| Mera Naam Joker: November 2010

Selasa, 30 November 2010

aduhai aku termasuk diantara orang-orang ini......


 

CIRI CIRI ORANG MUNAFIK

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendengar kata "munafik" diucapkan orang. Dan bila itu terjadi, biasanya perhatian kita langsung akan terpusat pada sosok yang disebut-sebut munafik tadi. Bahkan tidak jarang kita sendiripun tergoda untuk ikut menambahkan komentar (gibah) mengenai sosok sial yang disebut munafik ini. Lalu, sejauh mana sebetulnya pengetahuan kita tentang Munafik? Berikut adalah ciri-ciri orang munafik menurut Islam.

1. Dusta
Hadith Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad Musnad dengan sanad Jayid: "Celaka baginya, celaka baginya, celaka baginya. Yaitu seseorang yang berdusta agar orang-orang tertawa." Di dalam kitab Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), Rasulullah SAW bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga, salah satunya adalah jika berbicara dia dusta."
2. Khianat
Sabda Rasulullah SAW: "Dan apabila berjanji, dia berkhianat." Barangsiapa memberikan janji kepada seseorang, atau kepada isterinya, anaknya, sahabatnya, atau kepada seseorang dengan mudah kemudian dia mengkhianati janji tersebut tanpa ada sebab uzur syar'i maka telah melekat pada dirinya salah satu tanda kemunafikan.
3. Fujur Dalam PertikaianSabda Rasulullah SAW: "Dan apabila bertengkar (bertikai), dia melampau batas."

4. Ingkar JanjiSabda Rasulullah SAW: "Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia ingkar, dan jika dipercaya (diberi amanat) dia berkhianat." (HR. Bukhari Muslim)
5. Malas Beribadah
Firman Allah SWT: "Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas." (An-Nisa': 142) . Jika orang munafik pergi ke masjid atau surau, dia menyeret kakinya seakan-akan terbelenggu rantai. Oleh kerana itu, ketika sampai di dalam masjid atau surau dia memilih duduk di shaf yang paling akhir. Dia tidak mengetahui apa yang dibaca imam dalam sholat, apalagi untuk menyemak dan menghayatinya.
6. Riya
Di hadapan manusia dia sholat dengan khusyuk tetapi ketika seorang diri, dia mempercepatkan sholatnya. apabila bersama orang lain dalam suatu majlis, dia tampak zuhud dan berakhlak baik, demikian juga pembicaraannya. Namun, jika dia seorang diri, dia akan melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT.
7. Sedikit Berzikir
Firman Allah SWT: "Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah SWT kecuali sedikit sekali." (An-Nisa': 142) .

8. Mempercepat Sholat

Mereka (orang-orang munafik) adalah orang yang mempercepatkan sholat tanpa ada rasa khusyuk sedikit pun. Tidak ada ketenangan dalam mengerjakannya, dan hanya sedikit mengingat Allah SWT di dalamnya. Fikiran dan hatinya tidak menyatu. Dia tidak menghadirkan keagungan, kehebatan, dan kebesaran Allah SWT dalam sholatnya. Hadith Nabi SAW: "Itulah sholat orang munafik, ... lalu mempercepat empat rakaat (sholatnya)"

9. Mencela Orang-Orang Yang Taat Dan Soleh

Mereka memperlekehkan orang-orang yang Taat dengan ungkapan yang mengandung cemuhan dan celaan. Oleh kerananya, dalam setiap majlis pertemuan sering kali kita temui orang munafik yang hanya memperbincangkan sepak terjang orang-orang soleh dan orang-orang yang konsisten terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Baginya seakan-akan tidak ada yang lebih penting dan menarik selain memperolok-olok orang-orang yang Taat kepada Allah SWT
10. Mengolok-Olok Al-Quran, As-Sunnah, Dan Rasulullah SAW
Termasuk dalam kategori Istihzaa' (berolok-olok) adalah memperolok-olok hal-hal yang disunnah Rasulullah SAW dan amalan-amalan lainnya. Orang yang suka memperolok-olok dengan sengaja hal-hal seperti itu, jatuh Kafir. Firman Allah SWT: "Katakanlah, Apakah dengan Allah SWT, Ayat-Ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, kerana kamu kafir sesudah beriman." (At-Taubah: 65-66)
11. Bersumpah Palsu
Firman Allah SWT: "Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai." (Al-Munafiqun: 2 & Al-Mujadilah: 16). Jika seseorang menanyakan kepada orang munafik tentang sesuatu, dia langsung bersumpah. Apa yang diucapkan orang munafik semata-mata untuk menutupi kedustaannya. Dia selalu mengumpat dan memfitnah orang lain. Maka jika seseorang itu menegurnya, dia segera mengelak dengan sumpahnya: "Demi Allah, sebenarnya kamu adalah orang yang paling aku sukai. Demi Allah, sesungguhnya kamu adalah sahabatku."
12. Enggan Berinfak
Orang-orang munafik memang selalu menghindari hal-hal yang menuntut pengorbanan, baik berupa harta maupun jiwa. Apabila menjumpai mereka berinfak, bersedekah, dan mendermakan hartanya, mereka lakukan kerana riya' dan sum'ah. Mereka enggan bersedekah, kerana pada hakikatnya, mereka tidak menghendaki pengorbanan harta, apalagi jiwa.
13. Tidak Menghiraukan Nasib Sesama Kaum Muslimin
Mereka selalu menciptakan kelemahan-kelemahan dalam barisan muslimin. Inilah yang disebut At Takhdzil. iaitu, sikap meremehkan, menakut-nakuti, dan membiarkan kaum muslimin. Orang munafik berpendapat bahawa orang-orang kafir lebih kuat daripada kaum muslimin.
14. Suka Menyebarkan Khabar Dusta
Orang munafik senang memperbesar peristiwa atau kejadian. Jika ada orang yang tergelincir lisannya secara tidak sengaja, maka datanglah si munafik dan memperbesarkannya dalam majelis-majelis pertemuan. "Apa kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan si fulan itu?" Lalu, dia pun menirukan kesalahan tersebut. Padahal, dia sendiri mengetahui bahawa orang itu mempunyai banyak kebaikan dan keutamaan, akan tetapi si munafik itu tidak akan mahu mengungkapkannya kepada masyarakat.
15. Mengingkari Takdir
Orang munafik selalu membantah dan tidak redha dengan takdir Allah SWT. Oleh kerananya, apabila ditimpa musibah, dia mengatakan: "Bagaimana ini. Seandainya saya berbuat begini, niscaya akan menjadi begini." Dia pun selalu mengeluh kepada sesama manusia. Sungguh, dia telah mengkufuri dan mengingkari Qadha dan Takdir.
16. Mencaci Maki Kehormatan Orang-Orang Soleh
Apabila orang munafik membelakangi orang-orang soleh, dia akan mencaci maki, menjelek-jelekkan, mengumpat, dan menjatuhkan kehormatan mereka di majlis-majlis pertemuan. Firman Allah SWT: "Mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan." (Al-Ahzab: 19)

