlah orang-orang Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun drastis dari 950.000 menjadi 138.000 akibat serangan dan pembantaian. Beberapa di antaranya terbunuh, beberapa terusir
Pembantaian Pembantaian Berikutnya
Buku harian seorang tentara Israel yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Davar dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina Ed-Dawayma pada tahun 1948:
–Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus lelaki, wanita, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka (para tentara) mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak ada satu rumah pun tanpa mayat. Para wanita dan anak-anak di desa tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air. Kemudian, para tentara datang untuk meledakkan mereka dengan dinamit.

•Pembantaian Deir Yassin, 1948: 254 tewas
–Jika tidak ada Deir Yassin, setengah juta orang Arab akan tetap tinggal di negara Israel Negara Israel tidak akan pernah ada.
•Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas
–Teror menjadi sebuah senjata politik Nazi. Namun Nazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam pembantaian di Qibya.
•Setelah Perang 1967, Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi pengungsi.
Teknik hukumannya meliputi pengeboman rumah, pembongkaran kamp pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan lalu menyiksa mereka.
•Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza, ratusan orang Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan diusir dari Palestina, dan di Gaza saja 2000 rumah telah dihancurkan dan 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya.
•Pada saat pembantaian Sabra dan Shatilla (1982), 14.000 orang (termasuk 13.000 orang sipil tak bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa minggu, dan sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.

Dan Sekarang, Sudah tiga minggu lebih Yahudi terkutuk membantai saudara saudara Kita

Perlukah mereka Kita Bela….?????

