| Mera Naam Joker: Mereka Yang Menerima Hidayah

Rabu, 20 April 2011

Mereka Yang Menerima Hidayah



REPUBLIKA.CO.ID, "Pertanyaan itu saling berbalapan dalam pikiranku. Apakah ini akan membuatku menjadi seorang Muslim? Apa arti berislam setelah semua? Begitu gampangkah menjadi seorang Muslim? Dan apa yang terjadi setelah itu? Bagaimana jika aku menyesal?" ujar Myrtho, menceritakan apa yang berkecamuk dalam benaknya beberapa menit menjelang bersyahadat.

Bagi Myrto -- ia menolak menyebutkan nama belakangnya -- menemukan agama bukan terjadi dalam semalam. "Aku butuh waktu hampir sembilan tahun untuk percaya bahwa sebenarnya ada Tuhan dan memilih Islam sebagai cara untuk menyembah Dia," katanya.

Myrto memiliki kehidupan yang sangat keras. Ia mempunyai pengalaman traumatis pribadi yang membuatnya kerap frustrasi. Lari pada agama seperti yang disarankan banyak orang padanya? Nonsense. "Aku hampir sepenuhnya menolak kehadiran Tuhan atau apapun namanya dalam hidupku," katanya.

Hingga suatu hari, ia menghadiri pemakaman temannya. Sang pendeta di akhir ceramahnya berkata, "Istirahatlah dengan tenang, dan abaikan semua dosa."

"Meskipun aku benar-benar tidak puas oleh perilaku agamawan di Yunani dan masih terngiang-ngiang kata-kata pendeta di pemakaman, aku memutuskan untuk mulai membaca tentang agama," katanya.

Ia mulai meneliti agama Kristen dan terutama Dogma Ortodoks, juga Yudaisme, dan Budha sebelum akhirnya Islam. "Aku mulai secara bertahap percaya pada Tuhan, imanku pada Tuhan menjadi kuat seiring waktu, walau aku belum memilih, akan memuja Tuhan dengan agama apa," katanya.

Ketika makin dalam belajar, banyak pertanyaannya yang jawabannya ada dalam ajaran Islam. "Islam berarti perdamaian dan Muslim berarti orang yang menawarkan dirinya kepada Allah saja, tanpa penyesalan atau keuntungan pribadi," ujarnya.

Ia juga menemukan anggapan publik Yunani tentang beberapa simbol Islam, ditafsirkan secara salah. Misalnya saja, karena kirabnya menggunakan bahasa Arab, maka hanya ditujukan untuk orang Arab. Atau simbol bulan sabit yang diartikan sebagai simbol mandi darah dan balas dendam. "Bulan sabit merupakan peringatan bahwa orang Muslim menghitung waktu berdasarkan bulan, bukan matahari," ujarnya.

keinginannya berislam semakin mantap ketika ia meneruskan studi ke Inggris. Sumber-sumber mempelajari Islam banyak dijumpai di negara ini. "Aku bertemu banyak Muslim, membaca lebih beragam literatur, menonton film dokumenter, menghadiri ceramah Islam, pergi ke museum Islam, dan menghadiri kelas Islam," katanya.

Maka bulat hati, ia bersyahadat, namun dengan syarat. "Aku memutuskan untuk memulai hidup sebagai seorang Muslim untuk jangka waktu tertentu, untuk melihat apa  apakah itu benar-benar begitu sulit. Seperti yang dinyatakan dalam Quran, pria dan wanita diciptakan sama-sama memiliki kehendak bebas untuk mereka sendiri," katanya.

Apa artinya hidup sebagai seorang Muslim? Apakah harus mengenakan abaya dan niqaab? Haruskah berdoa 10 kali sehari? Bagaimana dengan puasa ketat selama bulan Ramadhan? Terus, tinggal di rumah dan memiliki banyak anak? Menghindari segala macam pengalaman yang menyenangkan kalau-kalau Anda melakukan sesuatu yang terlarang? Pertanyaan itu terus berputar.

Hingga akhirnya ia menemukan: Islam bukanlah sistem yang ketat aturan atau semacam penjara. "Islam menuntun untuk mlakukan perbuatan baik setiap hari, berusaha untuk menghindari tindakan buruk, berdoa sebanyak yang Anda bisa, puasa sebanyak yang Anda bisa, menunjukkan cinta dan kasih sayang, selalu berjuang untuk memperbaiki diri sendiri, maju dan berkembang dalam pengetahuan hari demi hari, mencoba melakukan yang  terbaik setiap hari, hanya inilah yang diperlukan untuk menjadi seorang Muslim," katanya.

Ia memperbaharui syahadatnya. Kini, Myrto telah kembali ke Yunani dan menikah dengan seorang Muslim Inggris. "Aku menyadari bahwa saya bisa hidup sebagai seorang Muslim, aku hanya mengubah cara dan frekuensi doa, berhenti makan daging babi atau minum alkohol, dan kini aku memakai jilbab. Itu saja."