17. Sering Meninggalkan Sholat Berjamaah
Apabila seseorang itu segar, kuat, mempunyai waktu luang, dan tidak memiliki uzur say'i, namun tidak mahu mendatangi masjid/surau ketika mendengar panggilan azan, maka saksikanlah dia sebagai orang munafik.
18. Membuat Kerusakan Di Muka Bumi Dengan Dalih Mengadakan Perbaikan
Firman Allah SWT: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan kebaikan.' Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (Al-Baqarah: 11-12).
19. Tidak Sesuai Antara Zahir Dengan Bathin
Secara Zahir mereka membenarkan bahawa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah, tetapi di dalam hati mereka, Allah telah mendustakan kesaksian mereka. Sesungguhnya, kesaksian yang tampak benar secara Zahir itulah yang menyebabkan Mereka masuk ke dalam Neraka. Penampilan zahirnya bagus dan mempesona, tetapi di dalam batinnya terselubung niat busuk dan menghancurkan. Di luar dia menampakkan kekhusyukan, sedangkan di dalam hatinya ia main-main.
20. Takut Terhadap Kejadian Apa Saja
Orang-orang munafik selalu diliputi rasa takut. Jiwanya selalu tidak tenang, keinginannya hanya selalu mendambakan kehidupan yang tenang dan damai tanpa disibukkan oleh persoalan-persoalan hidup apapun. Dia selalu berharap: "Tinggalkan dan biarkanlah kami dengan keadaan kami ini, semoga Allah memberikan nikmat ini kepada kami. Kami tidak ingin keadaan kami berubah." Padahal, keadaannya tidaklah lebih baik.
21. Beruzur Dengan Dalih Dusta
Firman Allah SWT: "Di antara mereka ada orang yang berkata: 'Berilah saya izin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.' Ketahuilah bahawa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Neraka Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir." (At-Taubah: 49)

22. Menyuruh Kemungkaran Dan Mencegah Kemakrufan
Mereka (orang munafik) menginginkan agar perbuatan keji tersiar di kalangan orang-orang beriman. Mereka menggembar-gemburkan tentang kemerdekaan wanita, persamaan hak, penanggalan hijab/jilbab. Mereka juga berusaha memasyarakatkan nyanyian dan konsert, menyebarkan majalah-majalah porno (semi-porno) dan narkotik.

23. Bakhil
Orang-orang munafik sangat bakhil dalam masalah-masalah kebajikan. Mereka menggenggam tangan mereka dan tidak mahu bersedekah atau menginfakkan sebahagian harta mereka untuk kebaikan, padahal mereka orang yang mampu dan berkecukupan.
24. Lupa Kepada Allah SWT
Segala sesuatu selalu mereka ingat, kecuali Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka senantiasa ingat kepada keluarganya, anak-anaknya, lagu-lagu, berbagai keinginan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan duniawi. Dalam fikiran dan batin mereka tidak pernah terlintas untuk mengingat (dzikir) Allah SWT, kecuali sebagai tipuan semata-mata.
25. Mendustakan Janji Allah SWT Dan Rasul-Nya
Firman Allah SWT: "Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami selain tipu daya." (Al-Ahzab: 12).

26. Lebih Memperhatikan Zahir, Mengabaikan Bathin
Orang munafik lebih mementingkan zahir dengan mengabaikan yang batin, tidak menegakkan sholat, tidak merasa diawasi Allah SWT, dan tidak mengenal zikir. Pada zahirnya, pakaian mereka demikian bagus menarik, tetapi batin mereka kosong, rusak dan lain sebaginya.
27. Sombong Dalam Berbicara
Orang-orang munafik selalu sombong dan angkuh dalam berbicara. Mereka banyak omomg dan suka memfasih-fasihkan ucapan. Setiap kali berbicara, mereka akan selalu mengawalinya dengan ungkapan menakjubkan yang meyakinkan agar tampak seperti orang hebat, mulia, berwawasan luas, mengerti, berakal, dan berpendidikan. Padahal, pada hakikatnya dia tidak memiliki kemampuan apapun. Sama sekali tidak memiliki ilmu bahkan bodoh.

28. Tidak Memahami Ad Din
Di antara "keistimewaan" orang-orang munafik adalah: mereka sama sekali tidak memahami masalah-masalah agama. Dia tahu bagaimana mengenderai mobil dan mengerti perihal mesinnya. Dia juga mengetahui hal-hal remeh dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak pernah memberi manfaat kepadanya meski juga tidak mendatangkan mudharat baginya. Akan tetapi, apabila menghadapi untuk berdialog (bertanya tentang persoalan-persoalan Ad Din (Islam)), dia sama sekali tidak boleh menjawab.
29. Bersembunyi Dari Manusia Dan Menentang Allah Dengan Perbuatan DosaOrang munafik menganggap ringan perkara-perkara terhadap Allah SWT, menentang-Nya dengan melakukan berbagai kemungkaran dan kemaksiatan secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, ketika dia berada di tengah-tengah manusia dia menunjukkan sebaliknya: berpura-pura taat.

Firman Allah SWT: "Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahsia yang Allah tidak ridhoi." (An-Nisa': 108)

30. Senang Melihat Orang Lain Susah, Susah Bila Melihat Orang lain Senang
Orang munafik apabila mendengar berita bahawa seorang ulama yang soleh tertimpa suatu musibah, dia pun menyebarluaskan berita duka itu kepada masyarakat sambil menampakkan kesedihannya dan berkata: "Hanya Allahlah tempat memohon pertolongan. Kami telah mendengar bahawa si fulan telah tertimpa musibah begini dan begitu. Semoga Allah memberi kesabaran kepada kami dan beliau." Padahal, di dalam hatinya dia merasa senang dan bangga akan musibah itu.

HINDARKAN DIRI DARI SIFAT-SIFAT MUNAFIK

Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik

Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

"Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya." (Al-Baqarah: 11-12). Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ

"Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu." (Al-Baqarah: 13). Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:

اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)

Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

"(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)

Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ

“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63). Di dalam ayat yang lain:

وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا

“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah: 68). Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)

Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.