Konflik di Jalur Gaza belakangan ini memunculkan wacana yang sangat menarik. Barangkali baru sekaranglah orang-orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara lugas, bahkan dengan resiko dikucilkan dari pergaulan sesama Muslim. Di Indonesia, sebagian umat Muslim pun tidak canggung untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usaha-usaha mendukung Palestina. Artikel ini insya Allah akan membantahnya dengan cara sebaik mungkin.
( dicopy dari http://akmal.multiply.com/journal/item/715/Mengapa_Kita_Tidak_Perlu_Mendukung_Palestina_dan_Bantahannya )
Hak Historis Bangsa Yahudi
Ini adalah argumen ‘standar’ untuk membenarkan pendirian negara Israel. Bangsa Yahudi senantiasa mengklaim bahwa mereka berhak atas tanah Palestina. Konon, mereka sudah tinggal di negeri itu sejak jamannya Nabi Ya’qub as.
Argumen ini sebenarnya sangat lemah, karena pada jaman Nabi Ya’qub as., agama Yahudi belum lagi ada. Bani Israil adalah nama yang diberikan kepada keturunan beliau, namun nama itu baru dikenal setelah masa kehidupannya. Tambahan lagi, Nabi Ya’qub as. dan keluarganya bermigrasi ke Mesir secara sukarela saat Nabi Yusuf as. menjadi bendahara negara pada masa itu. Karena mereka pindah secara sukarela, maka tanah asalnya tentu tak bisa diklaim lagi. Lagipula, kalau yang diklaim adalah peninggalan Nabi Ya’qub as., maka umat Islam akan merasa lebih berhak, karena di dalam ajaran Islam, pertalian aqidah lebih kental daripada hubungan darah.
Klaim ‘kepemilikan’ bangsa Yahudi juga tidak jelas. Andaikan bangsa Yahudi memang pernah tinggal di sana, maka mereka bukanlah satu-satunya penghuni negeri itu. Bangsa Romawi dan bangsa asli Palestina pun sudah tinggal di sana sejak lama. Jika tidak ada hitam di atas putih, maka bangsa Yahudi tak boleh mengklaim tanah (apalagi seluas satu negara) sebagai miliknya sendiri. Tambahan lagi, jika bangsa Yahudi mengklaim tanah Palestina atas dasar sejarah, maka benua Australia dan Amerika pun mesti dikembalikan ke pemilik sahnya, yaitu bangsa Aborigin dan Indian.
Tanah yang Dijanjikan
Kaum Zionis mengklaim bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan kepada mereka, dan klaim ini juga sering didukung oleh umat Nasrani. Namun memaksakan klaim ini adalah sebuah tindakan pemaksaan agama, karena yang setuju hanyalah umat Yahudi dan Nasrani. Kalau boleh menguasai suatu wilayah hanya dengan modal ‘janji Tuhan’, maka umat Islam bisa mengklaim seluruh Bumi, karena Allah SWT telah mengangkat mereka sebagai khalifah fi al-‘ardh. Tentu saja, kalau umat Islam mengklaim sebuah kota saja dengan alasan demikian, maka pasti akan muncul label fundamentalis, radikalis, teroris, atau literalis.
Bangsa Tanpa Negeri
Ada juga yang bersikap lebih ‘humanitarian’ dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II terpaksa lari ke tanah Palestina karena didesak oleh NAZI di Eropa. Namun kini beredar teori konspirasi antara NAZI dan kaum Yahudi Zionis. Konon, kaum Yahudi yang pro-Zionisme (yang ketika itu masih minoritas) bekerjasama dengan NAZI untuk membantai saudaranya sendiri, agar mereka mau diyakinkan untuk pindah ke ‘tanah yang dijanjikan’. Namun dengan mengabaikan teori konspirasi ini, argumennya masih saja lemah.
Orang yang lari karena negerinya dilanda konflik adalah pengungsi. Atas nama kemanusiaan, umat Islam pasti akan menerima warga pengungsi dengan tangan terbuka. Sebuah Masjid di Perancis dikenal telah memberikan perlindungan kepada warga Yahudi pada Perang Dunia II, dan masih banyak contoh lainnya. Jika statusnya adalah pengungsi, insya Allah Palestina akan menerima dengan tangan terbuka (walau perlu dipertanyakan : apa iya tidak ada negara lain yang lebih dekat untuk tempat berlabuhnya para pengungsi?). Tapi layaknya pengungsi yang baik, setelah negerinya damai kembali, hendaknyalah kembali ke rumah masing-masing. Dalam kasus Palestina, ‘para pengungsi’ malah semakin kurang ajar, menembaki warga tuan rumah, dan berusaha mendirikan negara di dalam negara. Karena itu, kita tidak perlu lagi memandang kaum Zionis dengan pandangan penuh iba sebagai pengungsi yang tak punya tanah air. Eropa dan AS membuka pintu lebar-lebar kepada mereka, mengapa harus di Palestina?
Perang Antar Negara, Bukan Agama
Kalau dikatakan perang antar agama (yaitu antara Islam dan Yahudi), nampaknya memang tidak. Rasulullah saw. sendiri tak pernah mengobarkan perang dengan umat Yahudi secara keseluruhan. Umat Yahudi pun terbelah dua dalam menyikapi Zionisme Internasional ; ada yang pro dan ada yang kontra.
Namun sebutan ‘perang antar negara’ pun sangat ceroboh, karena statement ini mesti didahului dengan pengakuan terhadap Israel sebagai sebuah negara yang sah. Padahal, kasus yang terjadi adalah penjajahan Palestina oleh Inggris, kemudian Inggris secara sepihak memberikan sebidang tanah kepada kaum Zionis. Kaum Zionis kemudian menerima bantuan dari berbagai negara, termasuk senjata, kemudian mulai mengobarkan peperangan dengan Palestina. Inilah fakta yang dengan susah payah berusaha dikaburkan oleh sebagian pihak.
Bagaimanapun, jika dikatakan bahwa ini adalah perangnya warga Palestina, dan bukan perangnya umat Islam, maka orang yang berkata demikian telah cacat aqidah-nya. Islam tidak mengenal garis perbatasan negara. Selama masih Muslim, maka ia adalah saudara kita ; senasib dan sepenanggungan. Membela umat Muslim yang ditindas adalah kewajiban kita semua, karena Rasulullah saw. menjelaskan bahwa kita adalah bagaikan satu tubuh. Tidak ada pengecualian. Mereka yang tidak ‘gerah’ menyaksikan penderitaan umat Islam di Palestina sebaiknya mulai mengkhawatirkan kondisi keimanannya sendiri, kalau-kalau dalam waktu dekat akan dipanggil Allah SWT.
HAMAS yang Memulai
Sebagian orang berkata bahwa HAMAS-lah yang merusak gencatan senjata dengan menyerang duluan. Cukup mengherankan melihat betapa banyak orang menggarisbawahi ‘pelanggaran gencatan senjata’ kali ini (andaikan memang itu yang terjadi), sementara mereka dulu diam sejuta bahasa ketika kaum Zionis berulang kali melanggar perjanjian. Namun dalam menanggapi masalah apa pun, hendaknya diingat bahwa dalam kasus Palestina yang terjadi adalah pencaplokan wilayah. Tentunya kaum pejuang bebas menyerang penjajah kapan pun mereka bisa. Bangsa Indonesia harusnya tahu betul tentang itu.
Yang Dekat Duluan
Ada juga yang dengan tidak tahu malunya berkata, “Ngapain urus Palestina, mending urus saudara di Indonesia dulu?” Secara prinsip memang benar, yang dekat lebih prioritas untuk diurus. Namun menentukan prioritas bukan hanya dengan mempertimbangkan faktor jarak. Dalam buku Fikih Prioritas, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi telah memaparkan panjang lebar mengenai hal-hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menentukan skala prioritas. Misalnya, jika ada tetangga yang miskin, tentu ia lebih berhak untuk kita sedekahi. Akan tetapi jika ada warga di kota lain yang terancam nyawanya, sementara tetangga kita bisa menunggu sebentar, maka tentu yang lebih gawat urusannyalah yang harus didahulukan.
Kontradiksinya akan kelihatan jelas di lapangan. Mereka yang menggunakan pernyataan di atas biasanya hanya menghindar dari kewajiban. Mereka bilang lebih baik mengurus yang dekat, padahal yang dekat pun tak pernah mereka urusi. Dalam acara debat di sebuah stasiun televisi, sangat menggelikan melihat sebuah parpol menyuruh parpol lain agar jangan fokus ke Palestina, dan lebih baik mengurusi warga Indonesia dahulu. Padahal parpol yang dikritiknya itu adalah parpol yang paling rajin menggelar aksi sosial, baik untuk urusan umat di dalam negeri maupun umat di luar negeri. Parpol yang mengkritik justru jarang kelihatan aksinya ; di dalam dan di luar negeri. Demikian pula jika ada orang yang menggunakan argumen serupa, sebaiknya dikembalikan pada mereka : “Apa yang sudah antum perbuat untuk saudara-saudara antum di dalam negeri?”. Faktanya, dalam hal aksi sosial, yang terjadi adalah 4L (lu lagi, lu lagi). Yang mengurusi musibah di Aceh, Sidoarjo, dan Palestina, biasanya yang itu-itu juga orangnya. Dan yang bermalas-malasan dan mengajukan seribu pembenaran untuk tidak berbuat apa-apa biasanya juga yang itu-itu saja.
Comments
0 Comments