Izabela Szydlo: Dua Tahun Berjuang Menolak Keinginan Hati Menerima Islam


REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO - Namanya Izabela Szydlo. Dia adalah wanita asal Polandia, yang menuntut ilmu di Kanada. Tak hanya jatuh hati pada negeri itu, ia juga terpikat pada agama yang kini sedang naik daun di negeri itu, Islam.

Jalannya menuju Islam sangat berliku. Ketika hatinya mulai tertambat, ia justru menolaknya. "Dua tahun saya berjuang melawan hati saya sendiri menolak Islam," katanya. Namun ia menyerah, setelah menemukan hanya Islamlah yang pas di hatinya.

Berikut ini pengakuan Izabela tentang pencarian keyakinannya:

Saat tahu saya Muslim, orang pasti akan menebak latar belakang saya adalah Libanon atau Suriah. "Aku Polandia." Jawaban saya biasanya diikuti dengan pertanyaan lain, "Apakah Polandia sebuah negara Muslim?" Saya menjelaskan, "Ini tidak. Aku dikonversi."

Orang tidak biasa mengerti bahwa ada orang yang menerima agama lain dengan deklarasi keyakinan. Tapi melihat kembali pada pengalaman saya sendiri, memang  tidak sesederhana itu.

Saya belajar tentang Islam tiga tahun yang lalu ketika saya bertemu  seorang mualaf  sahabat saya. Kami mulai mendiskusikan agama. Ketika kami berbicara, saya menemukan diri saya mengidentifikasi dengan ajarannya tetapi pikiran saya terus melayang dengan budaya Polandia saya dan iman Katolik saya. Aku berpikir apa yang orang akan katakan jika saya pindah agama  dan lebih penting lagi jika saya harus mengambil sesuatu yang bukan hanya cara berdoa, tapi juga cara hidup.

Saya punya terlalu banyak pertanyaan dan semua saya temukan jawabannya dalam agama ini.Saya mulai berontak. Saya belajar agama saya sendiri dan berusaha mencari koneksi, tapi sekali lagi Islam merayap ke dalam pikiran saya.

Perjuangan internal yang berlangsung selama dua tahun sangat berat. Pada musim panas tahun 2005 saya putus asa.

(Awal 2006, ia mengibarkan bendera putih, menyerah. Iapun belajar tentang Islam secara otodidak; dari nol lagi). Saya menemukan diri saya menulis artikel tentang isu-isu Islam di kampus dan kesalahpahaman yang terjadi dalam memahami Muslim.

Saya menemukan bahwa Islam adalah agama intelektual dan bahkan sains ada dalam kitab suci mereka, Alquran. Selama ini, Barat banyak menyebut Alquran adalah kreasi nabinya. Saya duduk  pada malam-malam panjang saya membaca, bingung bahwa seorang buta huruf bernama Muhammad bisa menjelaskan banyak ilmu dalam Alquran, antara lain, bagaimana janin terbentuk. Bagaimana dia tahu hal-hal pada waktu itu? Bagi saya jawabannya sederhana, campur tangan Ilahi. Saya makin yakin: saya memang harus mengkonversi keimanan saya.

Pada tanggal 13 April 2006, saya bersyadahat.  Saya tidak ingat berjalan ke masjid tapi saya ingat air mata membasahi pipi setelah itu.  Saya siap untuk memulai hidup lebih terarah. Tapi sebelum saya bisa melakukan itu, saya harus membantu keluarga saya menyesuaikan diri dengan perubahan.

Beberapa minggu kemudian, saya tahu masalah tidak dapat dihindari. Malam pertama di rumah, ibu saya melihat sajadah warna zamrud hijau saya. "Apa itu?" tanya dia dan kemudian menjawab pertanyaan sendiri dengan amarahnya.

Biasanya saya akan mulai bertengkar bila kondisi sudah demikian. Tapi kali ini tidak.  Saya menemukan kenyamanan dengan mengambil air wudhu dan shalat. Ketika saya membungkuk di atas tikar, kekhawatiran saya sepertinya berkurang. Sesuatu mengatakan kepada saya bahwa ibu saya akan menerimanya suatu ketika.

Hari berikutnya saya menjelaskan agama baru saya kepadanya. Dia mengangguk diam-diam dan saya berjanji bahwa tidak ada yang akan berubah di antara kami. "Saya tidak bisa menjanjikan apapun, hanya ini akan mengubah saya menjadi orang yang lebih baik," jawab saya.

Hanya satu yang diinginkan ibu saat itu: saya berjanji  akan tetap makan malam saat Natal bersama-sama. Saya mengangguk.

Tantangan saya sebagai Muslim sangat berat, saya tahu itu. Saya bukannya tak mengalami: kerap dianggap sebagai calon bomber bunuh diri.

Saya tahu orang takut apa yang mereka tidak mengerti. Tapi sama seperti ibu saya yang mau belajar, saya berharap orang mulai meluangkan waktu untuk melakukan sedikit pencarian sehingga ketakutan yang berubah menjadi pengetahuan.