Pengertian nifaq (kemunafikan)

Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)

Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi amanah.

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar

Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
  1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
  2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
  3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.

Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Jauhi sifat-sifat munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ

“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ

“Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:

  1. Berdusta ketika bicara. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
  2. Mengingkari janji
  3. Mengkhianati amanah
  4. Membatalkan perjanjian secara sepihak

Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:

  1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
  2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.

Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)

Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

"Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta." (At-Taubah: 75-77)

Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad." Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: …وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ
"Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)

Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah." Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”

Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)

Penutup
Saudaraku sekalian,
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9). Dalam ayat yang lain:

هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ

“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka.” (Al-Munafiqun: 4)

Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.

Sumber: http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak Judul: Jauhilah Sifal-sifat Munafik

Wassalam, Abu Muawiah

Hati-hati dari menyerupai kaum kafir






Hati-hati dari menyerupai kaum kafir
Penulis: Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Manhaj, 23 Desember 2004, 04:39:47
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi muslim atau muslimah untuk ber-tasyabbuh (meniru) orang kafir baik dalam perkara ibadah, hari raya atau tasyabbuh dalam pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Larangan ber-tasyabbuh adalah kaidah yang agung dalam syariat Islam -namun ironinya- saat ini banyak kaum muslimin telah keluar dari kaidah ini –termasuk juga di kalangan orang-orang yang berkepentingan terhadap perkara agama dan dakwah. Hal ini disebabkan karena kejahilan mereka terhadap agama, kerana mereka mengikuti hawa nafsu, atau mereka hanyut dengan model-model masa kini serta taklid (mengikuti tanpa ilmu) kepada bangsa Eropah yang kafir. Sehingga keadaan ini termasuk menjadi penyebab kaum muslimin memiliki kedudukan yang rendah dan lemah serta berkuasanya orang asing terhadap mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Aduhai, seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaedah penting ini banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam Al-Qur’an bersifat umum, maka As-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ. وَءَاتَيْنَاهُمْ بَيِّنَاتٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوآءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat) kekuasaan dan kenabian. Dan kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih kepadanya. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 16-18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hal. 8: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan bahwa Dia memberikan nikmat kepada Bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Serta Allah Subhanahu wa Ta'ala larang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul. Yang dimaksud dengan ahwa-ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang nampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.

Menyetujui mereka dalam hal ini berarti mengikuti hawa nafsu mereka. Kerana inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun suka untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini. Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justeru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan ridha Allah ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Dan bahwa perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain. Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatiri dia akan terjatuh ke dalamnya. Maka apapun dari dua keadaan itu, nescaya akan terwujud tasyabbuh itu secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat.”

Dalam bab ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ اْلأَحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلاَ أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوآءَهُمْ بَعْدَ مَا جآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Orang-orang yang kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nashrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia’. Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (Ar-Ra’d: 36-37)
Kata ganti ‘mereka’ (هُمْ) dalam kata hawa ‘nafsu mereka’ (أَهْوآءَهُمْ) kembali –wallahu a’lam– kepada yang disebutkan sebelumnya yaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) yaitu orang-orang yang mengingkari sebagian Al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari Al Qur’an baik (dilakukan oleh) Yahudi atau Nashrani atau selain keduanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ...
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu...” (Ar-Ra’d: 37)
Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan bisa jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain selain perkara agama.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka. Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hal. 43 tentang ayat ini: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (وَلاَ يَكُونُوا) ‘janganlah mereka menjadi’ adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka. Sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310): “Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok ataupun cabang.”

Diantara larangan tasyabbuh adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘ra’ina’, akan tetapi katakan ‘undzurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir terdapat siksa yang pedih.” (Al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148): “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal itu karena sesungguhnya orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk melecehkan. Semoga Allah melaknati mereka. Maka jika mereka ingin mengatakan ‘dengarkan kami’, mereka justru mengatakan ra’ina2. Mereka maksudkan makna ru’unah dengan makna dungu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُونَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar namun kami tidak menurutinya’. Dan (mereka mengatakan) pula: ‘dengarlah’, sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) rai’na dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikan kami’ tentulah itu lebih baik dan lebih tepat. Akan tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (An-Nisa: 46)

Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa jika memberi salam, mereka mengatakan As-samu ‘alaikum, padahal As-samu berarti Al-Maut. Karena itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan ‘alaikum.1. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.

Maksudnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hal. 22 yang ringkasnya: “Qatadah dan selainnya berkata: Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok). Maka Allah melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Yahudi mengatakan kepada Nabi ra’ina sam’aka. Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini karena di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah kejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya karena orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud jelek dan kaum muslimin tidak bermaksud jelek. Karena dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka.”

Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan telah mencukupi. Barangsiapa yang ingin mengetahui ayat-ayat itu silakan melihat kitab Iqtidha.

Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syariat ini. Maksud dan tujuan syariat itu terdapat di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hal itu ssrta merincinya untuk umat ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu juga dalam banyak perkara dari cabang syariat. Sehingga Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:

إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُواهَا، وَلَمْ يُجَامِعُواهَا فِي الْبُيُوْتِ،فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.....) إِلَى آخِيْرِ اْلآيَةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُوْدَ، فَقَالُوا مَا يُرِيْدُ هَذَا الرَّجُوْلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلاَّ خَالَفَنَافِيْهِ، فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ، وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ،فَقَالاَ: يَارَسُوْلَ اللهِ! إِنَّ الْيَهُوْدَ تَقُوْلُ كَذَاوَكَذَا، أَفَلاَ نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجَهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةً مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَرْسَلَ فِيْ آثَرِهِمَا، فَسَقَاهٌمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
“Sesungguhnya pada Kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haidh, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah. Maka para shahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para shahabat: “Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima’, red).”
Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, merekapun berkata: “Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu.”
Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu 'anhuma dan keduanya bertanya: “Ya Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah kita berjima’ saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?” Berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua shahabat itu sampai keduanya keluar (dari rumah Rasulullah). Kemudian kedua shahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada keduanya. Lantas Nabi memberi mereka berdua minum, maka (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada keduanya.3
Adapun dari As-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, yang sangat baik untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam As-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari sekian macam bab dalam syariat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga mencakup juga hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat. (Nash-nash dari As-Sunnah) ini adalah penjelas yang merinci keterangan global yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang telah lalu dan ayat yang semisalnya, sebagaimana telah diisyaratkan, sbb :
1. Untuk memutlakkan jawaban seperti ini, masih perlu kajian lebih lanjut. Silakan lihat apa yang saya sebutkan dalam Ash-Shahihah, 2/324-330.
2. Adapun makna ra’ina adalah orang yang jahat di antara kami.
3. Dikeluarkan Al-Imam Muslim (1/169) dan Abu ‘Awanah (1/311-322) dalam kitab Shahih keduanya. Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh selain mereka yang kami sebutkan (di atas), dan kami telah menjelaskannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 250).

Syaikhul Islam dalam Iqtidha berkata: “Hadits ini menunjukkan banyaknya hal yang Allah syariatkan bagi Nabi-Nya untuk menyelisihi kaum Yahudi, bahkan dalam setiap perkara secara umum, hingga kaum Yahudi mengatakan: ‘Laki-laki ini tidak menginginkan untuk membiarkan satu perkarapun dari perkara kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara itu’.

Adapun hukum menyelisihi -sebagaimana yang akan dijelaskan- terkadang terjadi pada hukum asalnya dan terkadang dalam sifat hukumnya. Menjauhi wanita yang haidh (pada kaum Yahudi) tidak diselisihi kaum muslimin pada asal hukumnya. Namun kaum muslimin menyelisihi dalam sifatnya dari sisi bahwa Allah mensyariatkan mendekati wanita haidh selain dari tempat haidh (kemaluan). Maka ketika sebagian shahabat melampaui batas dalam menyelisihi (Yahudi) sampai meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan, berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bab ini termasuk dalam perkara thaharah di mana kaum Yahudi mempunyai belenggu yang besar di dalamnya. Adapun kaum Nashrani telah membuat bid’ah dengan meninggalkan hukum thaharah ini seluruhnya sehingga mereka tidak menganggap najis sesuatu pun tanpa syariat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada umat yang pertengahan ini (umat Islam) dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi umat ini berupa hukum yang pertengahan dalam hal ini, meskipun apa yang dulu ada pada orang Yahudi juga disyariatkan (untuk mereka). Maka menjauhi hal yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhinya berarti mendekati (perbuatan) Yahudi, dan mengerjakan hal yang disyariatkan Allah untuk menjauhinya adalah mendekati (perbuatan) Nashara. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


HADITS TENTANG MENYELISIHI KUFFAR

عَنْ أَبِيْ عُمَيْرٍ ابْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُوْمَةٍ لَهُ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ: اهْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيْلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُوْرِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا أَذَّنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ، يَعْنِى الشَّبُوْرَ (وَفِيْ رِوَيَةٍ شَبُّوْرُ الْيَهُوْدِ) فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، وَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوْسُ، فَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى، فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللهِ بْنِ زَيْدٍ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، وَهُوَ مٌهْتَمٌّ لِِهَمِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأٌرِيَ اْلأَذَانَ فِيْ مَنَامِهِ
Dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memikirkan tentang shalat, yaitu bagaimana cara mengumpulkan manusia untuk shalat. Maka dikatakan kepada beliau: “Kibarkan bendera saat tiba waktu shalat. Jika kaum muslimin melihatnya, maka sebagian menyeru (memberi tahu) kepada yang lain.” Namun beliau tidak menyukai hal itu. Kemudian Abu ‘Umair berkata: Lantas disebutkan kepada beliau tentang Al-Qun’u yaitu terompet (dalam satu riwayat: terompet Yahudi) dan beliau tetap tidak menyukainya dan bersabda: “Terompet itu dari Yahudi.” Abu ‘Umair berkata: Disebutkan kepada beliau tentang lonceng. Maka beliau bersabda: “Lonceng itu dari Nashara.” Maka pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, dan dia adalah orang yang perhatian terhadap apa yang dipikirkan Nabi maka dia diperlihatkan adzan dalam tidurnya.” (Ini adalah hadits shahih yang kami riwayatkan dalam kitab kami Shahih Sunan Abu Dawud no. 511 dan kami sebutkan di dalam kitab itu para imam yang menshahihkannya.)
عَنْ جُنْدُبٍ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ: سَمِعْتٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوْتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ: ..... أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ وَالصَّالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub yaitu Ibnu Abdillah Al-Bajali berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat beliau, beliau mengatakan: ….. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur nabi-nabi dan orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Perhatikanlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan seperti itu.” (HR. Muslim 2/67-68, Abu ‘Awanah, 1/401 di dalam Shahih keduanya, dan Ibnu Sa’d, 2/2/35)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَالِفُوا الْيَهُوْدَ، فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ، وَلاَ فِيْ خِفَافِهِمْ
Dari Syaddad bin Aus berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Selisihilah Yahudi. Karena mereka tidak shalat di atas sandalnya dan tidak dalam khuf mereka.” (Kami riwayatkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 659 dan kami sebutkan di sana para imam yang menshahihkannya)

(Dikutip dari majalah asy Syariah vol I/No 11/1425 H/2004, judul asli Tidak Menyerupai Orang Kafir, penulis Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, rubrik Kajian Utama. URL sumber http://www.asysyariah.com