Denise Horsley: Saya Penari, Bolehkah Saya Memeluk Islam?


REPUBLIKA.CO.ID, Menari adalah dunia Denise Horsley. Hobinya itu mengantarkannya melanglang buana, mendapatkan penghasilan lumayan, dan menjadi asisten dosen di fakultas seni di sebuah universitas di London.

Wanita berusia 25 tahun ini lincah di atas panggung, dan sesekali berjilbab di kesehariannya. Tak ada yang menyangka, jebolan London College of Dance/Middlesex University tahun 1998 ini melalui pergulatan batin panjang sebelum memeluk Islam.

Perkenalannya dengan Islam dimulai saat ia duduk di bangku kuliah. Ia enggan menceritakan siapa yang mengenalkan pertama kali, namun peraih gelar sarjana tari dengan nilai tertinggi ini menjadi sangat ingin tahu belajar tentang Islam.

"Semakin saya membaca banyak tentang Islam, semakin saya mengakui agama ini sungguh masuk akal," katanya. Di sela-sela kesibukannya, ia kerap menghabiskan waktu  berjam-jam di perpustakaan Masjid Regent's Park hanya untuk membaca terjemahan Alquran.

Seperti Alkitab, Quran menyebutkan nabi, malaikat, mukjizat, perbuatan baik dan buruk, pahala dan hukuman, pertobatan dan pengampunan, surga dan neraka, Adam dan Hawa, Taurat, Injil dan banyak hal lainnya yang akrab baginya. "Namun pertanyaan yang telah berlama-lama mengendap dalam pikiran saya sejak sekolah Katolik akhirnya terjawab, tentang konsep ketuhanan," ujarnya.

Suatu saat di bulan Ramadhan tahun 2009, ia memberanikan diri datang ke ruang shalat di masjid itu. "Saya memutuskan untuk menghadiri shalat Taraweh selama bulan Ramadhan. Menuju masjid, di dalam mobil saya gugup, bagaimana saya harus bershalat," ujarnya mengenang.

Ia mengamati shalat berjamaah yang sungguh menyentuh hatinya. Tekad Denise untuk menjadi Muslimah tak lagi bisa terbendung. Pertanyaan pertama yang dilontarkannya, "Bisakah seorang penari menjadi Muslimah?"

Komunitas masjid menyambutnya dengan hangat. Denise pun menyatakan syahadat.

Kini, ia tetap menjadi penari, dan makin rajin belajar agama. "Keluarga saya menerima dan bahkan sangat bahagia, karena saya menemukan sesuatu yang membuat saya begitu bersemangat," ujarnya.

Ia menyatakan, citra Islam sangat tergantung pada bagaimana Muslim dan Muslimah bersikap. "Tuhan telah menciptakan Anda dan membawa Anda dalam perjalanan hidup Anda karena suatu alasan, jadi biarkan orang melihat keindahan Islam melalui Anda," ujarnya.

Jumlah Mualaf Kian Tak Terkendali, Kaum Ortodoks Rusia Ajak Umat Lain Bendung Syiar Islam


REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Di masa lalu, misionaris Protestan pernah sukses memurtadkan banyak warga di daerah tradisional Muslim di Federasi Rusia, dulu Uni Soviet. Seiring waktu, banyak anak keturunan mereka yang kemudian beralih menjadi Muslim, agama lama orang tuanya.

Hal ini, membuat gerah Gereja Ortodoks di negara itu. Mereka mengajak kelompok lain, antara lain Gereja Protestan, untuk membendung syiar Islam. Namun, gereja Protestan menyatakan penolakannya.

Hal ini terungkap dalam sebuah wawancara yang diterbitkan dalam edisi terbaru  NG-Religii, majalah intern mereka. Dalam artikel itu disebutkan, Uskup Sergey Ryakhovsky, presiden Russian United Union of Evangelical Christians,  menentang pendekatan semacam itu yang ia sebut sama seperti ia menentang "Perang Salib di salah satu manifestasi  mereka."

Ryakhovsky mengatakan bahwa adalah prinsip mendasar dari gereja Protestan bahwa seorang individu bebas memilih agama apa yang akan dianutnya. "Perbedaan etnis atau agama harus dihormati, kami  tidak ingin gereja kami menjadi terlibat dalam benturan dengan pengikut agama lain," katanya.

Pembunuhan baru-baru atas Uskup Artur Suleymanov di Kaukasus Utara, kata Ryakhovsky  bukan perang Islam dengan Kristen, meski banyak yang menganggap demikian.  "Di Kaukasus Rusia," katanya, "Jumlah imam yang dibunuh jauh lebih besar dari pendeta Kristen."

Ia menganjurkan umat Protestan di Rusia untuk hidup damai dengan tetangganya yang mengaku Islam atau mereka yang baru masuk Islam. "Kita diajarkan  untuk menghormati semua orang,  apapun budaya dan tradisi mereka."
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Comments
0 Comments