akhlak terhadap orang kafir


Ahlak Terhadap Orang Kafir
Bagaimana ahlak Rasulullah saw ketika bergaul dengan orang-orang kafir? Ahlak nabi saw adalah al Qur’an sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah ra ketika ditanya ahlak nabi saw, beliau menjawab:
“Ahlak beliau (nabi saw) adalah al Qur’an”. Kemudian ‘Aisyah ra membacakan ayat:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Qs al Qalam:4).
Kata “Khuluqin ‘azhim” (budi pekerti yang agung) dalam ayat ini, mencakup seluruh ahlak terhadap semua mahluk. Rahmat (rasa kasih sayang) merupakan ahlak yang paling tinggi, motivator serta motor penggerak utama suatu ahlak.
Jika contoh-contoh dan riwayat-riwayat yang telah dibawakan dalam ceramah tersebut berkaitan dengan ahlak beliau saw, terhadap orang-orang kafir saat peperangan, maka bagaimana kita akan menggambarkan ahlak beliau saw terhadap mereka dalam kondisi damai?
Saya akan menyebutkan tiga hadits tentang hal itu.
Yang pertama, sabda Rasulullah saw:
“…Sesungguhnya para utusan (duta) itu tidak boleh dibunuh.” ( Riwayat Abu Dawud).
Maksudnya adalah, para utusan yang dikirim oleh orang-orang kafir sebagai duta dan penghubung antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir.
Keadilan dan kasih-sayang Islam tidak memperbolehkan untuk membunuh dan menyakiti mereka. Karena, dalam Islam terdapat ajaran (agar menjaga dan menataati) perjanjian dan ikatan janji.
Ini di antara gambaran cara bergaul tingkat tinggi dari kaum Muslimin, atau dari agama Islam, atau dari nabi Islam kepada orang-orang Kafir, non Islam.
Hadis kedua, yaitu dalam wasiat nabi saw kepada Mu’adz bin Jabal ra, beliau bersabda:
“…dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik.” (Hr Ahmad, Tirmidzi, Darimi).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw tidak mengatakan “pergaulillah kaum Muslimin, atau orang-orang shalih (salih), atau orang-orang yang mengerjakan shalat”, akan tetapi beliau mengatakan”…dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik”.
Maksudnya adalah semua agama, yang kafir, yang muslim, yang mushlih (muslih; yang melakukan perbaikan), yang faajir (jahat) dan yang shalih, sebagai bentuk keluasaan rahmat dan kelengkapannya dengan ahlak din (agama).
Hadis ketiga, yaitu hadis tentang seorang Yahudi, tetangga nabi saw, yang sering menyakiti beliau saw.
Suatu ketika, nabi mengetahui bahwa orang yang selalu menyakitinya ini memiliki seorang anak yang sedang sekarat. Maka nabi saw datang berkunjung kerumahnya dan mengajaknya menuju jalan Rabb-nya, dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki keadaan orang ini.
Beliau saw membalas keburukan dengan kebaikan, meskipun terhadap orang kafir, Rasulullah saw bersabda kepada si anak, sementara bapaknya juga ada bersama mereka:
“Wahai bocah, katakanlah laa ilaaha illallah, itu akan menyelamatkanmu dari api neraka.”
Mendengar seruan ini, si anak memandang ke arah bapaknya dan memperhatikannya. Rasulullah saw mengulangi lagi:
“Wahai bocah, katakanlah laa ilaaha illallah!”
Si anak memandang ke arah bapaknya lagi. Kejadian yang sama juga terjadi antara Rasulullah saw dengan pamannya, Abu Thalib, yang senantiasa membantu dan menolong din Islam, kaum Muslimin dan Rasulullah saw, akan tetapi, dia tidak masuk Islam. Rasulullah saw bersabda kepadanya:
“Wahai paman, katakanlah laa ilaaha illallah…”
Mendengar seruan ini, Abu Thalib memandang para pembesar Qurays. Lalu mereka mengatakan:
“Apakah kamu benci terhadap agama nenek moyangmu?” (Hadis riwayat Imam Bukhari).
Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam kekafiran.
Sedangkan orang Yahudi (dalam cerita ini) yang mendengar nabi saw mengajak anaknya agar masuk Islam, Allah menceritakan kondisi mereka:
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah).” (QS Al An’aam :20)
Bagaimana jawaban dan responnya? Orang Yahudi itu mengatakan:
“Wahai anakku, taatlah kepada Abul Qasim (Muhammad saw)!”
Maka si anak mengucapkan syahadatain. Sebelum menghembuskan napas terakhir. Mendapat respon positif ini, Rasulullah bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka dengan sebabku.” (Hr Bukhari, 1356, Abu Dawud).
Inilah ahlak Rasulullah saw yang muliah, adab beliau yang luhur terhadap orang-orang non Muslim, ketika kondisi perang dan dalam keadaan damai. Kita memohon kepada Allah SWT, agar menjadikan ahlak kita sama seperti ahlak beliau saw, dan semoga Allah menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan terbaik kita. Allah Berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab :21)
(Syaikh Ali bin Abdul Hamid Hasan al Halaby dalam muhadharah di Masjid Istiqlal, 19 febuari 2006).
Tulisan ini dikutip dari rubrik Soal-Jawab majalah As-Sunnah halaman 10, Edisi 02/X/1427 H/2006 M.
Semoga bermanfaat Amiin Allahuma Amiin.
Wassallam Alikum Warrohmattullahi Wabbarakatuhu…

Saudaraku Koreksilah Pergaulanmu
penulis Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
Syariah Akhlak 28 - Agustus - 2007 21:31:17
Sebagai jalan hidup dan agama yg mengemban misi rahmatan lil ‘alamin Islam tentu mengatur kaidah bermuamalah atau bergaul bagi pemeluknya. Baik itu terhadap sesama muslim maupun pemeluk agama lain. Tidak mengentengkan yakni tdk tenggelam dlm budaya toleransi yg menjebak namun juga tdk berlebihan semisal melakukan tindak anarkis.
Tentu bukan hal aneh lagi jika kita menjumpai bermacam-macam warna dan perilaku dlm kehidupan masyarakat kita. Ini terjadi dgn sebab yg beragam. Terkadang dilatarbelakangi lingkungan masyarakat pergaulan teman-teman dan sebagainya. Semua ini menuntut agar kita bisa memosisikan syariat sebagai landasan pergaulan sehingga bisa merangkul semua perbedaan tersebut dgn cara menyingkirkan sesuatu yg tdk ada syariat dan mengokohkan yg ada tuntunan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ironi perbedaan itu selama ini justru dijadikan sebuah kebanggaan sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan. Bahkan ada yg sudah dijadikan sebagai ajaran yg harus dianut oleh tiap orang. Akhir tiap seruan yg mengajak kepada adab dan akhlak Islami menjadi sebuah seruan yg tdk berarti. Atau jika ada orang yg mempraktikkan adab bergaul yg Islami justru dicibir dianggap aneh dan asing bahkan dilekati tuduhan yg bukan-bukan. Atau divonis sebagai orang yg melakukan pengrusakan dan kehancuran sebagaimana igauan Fir’aun menanggapi akhlak dan perilaku serta dakwah Nabi Musa ‘alaihissalam:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُوْنِي أَقْتُلْ مُوْسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِيْنَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي اْلأَرْضِ الْفَسَادَ
“Dan berkata Fir’aun : ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb krn sesungguh aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’.”
Igauan pengikut Fir’aun juga menimpa Nabi Harun ‘alaihissalam saudara Musa ‘alaihissalam:
قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيْدَانِ أَنْ يُخْرِجَاكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيْقَتِكُمُ الْمُثْلَى
“Mereka berkata: ‘Sesungguh dua orang ini adl benar-benar ahli sihir yg hendak mengusir kalian dari negeri kalian dgn sihir dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yg utama’.”
Bahkan kaum munafiqin berusaha cuci tangan dari perbuatan mereka yg jelas-jelas rusak dgn mengatakan bahwa mereka adl orang2 yg melakukan perbaikan.
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ‘Sesungguh kami orang2 yg mengadakan perbaikan’.” (Lihat kitab Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu hal. 11)
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar tiap orang berakhlak di hadapan manusia dgn akhlak yg mulia.
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan berakhlaklah kamu kepada manusia dgn akhlak yg baik.”
Bahkan berbudi pekerti yg baik merupakan tonggak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguh aku diutus oleh Allah utk menyempurnakan budi pekerti.”
Bahkan permasalahan budi pekerti inilah yg diwanti-wanti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dakwah rasul-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekira kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Musa dan Harun ‘alaihimassalam menghadapi sejahat-jahat manusia di permukaan bumi ini yaitu Fir’aun dgn penuh kelemahlembutan.
فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepada dgn kata-kata yg lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Manusia dlm Hidup
Bersikap dan menyikapi manusia serta bergaul bersama mereka membutuhkan ilmu yg dlm tentang syariat krn manusia memiliki ragam agama dan aliran serta memiliki ragam perangai dan tabiat. Untuk memudahkan kita dlm pembahasan tentang hal bergaul dgn manusia secara umum kita mengklasifikasikan mereka menjadi dua golongan:
Pertama: Kafir
Kedua: Muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara bergaul dan bermuamalah bersama mereka baik yg kafir atau yg muslim. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam dan bahwa Islam adl agama rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan utk kalian agama kalian dan telah Ku-cukupkan kepada kalian ni’mat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.”
Sehingga tdk ada lagi alasan utk salah dlm bergaul bersama mereka baik yg beriman ataupun yg ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala krn hujjah telah tegak malam bagaikan siang .
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Yaitu agar orang yg binasa itu binasa dgn keterangan yg nyata dan agar orang yg hidup itu hidup dgn keterangan yg nyata . Sesungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Bergaul dgn orang2 Kafir
Dengan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya Dia telah membimbing bagaimana semesti bergaul bersama orang2 kafir yg berbeda agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan segala perkara yg merupakan ciri hidup mereka berikut bentuk kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Semua ini memiliki hikmah agar kaum mukminin selalu berada di atas kemuliaan pada agama sehingga agama orang2 kafir rendah dan hina.
Belakangan ini kita tdk bisa memilah antara orang2 muslim dan kafir dlm banyak perkara. Bahkan perkara yg merupakan prinsip agama yaitu masalah al-wala` dan al-bara` telah menjadi sesuatu yg pudar dlm kehidupan beragama kaum muslimin.
Merupakan kewajiban bagi tiap muslim utk berpegang dgn prinsip-prinsip aqidah Islamiyah dgn cara berloyalitas terhadap pemeluk dan memusuhi musuh-musuh mencintai ahli tauhid dan berloyalitas kepada benci terhadap ahli syirik dan memusuhinya. Hal ini termasuk millah Ibrahim dan orang2 yg beriman bersamanya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita utk mencontoh mereka sebagaimana dlm firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguh telah ada suri teladan yg baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang2 yg bersama dengan ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguh kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yg kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian utk selama-lama sampai kalian beriman kepada Allah saja’.”
Dan prinsip ini merupakan agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Hai orang2 yg beriman janganlah kamu mengambil orang2 Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adl pemimpin bagi sebagian yg lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin mk sesungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguh Allah tdk memberi petunjuk kepada orang2 yg dzalim.” (Lihat Al-Wala` wal Bara` karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 4}
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dlm banyak hal dan membongkar kedengkian serta kebencian orang2 kafir terhadap Islam dan kaum muslimin. Seperti dlm firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُوْنَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ
“Hai orang2 yg beriman janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yg kalian sampaikan kepada mereka krn rasa kasih sayang. Padahal sesungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yg datang kepada kalian mereka mengusir Rasul dan kalian krn kalian beriman kepada Allah Rabb kalian.”
يَا َيُّهَا الَّذِيْنَ آَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Hai orang2 yg beriman janganlah kalian ambil orang2 yg di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian mereka tdk henti-henti kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yg menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yg disembunyikan oleh hati mereka adl lbh besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat jika kalian memahaminya.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yg menjelaskan tentang konsep hidup mereka terhadap Islam dan kaum muslimin yg penuh dgn kedengkian serta niat jahat. mk tdk pantas seorang muslim menjadikan mereka sebagai sahabat di dlm hidup dan teman bergaul sehari-hari.
Di antara sikap-sikap yg diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang2 kafir adl sebagai berikut:
1. Tidak menyerupai mereka dlm semua perkara terlebih dlm masalah aqidah dan ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan masalah ini dlm sebuah sabda beliau:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yg menyerupai suatu kaum niscaya dia termasuk dari mereka.”
2. Larangan menyerupai mereka dlm seluruh perkara seperti menyerupai mereka dlm pakaian khas mereka adat/kebiasaan ibadah dan akhlak. Seperti mencukur jenggot memanjangkan kumis berbicara dgn bahasa mereka tanpa ada keperluan/hajat cara berpakaian makan minum dan sebagainya.
3. Tidak bertempat tinggal di negeri mereka atau pergi ke negeri mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang2 yg tdk mau meninggalkan negeri orang2 kafir padahal mereka sanggup utk melakukan hal itu dlm firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيْهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَلاَ يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً
“Sesungguh orang2 yg diwafatkan malaikat dlm keadaan menganiaya diri sendiri malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang2 yg tertindas di negeri ’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ orang2 itu tempat neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yg tertindas baik laki2 atau wanita ataupun anak-anak yg tdk mampu berdaya upaya dan tdk mengetahui jalan .”
Yang dimaksud dgn orang yg menganiaya diri sendiri di sini ialah muslimin Makkah yg tdk mau hijrah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sanggup melakukannya. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang2 kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badr. Akhir di antara mereka ada yg terbunuh dlm peperangan itu.
4. Tidak membela mereka dgn mendukung segala permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Membela mereka dgn cara demikian atau sampai ke martabat ini termasuk yg akan mengeluarkan dari Islam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu menyebutkan di antara sepuluh pembatal keislaman adl membela orang2 kafir dlm memerangi kaum muslimin.
5. Tidak meminta bantuan kepada mereka memercayai mereka dan menyerahkan posisi strategis yg menyangkut rahasia kaum muslimin.
Dan banyak lagi cara berhubungan serta bergaul yg bertentangan dgn syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg kesimpulan berujung pada meletakkan wala` sebagaimana kita berikan kepada saudara kita sesama muslim.
Bergaul dgn orang2 Islam
Berteman krn agama adl sebuah anjuran dan mencari teman yg baik adl sebuah perintah. Sementara berteman dgn orang yg tdk baik justru akan membahayakan bagi diri dan agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dlm masalah ini dlm firman-Nya:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dgn orang2 yg menyeru Rabb di pagi dan senja hari dgn mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yg hati telah kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsu dan adl keadaan itu melewati batas.”
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلاَّ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى
“Maka berpalinglah dari orang yg berpaling dari peringatan Kami dan tdk menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguh Rabbmu Dialah yg paling mengetahui siapa yg tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yg paling mengetahui siapa yg mendapat petunjuk.”
Untuk lbh jelas serta agar bisa mendudukkan tuntunan agama dlm bermualah bersama mereka kita klasifikasikan kaum muslimin menjadi beberapa golongan. Ini semata-mata mendekatkan kepada pemahaman.
Pertama: Golongan orang2 yg benar-benar beriman
Orang yg beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn sebenar-benar memiliki kedudukan yg tinggi di sisi-Nya dan mendapatkan nama yg harum. Sungguh betapa banyak ayat-ayat Al-Qur`an yg menjelaskan pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka dan mengangkat kedudukan mereka yg tinggi.
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguh orang2 yg beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adl sebaik-baik makhluk.”
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang2 yg beriman di antara kalian dan orang2 yg diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
وَالْعَصْرِ. إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguh manusia itu benar-benar dlm kerugian. Kecuali orang2 yg beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ
“Sesungguh beruntunglah orang2 yg beriman orang2 yg khusyu’ dlm shalatnya. Dan orang2 yg menjauhkan diri dari yg tiada berguna. Dan orang2 yg menunaikan zakat. Dan orang2 yg menjaga kemaluan kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yg mereka miliki. mk sesungguh mereka dlm hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yg di balik itu mk mereka itulah orang2 yg melampaui batas.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yg menjelaskan kedudukan mereka yg mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu bergaul bersama mereka dgn pergaulan yg penuh kasih sayang dan cinta menganggap mereka sebagai saudara dlm agama dan aqidah sekalipun berbeda nasab berjauhan negeri dan berbeda zaman. Hal ini dipertegas olah Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Dan orang2 yg datang sesudah mereka mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yg telah beriman lbh dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dlm hati kami terhadap orang2 yg beriman; Ya Rabb kami sesungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.”
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adl utusan Allah dan orang2 yg bersama dgn dia adl keras terhadap orang2 kafir tetapi berkasih sayang di antara mereka.”
Menganggap mereka adl saudara dan berusaha mendamaikan bila terjadi perselisihan di antara mereka.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“orang2 beriman itu sesungguh bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah supaya kalian mendapat rahmat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Perumpamaan persaudaraan orang2 yg beriman bagaikan sebuah bangunan yg sebagian menguatkan yg lain.”
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang2 yg beriman dlm cinta dan berkasih sayang mereka bagaikan satu jasad yg bila salah satu anggota badan sakit seluruh jasad merasakan sakit panas dan berjaga.”
Juga sebagai bentuk penerapan pergaulan kita bersama mereka adl berloyalitas kepada mereka secara sempurna:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ
“Sesungguh penolong kalian hanyalah Allah Rasul-Nya dan orang2 yg beriman yg mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk . Dan barangsiapa mengambil Allah Rasul-Nya dan orang2 yg beriman menjadi penolong mk sesungguh pengikut Allah itulah yg pasti menang.”
Kedua: Golongan orang2 yg Bermaksiat
Teman sangat memengaruhi baik tdk agama seseorang dan berpengaruh pula terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat. Kisah kematian Abu Thalib paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dlm riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentu bukanlah rahasia lagi. Diceritakan bahwa dia memilih tetap bersama agama nenek moyang padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping ranjang kematian mentalqin kalimat Laa ilaha illallah. Ini dikarenakan mengultuskan ajaran nenek moyang dan salah dlm memilih teman bergaul.
Oleh krn itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar kita berhati-hati dlm mencari teman.
الْمَرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang sesuai dgn agama/adat kebiasaan teman mk lihatlah teman bergaulnya.”
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَناَفِخِ الْكِيْرِ
“Perumpamaan teman yg baik dan jelek adl seperti berteman dgn penjual minyak wangi dan tukang pandai besi.”
Ada dua atau tiga kemungkinan bagimu jika engkau berteman dgn tukang minyak wangi. engkau membeli wewangian dari sehingga engkau menjadi wangi dia memberimu atau engkau mencium bau yg harum. Sebalik jika engkau berteman dgn tukang pandai besi hanya ada dua kemungkinan: dia akan membakar pakaianmu dgn percikan api tersebut atau engkau mencium bau yg tdk sedap.
Orang yg bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dlm murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu jangan dijadikan sebagai teman hidup kecuali dlm batasan agama seperti mendakwahi mereka dan mengajak utk meninggalkan kebiasaan mereka yg jelek. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah kepada jalan Rabbmu dgn hikmah dan pelajaran yg baik dan bantahlah mereka dgn cara yg baik. Sesungguh Rabbmu Dialah yg lbh mengetahui tentang siapa yg tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yg lbh mengetahui orang2 yg mendapat petunjuk.”
Ketiga: Golongan orang2 Awam
Orang awam membutuhkan bantuan orang2 alim utk mengajari mereka bimbingan agama. Bukan utk dihakimi dan divonis bila melakukan kesalahan di atas kejahilan/keawaman mereka. Namun utk diingatkan dan dibimbing ke jalan yg benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adl nasihat.” Mereka berkata: “Bagi siapa ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bagi Allah bagi kitab-kitab-Nya bagi rasul-rasul-Nya bagi pemimpin kaum muslimin dan orang umum mereka.”
Bila kita salah meletakkan sikap terhadap mereka dikhawatirkan mereka menjauh dari kebenaran bahkan fobi terhadapnya. Bila hal itu terjadi krn diri kita akan menyebabkan kita terjatuh di dlm dosa sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu: “Berilah mereka kabar gembira dan jangan engkau menyebabkan mereka lari .”
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri meletakkan hukum khusus bagi mereka sebagaimana di dlm firman-Nya:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
“Dan kami tdk akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.”
Asy-Syaukani rahimahullahu di dlm tafsir beliau berkata: “Allah tdk akan mengadzab hamba-Nya kecuali setelah tegak hujjah dgn diutus para rasul dan diturunkan kitab-kitab kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tdk membiarkan mereka hidup sia-sia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk akan menyiksa mereka melainkan setelah tegak hujjah atas mereka. Dan pendapat yg rajih adl bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk mengadzab mereka di dunia ataupun di akhirat kecuali setelah diutus para rasul kepada mereka. Demikianlah yg dikatakan oleh sebagian ahli ilmu.”
Namun orang2 awam tersebut akan keluar dari hukum khusus di atas apabila keawaman tersebut disebabkan tiga perkara:
Pertama: Disebabkan istikbar dgn tdk mau mempelajari kebenaran atau sombong di hadapan kebenaran mk kejahilan yg disebabkan hal ini tdk akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila dia terjatuh dlm kemaksiatan karenanya.
Kedua: Disebabkan tafrith pengajaran ilmu agama yg benar sehingga tdk mau mempelajari terlebih mengamalkannya.
Ketiga: Disebabkan i’radh dari mempelajari ilmu agama sehingga bila dia terjatuh dlm penyelisihan krn kejahilan mk tdk akan dimaafkan.
Bergaul bersama mereka dlm tiga sebab kejahilan ini harus ekstra hati-hati dan harus menjauhkan diri dari mereka krn mereka tdk akan mendatangkan kebaikan sedikitpun bagi agama. dlm bergaul bersama orang yg benar-benar awam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi uswatun hasanah dlm hal ini. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:
بَالَ أَعْرَابِيٌّ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ النَّاسُ إِلَيْهِ لِيَقَعُوا فِيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ: دَعُوْهُ وَأَهْرِقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مَعَسِّرِيْنَ
Dari Abu Hurairah berkata: Seorang Badui kencing di masjid lalu orang2 bangkit utk memukul . Rasulullah berkata: “Biarkan dia tuangkan air di atas kencing atau satu ember dari air krn sesungguh kalian diutus sebagai pemberi kemudahan bukan memberikan kesulitan.”
Keempat: Golongan Ahli Bid’ah dan orang yg terjatuh padanya
Kita memaklumi bahwa kemaksiatan yg paling besar setelah dosa kufur dan syirik adl kebid’ahan di dlm agama. Sebuah kemaksiatan yg paling dicintai dan disukai oleh iblis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu: “Sesungguh kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan maksiat. Karena perbuatan bid’ah tdk akan bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan bertaubat darinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan makna pernyataan bahwa kebid’ahan tdk akan diberi taubat krn seorang mubtadi’ menjadikan sesuatu yg tdk pernah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sebagai agama. Dan kebid’ahan itu telah dihiasi dgn kejelekan amalan sehingga nampak baik. Tentu dia tdk akan bertaubat selama dia menganggap perbuatan adl baik krn awal dari pintu bertaubat adl mengetahui tentang kejelekan tersebut.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dari perbuatan yg disukai iblis ini sebelum terjadi dlm banyak sabdanya. Di antaranya:
وَإِيَّاكُمْ وُمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dlm agama dan tiap perkara baru adl bid’ah dan tiap kebid’ahan itu sesat.”
Tentang pelaku beliau telah memperingatkan dgn tegas dan keras sebagaimana ucapan beliau tentang Khawarij. dlm sebuah kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dari keturunan orang ini muncul suatu kaum yg mereka membaca Al-Qur`an namun tdk sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluar anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh orang2 Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Jika saya menjumpai mereka akan saya perangi mereka sebagaimana Allah memerangi kaum ‘Ad.”
Dalam kesempatan yg lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di mana saja kalian menjumpai mereka mk bunuhlah mereka krn membunuh mereka mendapatkan pahala bagi pembunuh pada hari kiamat.”
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membunuh mereka mk dialah orang yg paling utama di sisi Allah.”
Dalam kesempatan yg lain beliau bersabda: “Berbahagialah orang yg membunuh mereka dan terbunuh oleh mereka.”
Dalam kesempatan yg lain beliau bersabda: “ sejelek-jelek orang yg terbunuh di bawah kolong langit.”
Tidak termasuk seorang yg benar iman jika dia menganggap banyak perkara syariat yg belum disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak termasuk berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita bergandengan tangan dgn ahli bid’ah dan duduk bersama dlm satu majelis.
Para ulama salaf telah mengajarkan kita sikap bergaul yg baik dgn ahli bid’ah.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mendengar ucapan ahli bid’ah mk dia telah keluar dari pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia dilimpahkan kepada kebid’ahan tersebut.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa duduk bersama ahli bid’ah mk dia tdk akan diberikan hikmah.” Beliau juga berkata: “Jangan kalian duduk bersama ahli bid’ah krn aku takut laknat menimpamu.“ Beliau berkata pula: “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah mk telah batal amalan dan telah keluar cahaya Islam dari dlm hatinya.” Beliau berkata juga: “Barangsiapa yg duduk bersama ahli bid’ah di sebuah jalan mk hendaklah kamu mengambil jalan yg lain.”
Beliau juga berkata: “Barangsiapa memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah membantu utk menghancurkan Islam. Barangsiapa memberikan senyum kepada ahli bid’ah mk sungguh dia telah menyepelekan apa yg diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yg menikahkan anak bersama ahli bid’ah mk sungguh dia telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Dan barangsiapa yg mengikuti jenazah ahli bid’ah mk dia terus berada dlm murka Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai dia kembali.”
Bahkan beliau berkata: “Aku bisa saja makan bersama seorang Yahudi dan Nasrani namun aku tdk akan makan bersama ahli bid’ah. Aku senang bila ada benteng dari besi antara diriku dgn ahli bida’h.”
Adapun mereka yg terjatuh dlm kebid’ahan dlm keadaan tdk mengetahui itu adl sebuah kebid’ahan dlm agama kita berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Sikap kita kepada mereka adl sebagaimana sikap kita terhadap orang yg awam yg butuh diselamatkan dan diajak kepada jalan yg benar.
Terkadang seseorang tergiur dgn sebuah penampilan sunnah seperti pakaian sunnah jenggot sunnah ‘imamah sunnah dan sebagainya. Namun apalah arti jika engkau menampilkan sunnah sementara engkau tdk berjalan di atas jalan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Engkau tdk beraqidah di atas aqidah beliau engkau tdk beribadah sesuai dgn tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagainya. Butuh alat pembanding dan penilai itulah kebenaran. Oleh krn itu “kenalilah kebenaran engkau akan mengenal pemeluk kebenaran.” Wallahu a‘lam bish-­shawab.
Sumber: www.asysyariah.com